You are currently viewing Sejarah Pulau Kisar

Sejarah Pulau Kisar

Pulau Kisar termasuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Pulau-Pulau Terselatan, Kabupaten Maluku Barat Daya, Provinsi Maluku. Pulau Kisar merupakan pulau terselatan dari Kabupaten Maluku Barat Daya karena berbatasan langsung dengan perairan Republik Demokrat Timor Leste.  Secara astronomis pulau ini terletak di 8,06° LS 127,18° BT dengan luas wilayah 8,183 km². Bentang alam Pulau Kisar didominasi oleh perbukitan dan berbatu karang sehingga terkesan gersang dan tandus. Terdapat pula tebing-tebing karst yang terbentuk akibat pengangkatan permukaan bumi di masa lalu.

Sejarah sebelum masuknya Belanda di pulau Kisar susah untuk dirangkai. Hal itu disebabkan adanya perbedaan legenda di kalangan masyarakat asli Kisar itu sendiri. Tetapi, dari berbagai versi yang ada, ditemukan adanya kesamaan, dimana nama Wewiku-Wehali selalu disebut dalam setiap versi atau dalam syair disebut Wewiku-Wehali, Nuha Inna, air mori-mori (Wewiku-Wehali, pulau atau nusa induk, tempat api menyala-nyala). Bila ditelusuri lebih jauh ternyata, Wewiku-Wehali juga mengisahkan mitos hubungan dengan wilayah Belu Selatan di NTT.

Mitos warga asli Kisar (bukan Mestiezen) itu dicatat A.D.M. Parera (Sejarah Raja-raja di Timor, 1971), yang mengisahkan asal leluhur mereka dari Wewiku-Wehali. Leluhur mereka datang ke Kisar menggunakan perahu keramat melalui pelabuhan Lauten, Joon dan Loikere di ujung barat Pulau Timor. Leluhur itulah yang memperkenalkan penggunaan api kepada orang Kisar.

Tetapi kisah itu berbeda dengan penjelasan keturunan dan alih waris keluarga Tilukai (Pulau Kisar) W. Frans (80) yang juga disampaikan kepada Parera. Menurut W. Frans, sekitar 500 tahun silam terjadi bencana banjir di Sungai Benanai di Belu Selatan. Akibat banjir itu, seorang putri dari Raja Wehali hanyut terbawa banjir dan terdampar di Pulau Sermatang. Akibatnya, Raja Wehali memerintahkan tujuh putranya dan empat pembantunya untuk mencari saudari mereka yang hanyut. Ketujuh pangeran itu, salah satunya terdampar di Tutuala-wilayah paling timur dari Pulau Timor.

Suatu ketika, pangeran itu melihat api di Pulau Kisar. Kisah tentang api ini tentunya bertolak belakang dengan cerita versi Wewiku-Wehali yang disebutkan leluhura datang membawa api. Oleh karena melihat api tersebut, pangeran itu ke Kisar melalui Joon, tapi terdampar di Sekerniren, Airmodo. Pangeran sendiri sebagai pimpinan rombongan (Sai Mermere) dan empat orang pembantunya, Tilukai, Maukai, Loiroho dan Taiasi. Kala itu sedang berkecamuk perang antara Wonreli-Joto melawan Nomaha-Lekerau.

Melihat peperangan itu, Pangeran Sai Mermere membantu Wonreli-Joto, sehingga Nomaha takluk tanpa syarat. Akibat kemenangan itu, sehingga Sai Mermere diakui sebagai raja. Sai Mermere berkedudukan di Abusur-Lewerau, dimana ia membangun rumah pemali (romloluli), yang dinamakan Tutuala-sesuai tempat tinggalnya terakhir. Dalam rumah itulah disimpan berbagai barang keramat yang dibawa dari Wewiku-Wehali. Nama Wewiku-Wehali pantang disebut sembarang, karena nama itu hanya disebut pada saat terjadi pertumpahan darah.

Satu versi lagi dituturkan Salmun Wonlele, Suku Romdawa kepada Parera. Menurut Wonlele, penduduk asli Kisar datang dalam empat rombongan, yakni dari Keilaru Barat, Keislaru Timur, Iliwuar-Wakuleren dan rombongan Wewiku-Wehali. Tidak hanya itu penjelasan tentang asal leluhur penduduk Kisar. Kisah lain dituturkan keturunan dari pemilik perahu orang Luang yang terdampar dan menetap di Kisar bersama Sai Mermere, Th. T. Rupilo, yang juga disampaikan kepada Parera. Namun, kisah ini lebih pada nasihat yang ditujukan kepada para perantau. Kepada setiap pemuda yang hendak merantau, selalu dibekali pesan orangtua, “Kemanapun kamu pergi, bila harus melalui Belu, jangan tunjuk dengan jarimu dan jangan pernah sebut nama Wewiku-Wehali, karena nama itu menuntut darah”.

Mengenai masuknya Belanda ke Pulau Selatan Daya (PSD), Maluku, tokoh masyarakat di Kisar, S.D. Mozes, menuturkan dari berbagai informasi yang diperolehnya. Dikisahkan, masuknya Belanda ke Kisar, diawali kisah nenek moyang orang Kisar, Perlakuloho. mengantar adiknya yang sakit untuk berobat ke Belagar, Pantar, Alor. Namun, dalam perjalanan pulang ke Kisar, tepatnya di antara Pulau Wetar dan Kisar, Perlakuloho mendapatkan perahu yang ternyata ditumpangi warga Belanda yang diketahui bernama Yan de Klein sedang mengalami kesulitan air untuk melanjutkan perjalanan.

Oleh karena itu, Perlakuloho membantu warga Belanda dan mengajaknya ke Kisar, dengan harapan warga Belanda di dalam kapal itu dapat membantu mereka, seandainya ada serangan dari Portugis. Kekhawatiran bakal terjadinya serangan Portugis itu beralasan, karena sebelumnya seorang warga Kisar membunuh seorang Portugis. Kapten Kapal Belanda, Yan de Klein tidak keberatan dengan ajakan itu. Dalam perkembangan selanjutnya, berkibarlah bendera Belanda di Kisar yang menyebabkan Portugis mengurungkan niatnya menyerang Kisar. Akhirnya, penumpang kapal itu menetap di Kisar (Mestiezen), bahkan, Yan Klein kawin dengan seorang wanita asli Kisar. Warga Belanda itu, pertama membangun Kota Delftshaven di Kota Lama dan Kota Vollenhove di Pantai Nama, Kisar. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya benteng peninggalan Belanda di kedua kota itu.

Untuk menelusuri kisah dari Pulau Kisar itu sendiri, seorang warga Jerman, Ernest Rodenwaldt yang bermukim di Kisar pada tahun 1920-an melukiskan Kisar dalam dua jilid buku yang berjudul Die Mestiezen auf Kisar. Karya Ernest itu juga menggambarkan kehidupan 200 orang keturunan Belanda yang terdampar di Kisar, tapi tetap mempertahankan kesatuannya di Kisar (Mestiezen Kisar). Disebutkan, sebelum tahun 1823 wilayah Kecamatan Pulau Selatan Daya, tepatnya pada masa Hindia Belanda dengan nama Onderafdeeling Zuid Wester Eilandon merupakan bagian dari Keresidenan Timor, berkedudukan di Ilwaki, Pulau Wetar. Wilayahnya meliputi Pulau Kisar, Wetar, Lirang, Romang, Damer, Leti, Moa, Lakor, Luang dan Pulau Sermatang.

Pada tahun 1896, kedudukan Onderafdeeling Zuid Wester Eilandon dipindahkan dari Ilwaki ke Serwaru, Pulau Leti. Kemudian tahun 1912, dipindahkan lagi ke Wonreli, Pulau Kisar, tepat pada masa kepemimpinan Luitnan Gesegheber B.H. Trestege. Putusnya hubungan dengan Keresidenan Timor terjadi tahun 1925, ketika Onderafdeeling Zuid Wester Eilandon dialihkan ke Residen Maluku (Residentie Molukken). Pengalihan itu, diikuti perubahan Onderafdeeling Tanimbar Hilanden menjadi Asisten Wedana, tahun 1928 yang diperintah seorang Bestuurs Assisten di bawah kekuasaan Hoof van Plaatselyke Bestuur (HPB) di Wonreli. Pada tahun 1947, barulah dijadikan Onderafdeeling sendiri.

Konon sebelum masuknya Belanda, nama asli Pulau Kisar adalah Jotowawa atau Jotomjai merupakan nama asli Pulau Kisar. Ada yang memahami dikenalnya nama Kisar karena adanya salah paham antara warga asli Kisar dan warga Belanda. Kisahnya demikian, ketika warga Belanda sampai di Kisar, mereka menanyakan kepada penduduk tentang nama pulau itu, dengan menunjuk pasir. Warga asli mengira, yang ditanyakan adalah pasir putih, yang dalam bahasa Kisar disebut Kiasar. Sejak itulah pulau itu dikenal sebagai Pulau Kisar. Tapi, ada warga yang membantah kebenaran cerita ini.

Selain nama Kisar, pulau seluas 117,07 km2 itu dinamakan juga Lei Timor (Timor Kecil). Nama ‘Timor Kecil’ ini diperkuat dengan surat tahun 1795 dari seorang pegawai yang menceritakan kronologis dari nama Kisar atau Timor Kecil. Keberadaan Pulau Kisar, Maluku Tenggara dan sekitarnya, ternyata sudah dikenal di Negara Eropa. Hal itu terbukti dengan masuknya Kisar dalam Encyclopedia Nederland Indische. Hanya saja, dalam Ensiklopedia Indonesia, tidak sedikitpun menyinggung tentang Kisar. Bahkan di Liberia pun, Kisar dan sekitarnya sudah dikenal, hal itu terbukti dari adanya kapal pesiar dari Liberia “World Discovery” (1991) yang mengunjungi Pulau Wetar, yang juga memiliki tambang emas, yang dikelola PT Prima Lirang Minning.