Dalam catatan sejarah Kesultanan Tidore, disebutkan bahwa ibukota kesultanan mengalami beberapa kali perpindahan. Laporan Puslit Arkenas (2010) menyebutkan terjadi empat kali perpindahan ibukota kesultanan yaitu Rum, Mareku, Toloa dan Soa Sio. Sementara dalam laporan Ripda Kota Tidore Kepulauan (2014), hanya disebutkan tiga kali perpindahan yaitu Rum, Toloa, dan Soa Sio. Mareku tidak disebutkan sebagai salah satu ibukota Kesultanan Tidore.
Puslit Arkenas memasukkan Mareku sebagai salah satu ibukota Kesultanan Tidore berdasarkan data yang diperoleh dari buku The World of Maluku (Andaya, 1993) yang menyebutkan bahwa Sultan Tidore Al Mansyur menerima kehadiran orang Spanyol dan menjamunya di Istana Kesultanan Tidore di Mareku. Dalam buku tersebut juga dijelaskan bahwa pada tahun 1524, pasukan gabungan Ternate –Portugis menyerang ibukota Kesultanan Tidore di Mareku, pasukan-pasukan Tidore beserta sekutunya bertahan di benteng pertahanan Mareku, mereka dikepung dan akhirnya berhasil mengepung tempat tinggal Sultan di Mareku dan menghancurkannya. Widjojo (2013) dengan menggunakan sumber data yang sama dengan Puslit Arkenas, juga menyebutkan mengenai hancurnya pemukiman Sultan Tidore di Mareku akibat serangan Ternate – Portugis. Dengan meyakini penelusuran data yang akurat dalam kedua tulisan tersebut, terutama Widjojo (2013), maka ibukota Kesultanan Tidore mengalami empat kali perpindahan ibukota dan salah satunya adalah Mareku.
Dalam wilayah adat Mareku terdapat dua benteng, yaitu Benteng Marieco dan Benteng Tomanira. Namun secara administratif, benteng yang terdapat di dalam wilayah Mareku hanya Benteng Tomanira. Di pinggir pantai antara lokasi Benteng Marieco dan Benteng Tomanira, terdapat sisa struktur yang menjorok ke laut, dan diyakini sebagai reruntuhan dari sebuah dermaga yang menjadi tempat bersandarnya kapal-kapal besar pada masa kolonialisme. Menurut kesaksian masyarakat Mareku, sekitar tahun 1950-an, struktur yang diduga dermaga tersebut masih kompak dan terlihat jelas bentuknya sebagai sebuah dermaga