Dewi Sri

Sri merupakan perwujudan sakti Wisnu yang selalu dihubungkan dengan unsur keberuntungan dan kemakmuran. Sri juga dikenal dengan sebutan ardhra yaitu yang selalu memberi kesan segar dan hidup seperti tanaman. Sebutan Sri yang lain adalah kairisin, yang berarti selalu melimpahi dengan pupuk (kandang), bhuti yang berarti selalu diharapkan untuk melimpahkan kemakmuran, serta jwalantin, yang selalu bersinar terang. Berkaitan dengan hal tersebut, maka Sri kemudian dipuja di kalangan masyarakat agraris, tidak ketinggalan pula di kalangan masyarakat Jawa. Di India, Sri tidak terlalu populer, jika dibandingkan dengan Laksmi. Akan tetapi, masyarakat Jawa Tengah Kuna tampaknya lebih mengenal Sri sebagai sakti Wisnu dari pada Laksmi. Pada periode Jawa Tengah Kuna, keberadaan Dewi Sri lebih populer dari pada Laksmi. Terdapat asumsi adanya pemujaan terhadap Wisnu dan saktinya Sri pada masa Jawa Tengah Kuna. Candi Barong, yang terletak di selatan Candi Prambanan (tidak jauh dari Kraton Baka),merupakan candi yang diasumsikan sebagai tempat pemujaan bagi Wisnu dan saktinya Sri. Berkenaan dengan hal tersebut,tidak pula ditolak kemungkinannya bahwa pada periode Jawa Tengah Kuna terdapat pemujaan terhadap Wisnu dalam berbagai peran.Asumsi tersebut didasarkan pada keberadaan sejumlah arca Wisnu dan awatara-nya. Selain Wisnu sebagai wujud Trimurti, dijumpai pula penggambaranWisnu sebagai Rama, Krisna, Narasingha, danWamana, yang penggambarannya ditemukan tidak jauh dari sekitar Candi Barong. Pengambaran Sri sebagai sakti Wisnu pada periode Jawa Tengah Kuna ditandai dengan laksana setangkai bulir padi pada tangan kirinya, sebagaimana ditunjukkan oleh arca perunggu yang merupakan penggambaran Dewi Sri koleksi Museum Sonobudoyo, Yogyakarta. Dewi Sri digambarkan duduk di atas padmasana dengan sikap sattwaparyangkasana. Dewi tersebut digambarkan dengan dua tangan, tangan kanannya bersikap waradahastamudra, sedangkan tangan kirinya memegang setangkai padi. Kedudukannya sebagai dewi ditunjukkan dengan hadirnya sirascakra (halo). Ia digambarkan mengenakan jatamakuta, kundala, hara, channawira, keyura, kankana dan urudamaj. Keberadaan unsur padi inilah yang kemungkinan menyebabkan Dewi Sri didudukkan sebagai dewi padi. Kemunculan peran Sri sebagai dewi padi sebenarnya baru muncul pada periode yang lebih kemudian, sebagaimana disebutkan dalam Kitab Kitab yang berasal dari abad ke XV-XVI, sedangkan temuan nama Sri telah dijumpai pada cincin dengan tulisan Cri yang berasal dari abad VII-IX M yang dikombinasikan dengan mantra Om sehingga membentuk gambar zanca. Konsepsi ini mungkin merupakan pengembangan dari pemikiran bahwa Sri dianggap berhubungan dengan kesuburan tanaman sesuai dengan sebutan kairisin dan kadama, putera Sri yang berarti lumpur sawah, hal ini yang mencipatakan mitos bahwa Sri adalah penguasa padi (Buku Dewa Dewi Masa Klasik terbitan BPCB Jateng).

sri(Dewi Sri, Museum Sonobudoyo (Repro: Fontein, 1990)