Pulau Buru merupakan salah satu pulau yang masuk dalam wilayah Provinsi Maluku, pulau yang terletak di sebelah barat dari Pulau Seram dan Pulau Ambon. Pada pulau ini terdapat beberapa tinggalan budaya yang saat ini masih dapat dijumpai, mulai dari masa prasejarah hingga pasca kemerdekaan.
Berdasarkan catatan seorang petualang berkebangsaan Prancis atas nama Louis De Bougainville yang berlayar mengelilingi dunia sekitar November 1766 sampai Maret 1769 dan sempat mampir di Pulau Buru yang di ambil dari buku Indonesia Timur Tempo Doeloe (1544-1992) tulisan George Miller (2011) menyebutkan bahwa Pulau Boero atau Burru (Pulau Buru) memiliki panjang dari timur ke barat sekitar 18 liga (87 km) dan 13 liga (63 km) jika diukur dari Utara ke Selatan. Daerah ini dulunya merupakan bagian dari kekuasaan Raja Ternate yang mendapatkan upeti dari daerah ini (Pulau Buru). Kota besarnya (Pusat Kota) adalah Cajeli (Kaiely) yang terletak di ujung teluk dengan nama serupa. Kota ini berada di sebuah dataran berawa sepanjang 4 mil (6 km) diantara Sungai Soweill dan Abbo.
Abbo merupakan sungai terbesar di pulau ini, airnya selalu berlumpur pekat. Sangat sulit merapat di daerah ini jika air sedang surut. Kapal harus berhenti pada jarak yang cukup jauh dari pantai. Koloni Belanda dan 14 perkampungan pribumi yang semula terletak menyebar di beberapa tempat di pulau ini sekarang berkumpul menjadi satu di sekitar pabrik penyulingan dan membentuk desa atau kota kecil bernama Cajeli (Kaiely).
Awalnya, Belanda memiliki sebuah benteng batu di daerah ini. Namun benteng ini hancur akibat peristiwa ledakan pada tahun 1689. Sejak saat itu mereka merasa cukup puas dengan sebuah benteng berpagar runcing yang dipersenjatai dengan enam buah meriam kecil yang diletakkan berjajar. Benteng ini disebut benteng pertahanan atau Benteng Devensi.