Mengungkap Rahasia Kearifan Lokal Rumah Gadang Titin Nofita Handa Puteri Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat Wilayah Kerja Provinsi Sumatera Barat, Riau dan Kepulauan Riau
Pelestarian cagar budaya berbasis kearifan lokal merupakan pelestarian dengan menggunakan metode, teknologi, maupun bahan tradisional. Saat ini semakin disadari kearifan budaya nenek moyang terbukti efektif dan memberikan hasil yang baik dalam pelestarian cagar budaya. Nenek moyang pendahulu kita dengan berbekal pengalaman dan bahan yang tersedia di alam ternyata memiliki kearifan tersendiri yang sudah seharusnya menjadi bekal pengetahuan juga bagi kita dalam melestarikan cagar budaya.
Kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat tertentu terbukti mampu bertahan dalam waktu yang relatif panjang. Tidak hanya itu, pengetahuan dan keterampilan tradisional seharusnya menjadi aset intangible yang penting untuk dilestarikan. Disadari atau tidak penggunaan metode tradisional juga akan meningkatkan nilai penting dari cagar budaya. Dan yang menjadi tugas kita saat ini adalah menggali kearifan lokal tersebut untuk kemudian melakukan pembuktian ilmiah terhadap kebenaran dan keefektifannya. Kearifan lokal yang didukung oleh pembuktian ilmiah tentu saja akan memberikan kontribusi yang sangat berarti dalam pelestarian cagar budaya. Contohnya saja : penggunaan air rendaman tembakau dan cengkeh (tradisi masyarakat Kudus Jawa Tengah merawat bangunan kayu) yang terbukti efektif untuk pembersihan dan pengawetan kayu.
Menyadari hal tersebut, kami BPCB Sumatera Barat yang secara administratif berada di Provinsi Sumatera Barat tepatnya di Batusangkar dengan etnis masyarakat Suku Minangkabau meyakini bahwa Suku Minangkabau juga menyimpan banyak kearifan lokal. Melihat bangunan tradisional Suku Minangkabau yang unik berupa ‘rumah gadang’ tentu ada kearifan lokal yang perlu digali, dipelajari, dan didokumentasikan dari rangkaian proses pendiriannya, sehingga pelestarian berbasis kearifan lokal terhadap bangunan tradisional tersebut dapat diwujudkan.
Rumah gadang merupakan rumah adat Minangkabau. Bangunan ini disebut rumah gadang tidak hanya karena ukurannya yang gadang (besar), tetapi juga karena fungsinya yang besar. Rumah gadang tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal bersama, tapi juga sebagai tempat bermusyawarah, sebagai tempat merawat keluarga, sebagai tempat melaksanakan upacara adat, dan sebagai simbol eksistensi suatu kaum dalam nagari. Rumah adat ini juga disebut rumah bagonjong karena bentuk atapnya yang melengkung runcing yang disebut gonjong mirip lengkung tanduk kerbau. Rumah gadang memiliki keunikan tersendiri baik dari segi arsitektur maupun nilai filosofi yang memaknainya, yang menunjukkan kearifan lokal nenek moyang Suku Minangkabau dalam membangun tempat tinggal mereka. Rumah gadang bisa menjadi salah satu bukti fisik keberadaan Suku Minangkabau sekaligus menjadi identitas karakteristik bagi Suku Minangkabau sendiri yang bahkan bentuk atap gonjong ini diterapkan pada bangunan modern.
Rumah gadang berbentuk segi empat yang mengembang ke atas. Lengkung badan rumah landai seperti badan kapal. Rumah Gadang berupa rumah panggung dengan lantai papan sekitar satu atau dua meter diatas permukaan tanah, dan terdapat tangga di bagian depan untuk masuk rumah gadang. Bagian dalam rumah gadang terbagi atas lanjar dan ruang yang ditandai oleh tiang. Lanjar adalah bagian antara deretan tiang depan dan belakang, sedangkan ruang adalah bagian antara tiang kiri dan kanan. Lanjar belakang berfungsi sebagai kamar tidur, lanjar tengah berfungsi sebagai ruang makan atau ruang keluarga, dan lanjar depan berfungsi sebagai ruang tamu.
Pada dasarnya denah rumah gadang sederhana yaitu persegi panjang dengan pembagian ruang yang sederhana, namun menyiratkan banyak makna. Berlakunya sistem matrilineal (garis keturunan menurut garis keturunan ibu) juga dapat dilihat dari cara hidup di rumah gadang. Kentalnya Agama Islam juga tergambar dari pola hidup dan kepercayaan dalam rumah gadang sesuai dengan falsafah Suku Minangkabau ‘adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah‘. Bangunan rumah gadang menunjukkan penyesuaian dengan alam tropis yang juga sesuai dengan falsafah Suku Minangkabau “alam takambang jadi guru”. Aktifitas di rumah gadang seperti : cara duduk, cara berbicara, dan cara bersikap baik laki-laki dan perempuan memiliki norma tertentu sesuai dengan aturan adat.
Namun pada kenyataannya sekarang, keberadaan rumah gadang semakin berkurang baik kualitas maupun kuantitasnya. Hal ini terjadi karena bangunan rumah gadang yang ada sekarang sudah mengalami kerusakan dan pelapukan atau mungkin hancur karena berbagai faktor, sementara kita lebih cenderung membuat bangunan baru dengan bahan dan gaya yang lebih modern mengikuti perkembangan zaman. Hal ini juga menunjukkan terjadi perubahan cara hidup dan mulai berkurangnya rasa hormat terhadap adat. Selain itu, besarnya biaya pembangunan rumah gadang dan kesulitan untuk mendapatkan bahan dan tukang tradisional juga menjadi faktor berkurangnya keberadaan rumah gadang. Ini berarti laju kemunduran kualitas dan kuantitas bangunan rumah gadang tidak sebanding dengan usaha kita untuk mempertahankan dan melestarikannya.
Dari segi bahan, hampir seluruh komponen bangunan rumah gadang dibuat dari kayu kecuali atap (biasanya dibuat dari ijuk atau seng) dan sandi (dari batu kali berbentuk pipih yang berfungsi sebagai pondasi bangunan). Oleh karena itu, salah satu upaya pelestarian yang dilakukan adalah melestarikan bahan kayu sebagai komponen utama bangunan rumah gadang. Pelestarian terhadap fisik bangunan, diharapkan akan membawa konsekuensi terhadap pelestarian nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Berikut beberapa Indikasi kearifan tradisional Suku Minangkabau dalam ‘meramu bahan‘ bangunan rumah gadang dan alasan ilmiahnya : Kayu yang dipilih tidak boleh ada tanaman merambat yang melilit pohonnya. Menurut kepercayaan kalau kayu dijadikan bahan bangunan, maka penghuni akan dililit hutang. Alasan ilmiahnya adalah Tumbuhan merambat diistilahkan dengan liana. Pohon yang dijadikan sebagai tempat merambat liana akan mengalami kemunduran kualitas kayu karena liana akan mengambil bahan makanan dari kulit pohon sehingga nutrisi pohon menjadi tidak penuh. Tidak hanya mengambil nutrisi makanan, ada juga liana yang dapat membunuh pohon. Oleh karena itu, untuk mendapatkan kayu berkualitas baik untuk bangunan rumah gadang tidak diambil dari pohon yang dililit oleh tanaman merambat.
Pohon yang dipilih tidak boleh dalam keadaan bersemi atau berbunga. Alasan ilmiahnya adalah Pada saat bersemi atau berbunga, kadar pati dalam pohon tinggi sehingga rentan terhadap serangan serangga. Pada saat bersemi atau berbunga, pohon dalam keadaan muda dengan ketersediaan air yang banyak dan proses fotosintesis sedang berlangsung.
Sebelum pohon ditebang, pohon tersebut dipukul dengan palu kayu sebanyak tiga kali, ditunggu beberapa saat. Alasan ilmiahnya adalah Mengetok-ngetok kayu merupakan sarana untuk mengetahui rongga dalam kayu. Palu kayu digunakan karena memberikan resonansi suara yang berbeda. Daun yang menempel pada ranting memiliki tingkat kelengketan yang berbeda. Di pucuk daun kelengketannya semakin tinggi dibandingkan pada bagian pangkal. Defisiensi nutrisi dimulai dari menggugurkan daun, sehingga daun muda atau pucuk pohon yang jatuh menunjukkan kemuduran kualitas kayu. Binatang umumnya hidup di pohon yang berongga. Kalau yang jatuh binatang mengindikasikan kalau terdapat rongga di dalam pohon, sehingga pohon tersebut bukan merupakan pohon berkualitas baik untuk bahan bangunan.
Masih banyak kearifan lokal tentang rumah gadag yang masih dapat kita telusuri. Teknik dan metoda di atas juga dapat diterapkan dalam upaya mempersiapkan kayu berkualitas baik dalam pemugaran dan perbaikan bangunan cagar budaya bahan kayu khususnya bangunan rumah gadang. Semoga dengah hal ini kita dapat menginspirasi dan memotivasi untuk terus menggali dan mengungkapkan ‘kearifan tradisional leluhur’ untuk kemudian secara bersama melakukan pembuktian ilmiah, sehingga pelestarian berbasis kearifan lokal dapat diwujudkan.