Rumah Arleus Sakukuret ini dibangun sekitar tahun 1970. Sakukuret adalah nama suku yang berasal dari daerah Sarereket. Daerah Sarereket merupakan daerah yang berasal dari daerah Siberut Hulu Pada awalnya rumah ini ditinggali setidaknya oleh 10 keluarga. Sekarang rumah ini ditinggali oleh dua keluarga. Meskipun demikian, keluarga dari suku Sakukuret masih berkumpul setidaknya tiga hari sekali. Kebijakan dari pemerintah pada tahun 1960 menyebabkan masyarakat di Pulau Siberut banyak keluar dari daerah pedalaman. Waktu itu terdapat kebijakan yang mengharuskan orang Mentawai untuk pindah dari rumah adat ke pemukiman yang telah dibuat oleh pemerintah daerah Sumatera Barat. Rumah ini dibangun tepat ketika masyarakat dari pedalaman membuka lahan di Desa Munte pada awal tahun 1970. Meskipun demikian, banyak masyarakat Mentawai yang tetap membangun rumah adat (uma) di lahan baru tersebut. Rumah ini sekarang ditinggali dan dikelola oleh keluarga Arleus.
Rumah ini merupakan rumah yang masih difungsikan sebagai uma. Di sini masih diadakan aktivitas-aktivitas adat seperti menyelesaikan sengketa adat, membagi hasil buruan. Dalam membangun rumah ini, terlebih dahulu dilakukan upacara adat. Rumah ini berdenah persegi panjang dengan ukuran panjang 27,64 m dan lebar 10,31 m. Orientasi hadap rumah mengarah ke utara (jalan raya Munte). Bangunan berupa panggung dengan kolong-kolong di bawahnya. Tiang-tiang penyangganya terbuat dari kayu dengan pondasi dari coran semen berbentuk persegi. Rumah ini didirikan di atas lahan yang kurang rata sehingga tinggi tiang-tiang kayu bervariasi antara 40 cm-80 cm. Kolong-kolong rumah tersebut juga berfungsi sebagai tempat menyimpan kayu bakar dan hewan ternak babi. Tangga utama naik terletak di bagian depan dan terbuat dari batu yang dibentuk persegi. Lantai rumah terbuat dari susunan bilah kayu yang disusun dengan rapat dan memiliki ketinggian 90 cm dari permukaan tanah.
Uma terdiri atas 3 ruang utama. Ruang pertama adalah serambi terbuka tanpa dinding. Berbentuk persegi, serambi ini juga dilengkapi dengan bangku-bangku dari kayu. Ruangan serambi ini selain berfungsi sebagai tempat menerima tamu juga tempat berkumpul keluarga. Di bawah bangku terdapat dinding-dinding yang juga berfungsi sebagai pembatas yang dihiasi angin-angin berbentuk bilah ketupat. Ruang kedua adalah ruang terbuka yang berfungsi sebagai tempat istirahat sekaligus ruang berkumpul keluarga. Ruang ini merupakan ruang utama dari bangunan uma. Disinilah acara-acara adat dilaksanakan. Di tengah ruang terdapat perapian berbentuk persegi panjang berukuran 2×1 meter. Perapian yang terbuat dari balok-balok kayu dengan ketebalan 8 cm. Bagian tengah perapian berupa pasir. Di keempat sudutnya terdapat tiang-tiang yang memiliki fungsi untuk menyangga konstruksi atap juga untuk penyangga tempat pengasapan (para-para) di atas perapian. Tempat pengasapan di atas perapian ini bertujuan untuk mengasapi hasil buruan sehingga bisa lebih tahan lama. Selain itu, kayu bakar disimpan di para-para yang terletak lebih tinggi. Disitu pula ditaruh sendok-sendok yang terbuat dari tempurung kelapa, kipas anyaman untuk membesarkan api, alat penjepit bara serta sejumlah keranjang tempat mengasap daging. Di depan perapian di bagian atas terdapat balok melintang yang berfungsi sebagai sangkutan/pananggat. Disini digantungkan tengkorak-tengkorak hewan hasil buruan seperti monyet/joja, siamang/bilou, babi. Di bagian sudut terdapat dipan persegi dari kayu yang berfungsi sebagai tempat tidur. Dari serambi menuju ke ruang utama ini tidak menggunakan pintu. Namun fungsi pintu digantikan dengan dinding dari bilah kayu yang bisa terbuka bila dikaitkan ke atas. Dinding yang sekaligus menjadi pintu ini terdiri atas tiga bagian yang masing-masing bagian berukuran 2×2 m.
Ruang terakhir adalah ruang yang digunakan sebagai dapur dan tempat penyimpanan barang-barang pusaka. Ruang dapur ini memiliki pintu untuk masuk. Pada salah satu dinding terdapat sangkutan yang berisi bakkat katsaila yaitu tumbuh-tumbuhan keramat yang dibuat pada waktu upacara penaikan rumah yang kemudian ditaruh disitu. Selain itu juga terdapat dua buah gong yang terbuat dari perunggu. Gong-gong ini menjadi merupakan benda milik kebanggaan uma yang dinilai paling berharga. Ada juga tudukat yaitu alat musik yang dibunyikan ketika ada pesta atau kabar duka yang dikabarkan oleh kepala suku. Benda-benda keramat (buluak) tersebut dikumpulkan menjadi satu yang disebut sebagai lulak. Lulak ini lah yang menjadi kekuatan inti dari sebuah uma. Di salah satu sudut ruangan terdapat konstruksi balok melintang bertingkat tiga. Konstruksi yang disebut sebagai para-para ini berfungsi sebagai tempat menyimpan kayu bakar di tengah-tengah konstruksi tersebut terdapat perapian yang terbuat dari tanah yang dipadatkan di dalam segi empat yang dibentuk oleh balok-balok yang saling dihubungkan dengan sistem pasak. Tungku tumpuan periuk belanga besi terdiri dari beberapa buah batu (tuggu). Bagian atap berbentuk pelana melengkung terbuat dari daun sagu tua dan disusun rapat dan menutupi sebagian dinding-dinding di sisi luarnya. Di bawah balok bubungan yang mencuat ke depan terdapat dinding luar berbentuk segitiga. Reng – reng terbuat dari kayu pohon palem dan yang mendukung atap dan rumbia bertopang ke balok – balok memanjang sebelah bawah dan tengah.
Memasuki Uma Aeleus Sakukuret memang memunculkan suasana yang unik, seperti membaur dengan suku pedalaman. Kehidupan masyarakat yang masih sangat tergantung dengan hasil alam masih sangat terlihat di beberapa sudut rumah. Kini Rumah ini menjadi salah satu bukti keberagaman hasil kebudayaan yang ada di Sumatera Barat yang patut dilestarikan dan jangan sampai menjadi sebuah sikap yang seakan mendiskriminasikan mereka ditengah besarnya kebudayaan Minangkabau di Sumatera Barat.