Masjid Tuo Kayu Jao terletak di Jalan Kampung Kayu Jao, Jorong Kayu Jao, Kenagarian Batang Barus, Kecamatan Gunung Talang, Kabupaten Solok, Provinsi Sumatera Barat. masjid ini berada di ketinggian 1.152 m di atas permukaan laut. Nyaman rasanya berada di masjid ini karena lokasinya berada di bawah lembah yang dikelilingi oleh hamparan pemandangan hijau dan dihiasi oleh taman. Udara di Masjid Kayu Jao juga sangatlah sejuk karena berdekatan dengan area perkebunan teh dengan perbukitan hijaunya.
Kondisi lingkungan Masjid Tuo Kayu Jao berupa daerah perbukitan. Dan masjid terletak pada dataran yang lebih rendah dari lingkungan sekitarnya. Sehingga, letak masjid tampak dikelilingi oleh perbukitan. Pada sisi timur dan melingkar kearah selatan terdapat aliran sungai kecil, airnya jernih dan digunakan oleh masyarakat untuk berwudhu oleh jamaah yang akan melakukan sholat. Oleh karena itu dibuat tempat untuk berwudhu di sisi selatan dari masjid. Di halaman sisi timur, terdapat bedug yang telah diberi bangunan cungkup pelindung dengan tiang kayu dan atap ijuk. Sedangkan pada arah kiblat masjid terdapat sebuah makam.
Menurut cerita rakyat, Masjid Tuo Kayu Jao didirikan pada abad ke-XVI atas swadaya masyarakat Lubuk Lasih dan Batang Barus. Masjid ini adalah salah satu bukti telah berkembangnya Islam di Kabupaten Solok sejak 400 tahun yang lalu. Keberadaan masjid ini tidak saja sebagai bukti telah berkembangnya Islam di Kabupaten Solok tetapi juga sebagai bukti tumbuh dan berkembangnya Islam di Sumatera Barat sejak abad ke-16.
Masjid Tuo Kayu Jao dibangun oleh Angku Masaur (Angku Masyhur) dan Angku Labai. Angku Mahsyur dikenal sebagai imam yang memiliki suara merdu dalam bacaan sholatnya sehingga banyak dikagumi orang. Sementara itu, Angku Labai dikenal sebagai bilal di masjid kayu jao. Tak kalah dengan Angku Masyhur, Angku Labai juga punya suara yang juga sangat merdu dan khas, sehingga ketika azan orang yang mendengar dengan ringan hati datang ke masjid. Cerita lain menyebutkan Angku labai juga memiliki ilmu yang dapat berpindah-pindah ke tempat lain dalam sekejap dan dianggap sebagai orang yang memiliki ilmu tinggi.
Berlanjut pada penelusuran bangunan Masjid Tuo Kayu Jao. Masjid ini berdenah bujur sangkar dan pada sisi Barat terdapat bagian menjorok yang berfungsi sebagai mihrab. Bagian atap bertumpang tiga yang pada bagian mihrab atapnya berupa gonjong dengan bahan terbuat dari ijuk. Dinding, plafon dan tiangnya seluruhnya terbuat dari bahan kayu, kecuali tiang tengah mulai dari tanah sampai pada permukaan plafon lantai II telah diganti dengan beton oleh masyarakat dikarenakan telah lapuk dan hancur. Meskipun telah pernah dipugar, namun bentuk masjid ini masih sama dengan aslinya. Dengan bentuk masjid yang masih asli ini membuat siapa saja yang beribadah ataupun sekedar berkunjung akan betah berlama-lama di tempat ini.
Bagian atap dengan bentuk tumpang tiga dan gonjong dibagian mihrab, diantara tiap-tiap tumpang tersebut terdapat sebuah pembatas dengan hiasan ukiran terawangan tembus bermotif geometris, pembatas ini juga berfungsi sebagai fentilasi. Antara tumpang dua dan tumpang tiga terdapat dua buah ukiran berbentuk lingkaran seperti roda pada tiap-tiap sisinya sehingga motif hias berbentuk roda tersebut berjumlah delapan ( 8 ) buah, tetapi ragam motif hias ini tidak ditemukan pada ukiran terawang yang terdapat antara tumpang pertama dan kedua(urutan tumpang dihitung dari tumpang paling atas). Selain itu, terdapat pula ukiran unik lainnya yaitu ukiran berbentuk naga yang terdapat pada 4 sudut dinding pada bagian luar dan juga pada permukaan bedug.
Bagian badan bangunan terdiri dari beberapa elemen antara lain: dinding, tiang, pintu dan jendela. Selain itu, terdapat pula mimbar dan lemari yang juga merupakan bagian yang terdapat di dalam ruang badan bangunan. Mihrab berada di bagian belakang bangunan masjid dengan ukuran 2,10 m x 3,5 m. Didalamnya terdapat mimbar kayu dengan ukiran motif suluran. Jumlah tiang semuanya 27 buah masing-masing setinggi 15 m dengan tiang utama berada di tengah-tengah. Tiang ini menurut sebutan masyarakat setempat disebut “tiang macu”, yaitu tiang yang paling besar disbanding tiang-tiang lainnya dan letaknya berada di tengah-tengah banguan (sekarang tiang macu tersebut telah diganti dengan beton karena lapuk).
Pintu masuk berada ditengah-tengah bangunan selebar 1m, dihubungkan dengan tangga dari pelesteran semen dengan halaman masjid. Jendela berjumlah 13 buah masing-masing lebarnya 80cm, sedangkan tempat wudhu berada disamping kiri bangunan masjid yang airnya diambil dari sumber mata air.
Arsitektur yang dimiliki masjid ini secara keseluruhan dipengaruhi oleh corak Minangkabau. Masjid ini memiliki tatanan atap sebanyak tiga tingkat yang terbuat dari ijuk dengan ketebalan sekitar 15 cm dan permukaan dibuat tidak datar melainkan sedikit cekung; permukaan atap yang cekung cocok untuk daerah beriklim tropis karena dapat lebih cepat mengalirkan air hujan kebawah. Antara tingkatan satu dengan yang lain terapat celah yang dibuat untuk pencahayaan dengan tingkatan teratas merupakan atap berbentuk limas. Bagian mihrab memiliki atap dengan bentuk berbeda, yaitu berbentuk gonjong layaknya Rumah Gadang. Di sisi lain, corak islam terlihat pada masing-masing puncak atap yang dilengkapi mustaka.
Atap masjid ini disangga oleh 27 tiang, simbolasi dari 6 suku disekitar masjid ini yang terdiri dari empat unsur pemerintahan ditambah dengan tiga unsur agama yakni khatib, imam, dan bilal. Simbolisasi lain juga terdapat dalam mengisyaratkan jumlah rukun salat.
Sebelum pengeras suara ada, masjid-masjid di Indonesia umumnya menggunakan bedug sebagai penanda masuknya waktu salat dan dipukul ketika waktu untuk salat tiba kemudian akan dilanjutkan dengan kumandang azan. Seperti masjid tua lainnya di Indonesia, masjid ini juga memiliki bedug atau disebut tabuah dalam bahasa Minang. Bedug yang diperkirakan berusia sama dengan masjid ini diletakkan dibangunan tersendiri di lingkungan masjid. Sebagai salah satu budaya islam di Indonesia, keberadaan bedug tersebut masih tetap dipertahankan.