You are currently viewing Surau Tinggi Calau dan Warisan Naskah Kuna

Surau Tinggi Calau dan Warisan Naskah Kuna

Surau Tinggi Calau dan Warisan Naskah Kuna

oleh: Teguh Hidayat, M.Hum

Dalam sejarah pendidikan Islam di Minangkabau, Surau merupakan institusi yang tidak bisa dikesampingkan. Surau memainkan peranan yang sangat signifikan dalam menyebarkan keilmuan Islam jauh sebelum pendidikan modern yang berbasis Madrasah muncul. Dalam sejarah tercatat, tokoh-tokoh besar yang mempunyai pengaruh luas banyak lahir dari Surau. Mereka dididik dan dibesarkan dalam lingkungan Surau. Sebutlah beberapa nama seumpama Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang pernah menjadi Mufti mazhab Syafi’i dan Imam di Mesjid al-Haram Mekah, Syekh Thahir Jalaluddin yang menjadi Mufti di Pulau Penang Malaysia, Syekh Janan Thaib yang menjadi guru besar pula di Mekah al-Mukarramah, dan banyak lagi lainnya. Begitu pula tokoh-tokoh nasional yang berjasa dalam masa awal pembentukan Indonesia, semisal Agus Salim, Hamka, Hatta dan lainnya. Ketokohan mereka tidak dapat dilepaskan sepenuhnya dari Surau, atau boleh dikata pernah beroleh pendidikan di surau.

Pada abad-abad yang lalu, surau disebut orang Belanda sebagai Indische Scholen (sekolah orang Melayu) atau Godstientscholen (sekolah agama). Hal ini mengisyaratkan betapa surau di masa-masa itu merupakan satu lembaga yang sangat maju dan dikenal luas, sampai orang-orang kompeni ambil bagian untuk menggambarkan aktifitas surau ini. kenyataan itu makin diperkuat dengan data-data yang diberikan Belanda yang menggambarkan betapa pesat pendidikan model surau di Minangkabau di masa lampau.

Surau, bagaimanapun keadaannya telah menjadi sarana pendidikan Islam terkemuka dan berperan besar dalam Islamisasi, melahirkan ulama-ulama besar di zamannya, hingga mencetak juru-juru dakwah profesional. Di masa keemasannya, surau mampu menjadi barometer sosial-masyarakat, apakah dalam usaha perjuangan masyarakat terhadap kompeni, penentuan ekonomi petani, pengajaran adat istiadat Minangkabau dan tentunya istimewa dalam bidang agama. Fungsi surau yang bukan sekedar pusat pendidikan Islam, membuat kedudukan surau menjadi sangat penting bagi masyarakat kala itu. Sehingga tidak heran, di masa keemasannya banyak sekali meninggalkan warisan berupa naskah-naskah yang sangat tak ternilai harganya.

Seperti diketahui, Minangkabau dikenal sebagai salah satu wilayah di Nusantara yang menjadi ‘lumbung’ emas kekayaan manuskrip Islam Melayu Nusantara, berkat tradisi intelektual Islam masa lalu yang pernah mengalami masa keemasannya seperti yang terdapat di Surau Tinggi Calau, Nagari Muaro, Kecamatan Sijunjung, Kabupaten Sijunjung, Provinsi Sumatera Barat. Surau Tinggi Calau berada di sebuah Kompleks surau yang dinamakan “Kompleks Kampung Calau”. Sekilas tidak terllihat bahwa ini adalah sebuah bangunan ibadah, karena berbeda dengan bangunan surau atau masjid pada umumnya yang memiliki atap berbentuk limas atau tumpang atau beratap kubah, bangunan ini berbentuk rumah gadang dengan atap bergonjong  4 (empat).

“Calau” berarti parit atau tanah yang digali, nama ini diberikan oleh Syekh Abdul Wahab untuk membatasi tanah ulayat kampung pada sisi utara dengan komplek kampung ‘Calau’ saat ini. Semenjak itu, kompleks perkampungan ini disebut komplek Kampung Calau karena memang komplek Kampung Calau ini dikelilingi oleh parit. Menurut informasi pengurus Kompleks Kampung Calau, surau yang sekarang merupakan surau yang telah dibangun ulang setelah surau yang sebelumnya dibakar pada waktu penjajahan Jepang. Pembangunan surau ini berlangsung secara bertahap, hal ini ditandai dari tulisan yang  terdapat pada dinding dan lesplang bangunan. Pada lesplang sisi timur terdapat tulisan arab jawi “7 Muharram 1374 H” yang menandakan pembangunan atap. Pada dinding sisi selatan terdapat angka bertuliskan seperti gambar di bawah yang berarti 15 Rajab 1391 H menandai pemasangan dinding sisi selatan.

Di Surau Tinggi Calau banyak dijumpai naskah-naskah kuna yang sangat langka yang dapat memperkaya khasanah pernaskahan nusantara. Isi naskah yang terkandung di dalamnya sangatlah beragam dan bernilai. Terbukti bahwa dari 99 bundel manuskrip Islam di Surau Calau, sejumlah teks penting berbahasa Melayu Minang, yang beberapa di antaranya sangat lokal dan sulit dijumpai di wilayah lain yang berbeda konteksnya, ada di surau ini, seperti Nazam Ulakan, Silsilah Syattariyah Surau Tinggi di Calau, Ajaran Tuanku Abdurrahman al-Syattari, Hikayat Sijunjung, Kaji Tubuh, Syair Johan Perkasa Syah Alam dari Paninjauan, Surat Tuanku Pamansiangan, dan beberapa lainnya, di samping tentu saja teks-teks Melayu asal wilayah lain, terutama Aceh, yang menggambarkan kuatnya jaringan keilmuan Minangkabau dengan para ulama Aceh abad sebelumnya. Beberapa teks yang dijumpai dalam kategori ini antara lain Syair Dagang karya Hamzah Fansuri, Jawhar al-Haqa’iq karya Syamsuddin al-Sumatra’i, Tanbih al-Masyi al-Mansub ila Tariq al-Qusyasyi karya Abdurrauf ibn ‘Ali al-Jawi al-Fansuri, dan beberapa lainnya (Oman Fathurahman: Manuskrip dan Penguatan Kajian Islam Asia Tenggara, 2015).

Demikianlah kondisi naskah-naskah kuna yang ada di Surau Calau yang sejatinya dapat memberikan kontribusi terhadap upaya rekonstruksi sejarah sosial intelektual Islam yang pernah berkembang pada masa lalu, yang kemudian diharapkan pula dapat mengetahui karakter asal Muslim di wilayah ini, sebagai cermin untuk membangun peradaban Islam Indonesia.