You are currently viewing Jawa Tengah Sebuah Potret Warisan Budaya, Seni Bangunan Prasejarah

Jawa Tengah Sebuah Potret Warisan Budaya, Seni Bangunan Prasejarah

Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Jawa Tengah telah menerbitkan beberapa buku. salah satu buku yang telah diterbitkan adalah buku berjudul Jawa Tengah Sebuah Potret Warisan Budaya. Buku ini diterbitkan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Jawa Tengah bekerjasama dengan Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (Prof. Sumijati Atmosudira dkk /editor). Mempertimbangkan permintaan dari masyarakat maka buku ini ditampilkan di laman ini.

Seni bangunan atau arsitektur adalah perpaduan antara seni dengan berbagai pengetahuan mengenai ilmu bangunan. Dengan demikian, seni bangunan membicarakan sekaligus berbagai aspek tentang keindahan dan kontruksi bangunan. Menurut Fritz, arsitektur merupakan penggubahan terhadap lingkungan alam yang mengakibatkan terjadinya struktur buatan, bentuk fisik baru, dan perubahan ruang.

Suatu bangunan didirikan dengan mengingat tiga faktor, yaitu: a)syarat kenyamanan;b) memiliki kekuatan;dan c) mempunyai keindahan. Ketiga faktor itu saling berkaitan, baik pada rumah tinggal, bangunan suci keagamaan, maupun bangunan-bangunan umum lainnya.

Pengertian-pengertian tersebut di atas, digunakna sebagai dasar uraian tentang Seni Bangunan dalam buku ini yang hanya mencakup hasil-hasil Seni Bangunan di wilayah Propinsi Jawa Tengah. Berdasarkan rentang waktunya maka hasil Seni Bangunan yang akan diuraikan adalah berbagai bangunan dari masa prasejarah sampai dengan masa kolonial. Mengingat jumlah hasil Seni Bnagunan di Jawa Tengah dalam rentang waktu tersebut cukup banyak, maka uraian dalam buku ini hanya bersifat bunga rampai.

Dalam perjalanan sejarah yang panjang, bangsa Indonesia terbukti mampu membuat berbagai bangunan sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Tidak dapat diketahui dengan pasti kapan orang di Indonesia mulai mendirikan bangunan. Sementara ini, hanya dapat diperkirakan bahwa munculnya seni bangunan pada masa prasejarah dapat dihubungkan dengan pergantian sistem mata pencaharian (substensi) dari berburu dan mengumpulkan makanan ke sistem bercocok tanam. Sesuai dengan hal tersebut maka cara hidup mengembara ditinggalkan, manusia tinggal di suatu tempat untuk masa yang lama.

Sehubungan degan itu, manusia berusaha membangun tempat tinggal untuk melindungi diri dari terpaan cuaca, ancaman binatang buas, serta musuh. Bangunan tempat tinggal itu diduga dibuat dari bahan yang tidak tahan lama seperti kayu, bambu, dan daun-daunan. Oleh karena itu, bangunan tempat tinggal dari masa prasejarah di Indonesia umumnya dan Jawa Tengah khususnya tidak lagi ditemukan sisa-sisanya. Setelah manusia hidup menetap, mereka juga mendirikan bangunan-bangunan berbahan batu, namun, bukan untuk tempat tinggal melainkan untuk kepentingan keagamaan.

Bangunan dari batu semacam itu, direpresentasikan oleh monumen megalitik yang didirikan oleh masyarakat bercocok tanam di tempat-tempat tertentu, dan akan melegitimasikan hubungan antara kelompok masyarakat tersebut dengan sumber alam, batas kepemilikan lahan, dan pewarisan tanah. Berdasarkan hal itu dapat disimpulkan bahwa Seni Bangunanprasejarah muncul sebagai sarana untuk pemenuhan kebutuhan penciptaan simbol-simbol formal. Pemanfaatan seni bangunan masa prasejarah sebagai simbol formal memang sangat efektif. Menurut Wobst, Fritz, dan Wiessner, seni bangunan yang sangat potensial sebagai media komunikasi adalah monumen yang dapat menarik perhatian orang dari jarak yang cukup jauh, dan dapat dijumpai oleh sejumlah orang dalam berbagai konteks.

Bukti-bukti arkeologis menunjukkan bahwa hasil seni bangunan prasejarah yang dapat bertahan sampai saat ini hanya seni bangunan megalitik. Hal ini dapat dimaklumi mengingat bangunan megalitik dibuat dari batu sehingga tidak lekang oleh hujan dan panas.

Bangunan-bangunan megalitik tersebut tidak mempunyai bilik atau ruanga, dan oleh karenanya juga tidak mempunyai atap. Jenis-jeis peninggalan tersebut di Jwa Tengah berupa:

  1. Menhir; yakni batu tegak seperti tiang yang didirikan sebagai tanda peringatan dan melambangkan arwah nenek moyang. Menhir dapat berdiri tunggal atau berkelompok.
  2. Batu temu gelang (stone enclosurez), yakni sekelompok menhir atau bahan batu lain yang disusun membentuk formasi temu gelang.
  3. Kursi batu atau tahta batu, yakni bangunan menyerupai kursi yang terdiri atas bagian sandaran dan alas, dan disusun dari lempengan-lempengan batu.
  4. Punden berundak, yakni bangunan pemujaan tanpa ruang yang disusun bertingkat-tingkat.
  5. Dolmen, yaitu bangunanmenyerupai meja yang terdiri atas batu datar dalam posisi horizontal, diletakkan di atas batu-batu dalam posisi vertikal. Biasanya dolmen digunakan sebagai tempat untuk saji-sajian.
  6. Peti kubur batu, yakni wadah untuk menempatkan mayat yang dibuat dari lempengan batu baik dasar, tutup, maupun dinding-dindingnya, sehingga membentuk peti segi empat panjang.

Di Jawa Tengah bangunan-bangunan itu terdapat di:

  1. Kabupaten Rembang. Di wilayah ini bangunan megalitik ditemukan di Situs Terjan yang terletak di Bukit Selodiri Desa Terjan, Kelurahan Terjan, Kecamatan Kragan. Peninggalan Seni Bangunan di Situs Terjan berupa menhir, pagar batu, lima tahta batu, umpak batu yang berpola hias Hindu, adan arca kepala binatang. Tahta batu beserta arca kepala binatang disusun melingkar, sehingga membentuk susunan temu gelang di tengahnya ditemukan rangka manusia dalam posisi membujur arah barat laut – tenggara. Bangunan-bangunan batu itu dibuat dengan memanfaatkan bongkah-bongkah batu monolitik menjadi bentuk-bentuk menhir, tahta batu, sedangkan pola hias dan bagian-bagian detil arca kepala binatang dipahatkan pada benda yang sudah terbentuk. Berdasarkan ciri-ciri temuan arkeologis di Situs Terjan, Teguh Asmar menyatakan bahwa situs tersebut merupakan situs tradisi megalitik, dan menurut Haris Sekunder berfungsi sebagai tempat penguburan. Selanjutnya Haris Sukendar juga berpendapat bahwa situs ini berasal dari masa antara paleometalik akhir sampai masa berkembangnya budaya Hindu.
  2. Kabupaten Karanganyar: Di daerah ini, tinggalan bangunan prasearah terdapat di tiga situs, yakni: Situs Matesih, Plumbon, dan Menggung, Jenis bangunan prasejarah di Situs Matesih dan Plumbon sama, yaitu sebagain besar berupa stone endosure yang oleh penduduk setempat disebut watu kandang. Struktur watu kandang yang ditemukan di Situs Matesih dan Plumbon bervariasi mulai dari bentuk persegi panjang, oval, hingga yang tidak beraturan. Selain stone enclosure di kedua situs tersebut juga ditemukan beberapa menhir dan tahta batu. Pada beberapa ekskavasi di watu kandang, Matesih, didapatkan temuan serta antara lain berupa gerabah, fragmen keramik asing yang berasal dari abad X – XII TU, fragmen, artefak besi, manik-manik, dan bekas liang lahat. Jenis-jenis bangunan batu dan temuan-serta di kedua situs tersebut menimbulkan interpretasi tentang fungsinya, yaitu sebagai tempat pemujaan sekaligus tempat penguburan. Batu-batu pada watu kandang adalah bongkah-bongkah batu alam yang ditata temu gelang (stone enclosure). Berdasarkan temuan-temuan tersebut di atas, dan teknik pengerjaan, serta struktur watu kandang para arkeologi berpendapat bahwa Situs Matesih dan Plumbon muncul sejak masa megalitik tua dan berkembang hingga sekitar abad XII TU. Di Situs Menggung yang masuk dalam wilayah Kelurahan Tawangmangu, Kecamatan Tawangmangu, dan berada pada ketinggian 800-1000 m di atas permukaan air lautterdapat dua punden berundak, arca-arcatradisi prasejarah, menhir, struktur batu, dan yoni. Punden berundak yang besar mempunyai lima tingkat yang satu sama lain dihubungkan dengan tangga batu. Oleh penduduk setempat, punden besar ini dinamai Punden Menggung. Adapun punden yang kecil yang kecil hanya terdiri atas satu tingkat saja, dan dinamai Punden Ajar. Kedua punden berundak ini mengarah ke Gunung Jogolarangan. Punden berundak dibuat dengan memanfaatkan kondisi topografi setempat yang dikerjakan menjadi undak-undak yang beraturan dengan diperkuat susunan batu-batu alam. Menhir, arca, struktur batu dan yoni di situs Menggung ditempatkan pada tingkat-tingkat kedua punden tersebut. Pada saat-saat tertentu (sampai sekarang) masih dilakukan upacara adat di kedua punden berundak itu. Pembangunannya diperkirakan berlanjut sampai masa klasik, yang antara lain dibuktikan dengan keberadaan yoni di tingkat kelima Punden Menggung. Tidak adanya sisa-sisa kuburan menunjukkan bahwa situs ini memang tidak berfungsi sebagai kuburan, melainkan sebagai tempat pemujaan sebagaiman tercermin dari kebiasaan mengadakan upacara di punden berundak di situs tersebut.
  3. Kabupaten Banyumas: Kawasan Kabupaten Banyumas ternyata menyimpan kekayaan peninggalan seni bangunan prasejarah yang terdapat di delapan situs. Kedelapan situs tersebut berada di Kecamaran Kedung, Benteng, Kecamatan Cilongok (enam situs), dan Kecamatan Sumbang. Peninggalan seni bangunan prasejarah di Kabupaten Banyumas berupa punden erundak, menhir, (baik tunggal maupun berkelompok), jalan batu dan altar batu. Punden berundak di Kabupaten Bnayumas bervariasi jumlah tingkatannya. Mulai dari punden bertingkat dua seperti di Situs Andong Bang, Madasmayung, Bnyumudal, dan Waru, semuanya di Kecamatan Cilogok; serta Situs Gandatapa I di Kecamatan Sumbang, kemudian punden bertingkat tiga di Situs Baseh, Kecamatan Kedung Banteng; serta di Situs Kejiamba dan Ragungdua di Kecamatan Cilongok. Punden bertingkat empat terdapat di Situs Gandatapa II di Kecamatan Sumbang sedangkan punden bertingkat jutuh juga terdapat di Situs Kejiamba yang sudah disebut diatas. Menhir tunggal terdapat di Situs Baseh, Kejiamba, Ragungdua, Bnayumudal, serta di Situs Gandatapa I dan II. Menhir berkelompok terdapat di Situs Andong Bang, Madasmayung, Bnyumudal, dan Waru serta Situs Gandatapa I. Jika diperhatikan tampak bahwa menhir berkelompok di situs-situs prasejarah di Banyumas mempunyai dua jenis susunan, yaitu membentuk segi empat dan berjajar mengarah ke Gunung Slamet. Punden berundak, dan jenis temuan lain termasuk temuan-serta yang berupa arca-arca prasejarah menyiratkan fungsi tinggalan-tinggalan seni bangunan prasejarah di Kabupaten Bnuyumas sebagai bangunan pemujaan.
  4. Kabupaten Purbalingga: Sampai saat ini di kawasan Kabupen Purbalingga ditemukan beberapa peninggalan seni bangunan megalitik yaitu di Kecamatan Bobotsari dan Kecamatan Karanganyar. Peninggalan-peninggalan tersebut berupa dua kelompok menhir; yang masing-masing terdiri atas dua batu tanpa dikerjakan, dan berdiri berjajar. Kedua kelompok yang terpisah dengan jarak 50 m ini terdapat di Situs Pamujan, Kelurahan Dagan, Kecamatan Bobotsari.Peninggalan lainnya berupa dolmen, oleh penduduk setempat disebut watu tumpang. Dolmen yang berorientasi arah barat daya-timur laut tersebut berupa satu batu datar berukuran 63 cm 50 cm yang diletakkkan di atas dua batu yang berukuran lebih kecil. Peninggalan ini terdapat di Situs Glempang, Kelurahan Daganm Kecamatan Bobotsari.
  5. Kabupaten Blora: Kabupaten Blora merupakan salah satu wilayah di wa Tengah yang mempunyai jenis peninggalan megalitik berupa peti kubur batu. Penduduk setempat menyebut tinggaln ini dengan istilah kubur kalang. Lokasi temuan biasanya terdapat di hutan jati.