Edi Yudson bergabung di kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala (SPSP) wilayah Sumatera Barat dan Riau pada tahun 1991. SPSP begitu institusi tersebut biasa disingkat, kelak beberapa kali mengalami perubahan nama. Dari semula bernama SPSP, satuan kerja di bawah Direktorat Jenderal Kebudayaan itu berubah nama menjadi Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3), lalu Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) hingga sekarang.
Mengawali kiprahnya sebagai Juru Muda, Edi Yudson merupakan salah satu saksi perubahan demi perubahan itu. Tidak hanya perubahan lembaga, Mak Etek – begitu ia disapa oleh koleganya, selama 29 tahun terlibat dalam proses pelestarian berbagai tinggalan budaya materi di Provinsi Sumatera Barat, Riau dan Kepulauan Riau, termasuk saat penyelamatan Situs Candi Muara Takus yang terdampak pembuatan waduk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Kotopanjang.
Selama 29 tahun mengabdi, Edi Yudson lebih banyak bergelut dalam urusan administrasi, terutama keuangan. Ia mengemban amanah sebagai Bendahara hingga Pejabat Pembuat Komitmen/PPK. Sepertinya Edi Yudson sangat cocok dengan jabatan tersebut. Pembawaannya kalem, sedikit senyum dan hemat bicara. Tipikal demikian membuat kental suasana formal sehingga setiap pegawai maupun pihak lain yang hendak berurusan dengannya tidak betah berlama-lama. Kekalemannya akan membawa komunikasi hanya ke hal-hal yang bersifat substansial dan jauh dari basa-basi. Bawaan demikian menciptakan kultur birokrasi yang efisien dari aspek waktu. Sebuah kondisi yang layak dipertahankan.
Bertolakbelakang dengan sikap lugasnya di meja birokrasi, di kedai kopi, Edi Yudson adalah pribadi yang ramah. Ia tidak mengasaskan hubungan personalnya hanya berdasarkan senioritas semata. Baginya, semua pegawai dari segala lapisan umur adalah rekan kerja dan lebih dari itu adalah juga merupakan dunsanak. Pun demikian ketika di lapangan badminton. Ia bukan tipikal yang memilih pasangan main dan lawan tanding. “…. Kok santiang, tantu lah jadi atlit ang sajak dulu meang! Togak lah di sinan lai” timpalnya menanggapi rekan yang minder dan segan untuk menjadi lawan tandingnya. Rekan yang menolak tersebut bukan pula tanpa alasan. Meladeni seorang Edi Yudson tentu butuh skill dan fisik yang lumayan sehingga permainan berjalan seimbang dan tidak mengecewakan lawan.
Bertepatan dengan hari Senin, tanggal 30 November, Edi Yudson mengakhiri kiprahnya sebagai abdi negara. “Saya bersyukur menjadi bagian dari BPCB, di sini saya menghabiskan lebih dari separuh umur. Memulai karir dari bawah hingga sampai pada tahap ini adalah karunia Allah. Anugerah itu semakin membuat kepala tertunduk manakala kita menyadari bahwa semua itu atas dukungan istri setia dan anak-anak luar biasa. Jangan sia-siakan keluargamu!” tutur Mak Etek dalam sebuah cerita-cerita lepas di kedai kopi. Hal itu sangat benar adanya.
Sebagai penutup, segenap keluarga besar BPCB Provinsi Sumatera Barat dan tim redaksi https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbsumbar/ berterima kasih atas tunjuk ajar, bimbingan dan kerjasama selama ini. Mohon dimaafkan segala yang salah, dan sudi kiranya mengenang segala yang baik. Selamat pensiun buat Pak Edi. Semoga sehat selalu bersama cucu dan harum aroma padi tabik yang selalu Pak Edi rindu.