Keberadaan Bunker Jepang Taluk tidak bisa dilepaskan dari sejarah masuknya tentara Jepang ke Indonesia pada umumnya. Secara umum tentara Jepang masuk ke Indonesia (Hindia Belanda) dengan mengalahkan penguasa terdahulunya yakni Belanda. Kekalahan Belanda ini secara de facto diakui dengan ditandatanganinya penyerahan tanpa syarat Hindia Belanda oleh Letjen. H. Ter Poorten kepada wakil Jepang Letjen. Hitoshi Immamura di Kalijati pada tanggal 8 maret 1942.

Kapitulasi tentara Sekutu yang diumumkan oleh Ter Poorten berarti berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda dan mulainya pemerintahan Jepang. Bila Belanda menjadikan Indonesia sebagai satu kesatuan pemerintahan sipil, maka sesuai dengan sifat dan beban tugasnya, maka tentara pendudukan Jepang membagi Indonesia menjadi dua pemerintahan militer pendudukan. Kedua pemerintahan itu sejalan dengan kekuatan yang memegang kekuasaan terhadap daerah tersebut, yakni Angkatan Darat (Riku-Gun) dan Angkatan Laut (Kai-Gun). Dua angkatan itu, khususnya Angkatan Darat juga membagi wilayah kekuasaannya menjadi dua “unit pemerintahan”. Akibatnya di bekas jajahan Belanda ini terdapat tiga “unit pemerintahan”. Tiga unit atau bentuk pemerintahan yang secara efektif mulai berlaku pada bulan maret 1943 itu adalah tindaklanjut dari penataan administratif yang dilakukan setelah mengingat arti ekonomis dan geo-politis kawasan Indonesia khususnya dan Asia Tenggara umumnya (sebelumnya Sumatera misalnya digabungkan dengan Singapura).

Pada awalnya, Pulau Sumatera berada dalam pengawasan Tentara ke-25 yang berpusat di Singapura yang juga meliputi Malaya. Pada perkembangan selanjutnya, arah peperangan sejak awal tahun 1943 tidak menguntungkan bagi pihak Jepang. Diberbagai front Pasifik, tentara Jepang mulai terdesak dan inisiatif serangan berada di pihak Sekutu. Bangkitnya kembali Sekutu dari kekalahan sebelumnya, telah memaksa Komando Tentara Ekspedisi Jepang untuk “Kawasan Selatan” untuk mengubah titik perhatian utama kebijakannya dari konsolidasi kekuasaan di daerah-daerah yang baru didudukinya ke strategi defensif terhadap kemungkinan serangan balik tentara Sekutu.

Pertimbangan-pertimbangan ini telah menyebabkan Tentara ke 25 memindahkan markas besarnya ke Bukittinggi pada tanggal 1 mei 1943, manakala pemerintahan Sumatera dan Malaya diperbaharui. Sejak itu, Sumatera merupakan unit pemerintahan yang berdiri sendiri, yang diperintah oleh Tentara ke 25. Kota Bukittingi yang berada dalam wilayah Provinsi Sumatera Barat pernah menjadi markas besar bagi tentara ke-25 kekaisaran Jepang karena dianggap memiliki letak geografis dan kepentingan militer yang strategis.

Dalam periode pendudukan Jepang yang berlangsung dalam periode 1942 s.d. 1945, guna memperkuat penguasaan dan pertahanannya di Indonesia, tentara Jepang membangun berbagai macam fasilitas dan sarana pertahanan yang meliputi: gua dan lubang pertahanan, bunker, pillbox, battery, lubang perlindungan dan terowongan dengan memanfaatkan kondisi geografis daerah setempat. Diperkirakan lubang/terowongan ini menembus perbukitan serta terhubung dengan bunker, pillbox lainnya. Pembangunan bangunan-bangunan pertahanan tersebut diperkirakan dilakukan dalam pertengahan tahun 1943 s.d. 1945.

Sebagai tenaga kerja dalam pembangunan semua fasilitas pertahahan tersebut, Jepang memperkerjakan pribumi dengan istilah romusha.  Hingga akhir maret 1943, kebutuhan Jepang akan tenaga kerja pribumi tidak terlampau berlebihan. Namun pada tanggal 31 mei 1943 di Tokyo diadakan sebuah konfrensi kekaisaran yang mengubah keadaan ini. Pada konfrensi itu diputuskan, mengingat jalannya peperangan Pasifik, untuk beralih dari strategi ofensif ke defensif.

Sebagai salah satu markas besar bagi tentara ke 25 yang meliputi Pulau Sumatera, khusus di sekitar Kota Bukittinggi, banyak sekali dibangun lubang-lubang bawah tanah, bunker serta pillbox. Salah satu bangunan bersejarah akan penguasaan tentara Jepang khususnya di pinggiran Kota Bukittinggi adalah Bunker Jepang Taluk. Bunker Jepang Taluk merupakan salah satu Cagar Budaya yang menjadi saksi keberadaan dan penguasaan tentara Jepang khususnya di Provinsi Sumatera Barat. Bunker Jepang Taluk secara administratif berada di Nagari Taluk, Kecamatan Banuhampu, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat. Namun berdasarkan keletakan geografisnya, secara umum objek berada dipinggiran Kota Bukittinggi dan merupakan salah satu bagian dalam konteks pertahanan Jepang di Kota Bukittinggi. Secara arsitektural bangunan yang secara keseluruhan berbahan beton/semen ini berbentuk gabungan dari beberapa bentuk geometrik antara lain bulat, setengah lingkaran, persegi dan tidak beraturan. Ukuran dinding bangunan dibuat tebal (lebih kurang 1 m) dengan fungsi meredam atau tahan terhadap ledakan. Selain itu, ruangan inti bangunan ini juga dibuat/berada separuh dari permukaan tanah. Berdasarkan analisis bentuk bangunan yang sejenis didaerah lain dan memiliki konteks yang sama, bentuk atau gaya bangunan ini lazim dan dibuat khusus pada masa Perang Dunia II oleh tentara Jepang pada daerah-daerah strategis yang mereka duduki.

Setelah lebih dari 50 tahun, pada beberapa titik di Kota Bukittinggi dan sekitarnya masih dapat dijumpai tinggalan-tinggalan berupa bunker, pillbox, gua perlindungan/terowongan yang kondisinya masih asli tanpa perubahan. Walaupun wilayah pantai barat sumatera khususnya Padang jauh dari dahsyatnya Perang Pasifik, namun keberadaan bangunan-bangunan pertahahan ini merupakan saksi sejarah akan persiapan tentara Jepang dalam mempertahankan Pulau Sumatera dari serangan Sekutu.