CAGAR BUDAYA BERBAHAN KAYU DI SUMATERA BARAT
oleh: Titin Novita Handa Puteri, S.Si

Kayu merupakan salah satu bahan bangunan yang masih digunakan dari dulu sampai sekarang. Pada waktu tertentu di masa lalu, kayu menjadi komponen utama pembentuk bangunan karena pohonlah (sebagai tumbuhan penghasil kayu) yang tersedia di alam dan dapat dimanfaatkan masyarakat pada waktu itu. Pada masa sekarang pun, kayu masih digunakan sebagai bahan bangunan di tengah ketersediaan berbagai jenis material bangunan lainnya, seperti bata, batu, beton, besi dan baja. Kayu merupakan bahan organik yaitu bahan yang berasal dari jasad hidup dan mempunyai komposisi hidrokarbon C-H. Cagar budaya yang dibuat dari kayu biasanya lebih cepat mengalami kerusakan dan pelapukan bila dibandingkan dengan bahan anorganik seperti : batu, logam, maupun keramik. Kayu mempunyai sifat mudah terdekomposisi, mengalami pembusukan secara biologis, dan mudah terbakar. Selain itu kayu juga bersifat higroskopis yaitu mudah menyerap air atau kelembaban udara lingkungannya namun juga dengan mudah melepaskannya apabila terjadi kenaikan suhu udara di sekitarnya. Namun di sisi lain kayu relatif lebih ringan dan mudah dalam hal pengerjaannya.

Pemahaman tentang kayu sebagai komponen utama pembentuk bangunan cagar budaya bukanlah hal yang mudah, banyak faktor yang harus diperhatikan dan cukup kompleks. Berbicara mengenai satu jenis kayu saja sudah cukup kompleks (meliputi sifat kayu, struktur kayu, karakter kayu, proses pengerjaan kayu, teknologi kayu, dsb), belum lagi ketika dihubungkan dengan pohon sebagai tumbuhan penghasil kayu (perlu juga pemahaman tentang sifat, karakter, bagian-bagian pohon, dsb), dan selanjutnya ketika dihubungkan dengan hutan dimana tumbuhya pohon tersebut. Dan ini tidak mudah di tengah banyaknya jenis kayu yang ada. Dalam satu pohon saja, kualitas kayu yang dihasilkan juga bisa bervariasi.

Bangunan cagar budaya bahan kayu di Sumatera Barat umumnya merupakan bangunan tradisional berupa rumah adat, balai adat, masjid dan surau tertentu. Rumah gadang merupakan rumah adat Minangkabau. Bangunan ini disebut rumah gadang tidak hanya karena ukurannya yang gadang (besar), tapi juga karena fungsinya yang besar. Rumah gadang tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal bersama, tapi juga sebagai tempat bermusyawarah, sebagai tempat merawat keluarga, sebagai tempat melaksanakan upacara adat, dan sebagai simbol eksistensi suatu kaum dalam nagari. Rumah adat ini juga disebut rumah bagonjong karena bentuk atapnya yang melengkung runcing yang disebut gonjong mirip lengkung tanduk kerbau. Rumah adat Minangkabau telah ada bersamaan dengan penataan kehidupan adat yang disusun oleh Datuak Katumanggungan (Lareh Koto Piliang) dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang (Lareh Bodi Caniago). Khusus untuk menata bangunan rumah adat dirancang oleh ahli seni dan bangunan/arsitek yang bernama Datuak Tantedjo Gurhano. Kedua kelarasan ini juga mempengaruhi bentuk bangunan rumah gadang. Untuk rumah gadang Lareh Koto Piliang terdapat anjuang yaitu lantai yang ditinggikan pada ujung dan pangkal rumah gadang.

Sebagaimana bangunan tradisional di Minangkabau, masjid dan surau memiliki struktur bangunan panggung dengan tiang yang berdiri di atas sandi dan mendukung balok-balok horizontal papan kayu lantai. Hampir seluruh komponen bangunan ini juga dibuat dari kayu kecuali atap (biasanya dari ijuk atau seng) dan sandi (dari batu kali berbentuk pipih yang berfungsi sebagai pondasi bangunan). Denah berbentuk bujur sangkar dan atap tumpang bersusun tiga dan lima. Tata ruangnya sederhana dengan menghadirkan tiang-tiang besar dan tinggi.

Balai adat atau balairung juga merupakan bangunan tradisional dengan bahan utama kayu. Balai adat adalah bangunan yang digunakan sebagai tempat para penghulu mengadakan rapat tentang urusan pemerintah nagari dan menyidangkan perkara atau pengadilan. Balairung dibangun di atas tiang dengan atap yang bergonjong-gonjong, tetapi kolongnya lebih rendah dari kolong rumah gadang, ruangannya lepas tidak bersekat, tidak berdaun pintu dan berdaun jendela, atau bahkan tidak berdinding sama sekali. Bentuk bangunan yang terbuka memungkinkan masyarakat umum mengikuti rapat yang diikuti oleh penghulu.

Bangunan cagar budaya bahan kayu berupa bangunan tradisional bisa menjadi salah satu bukti fisik keberadaan Suku Minangkabau sekaligus menjadi identitas karakteristik bagi Suku Minangkabau sendiri. Namun pada kenyataannya sekarang, rumah gadang, balai adat, dan masjid dengan arsitektur tradisional Minangkabau semakin berkurang baik kualitas maupun kuantitasnya. Hal ini terjadi karena bangunan tersebut mengalami kerusakan dan pelapukan atau mungkin hancur karena berbagai faktor, sementara kita lebih cenderung membuat bangunan baru dengan bahan dan gaya yang lebih modern mengikuti perkembangan zaman. Lebih jauh hal ini dikhawatirkan bisa menyebabkan langkanya bangunan tradisional Minangkabau. Untuk itulah perlu dilakukan tindakan pelestarian untuk mempertahankan dan memperpanjang usia bangunan tradisional ini khususnya yang dikategorikan sebagai bangunan cagar budaya.