You are currently viewing Latar Belakang Sejarah (Bagian 3), Candi Sewu dan Sejarah Pemugarannya

Latar Belakang Sejarah (Bagian 3), Candi Sewu dan Sejarah Pemugarannya

Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Jawa Tengah sampai saat terus menerbitkan buku bertema Cagar Budaya. Beberapa buku yang telah diterbitkan merupakan buku yang cukup sering digunakan untuk referensi guna melakukan tindakan pelestarian suatu cagar budaya. Buku-buku ini sering disebut sebagai buku “Babon” karena sangat memegang peranan penting. Salah satu buku “Babon” ini adalah Buku Candi Sewu dan Sejarah Pemugarannya. Adapun tim penulis buku ini adalah Penasehat/editor : IGN Anom, Penanggung Jawab : Tri Hatmaji, Tim Penyusun terdiri dari Ketua : Kusen, Anggota : I Made Kusumajaya, Gutomo, Rusmulia Ciptadi H, Murdjijono, Sudarno, dan Suhardi. Buku ini diterbitkan sebagai bagian Proyek Pelestarian / Pemanfaatan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah 1991- 1992. Untuk lebih memudahkan akses masyarakat untuk dapat membaca buku ini, laman ini akan menampilkan bagian per bagian dari buku Candi Sewu dan Sejarah Pemugarannya.

Setelah gambaran umum tentang proses kedatangan pengaruh India ke Indonesia diuraikan, berikut ini akan dibahas tentang kasus yang terjadi di Jawa. Uraian yang disajikan di bawah ini terutama bersumber pada tulisan F.H. van Naerssen, The Economic And Administrative History Of Early Indonesia, tahun 1977. Sebelum kedatangan pengaruh India, di Jawa terdapat komunitas yang
terutama bermatapencaharian sebagai petani. Usaha pertanian disini sudah cukup maju karena telah mengenal pertanian sawah dengan padi sebagai tanaman utama. Mereka juga telah mengenal irigasi. Kelompok komunitas terkecil tinggal dalam sebuah desa yang disebut dengan wanua. Desa dipimpin oleh rama dan dewan tua-tua, sedang penduduk desanya disebut anak wanua. Selain rama di desa pertanian kecil ini juga terdapat pejabat lain yaitu antara lain hulu air (huler) yang tugasnya mengatur penggunaan air untuk
keperluan irigasi.

Air yang digunakan untuk irigasi terutama diambil dari sungai. Sepanjang aliran sungai dengan anak-anak sungainya tentunya terdapat terdapat lebih dari satu wanua. Agar penggunaan air tertib, beberapa wanua yang terletak dalam satu daerah aliran sungai membentuk federasi wanua yang kemudian satuan wilayahnya dikenal dengan nama watak. Watak dipimpin oleh seorang kepala daerah yang disebut raka. Pembentukan federasi wanua ini antara lain didorong oleh kesadaran bahwa sebuah wanua tidak mungkin menangani sendiri pembangunan sarana irigasi seperti bendungan misalnya yang membutuhkan biaya dan tenaga kerja yang tidak sedikit.

Raka sebagai pimpinan federasi wanua (watak) diberi wewenang untuk mengerahkan tenaga bagi pekerjaan- pekerjaan yang menyangkut kepentingan umum. Agar dapat menjalankan fungsinya dengan baik, dia mendapat hak untuk memperoleh sebagian besar hasil panen rakyatnya. Berawal dari sini seorang raka telah berubah menjadi raja yang memiliki wewenang memerintah. Dalam menjalankan perintahnya raka di bantu oleh sejumlah pejabat. Mereka inilah yang kemudian menjadi kelas penguasa sekaligus kelas konsumen yang memerintah dari keraton atau pusat pemerintahan.