You are currently viewing Dewa Dewi Masa Klasik (7), Brahma

Dewa Dewi Masa Klasik (7), Brahma

brahma(Arca Brahma di Candi Srikandi di Kompleks Candi Arjuna Kawasan Dieng)

Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah sampai telah menerbitkan buku. Buku-buku ini dibagikan secara gratis kepada masyarakat selama persediaan masih ada. Tak jarang karena persediaan telah habis banyak masyarakat tidak mendapatkan buku terbitan BPCB Jateng yang diinginkan. Salah satu permintaan masyarakat yang cukup tinggi adalah buku Dewa Dewi Masa Klasik yang diterbitkan BPCB Jateng pada tahun 2010. Berdasarkan kenyataan tersebut melalui laman ini akan ditampilkan isi buku Dewa Dewi Masa Klasik yang terbagi dari beberapa bagian.

Brahma adalah wujud Ishwara ketika menciptakan dunia dan segala isinya. Sebagai Dewa Pencipta yang mengandung hiranyagarbha, Brahma pun menciptakan dirinya sendiri, sehingga ia disebut swayambu. Sebutan lain bagi Brahma adalah Pitamaha (the Great Father), Kamalasana (yang duduk di atas lotus), Caturmukha (yang bermuka empat), dan masih banyak lagi.
Ciri umum yang dimiliki Brahma adalah memiliki empat wajah yang tenang, empat tangan, dapat digambarkan duduk, berdiri, maupun mengendarai kereta yang ditarik hamsa (angsa). Laksana Brahma berupa aksamala (tasbih), kamandalu (kendi), pustaka (buku), ankusa (tongkat pengendali gajah), padma, sruk (sejenis sendok besar dari bambu), sruva (sejenis sendok kecil dari bambu), rumput kusa, mudra-nya adalah vara(dahasta)mudra. Pakaian dan perhiasan yang dikenakan antara lain terdiri atas dhoti (lower garment), jatamakuta, kundala (anting-anting), keyura,   hara, upavita berupa kulit rusa atau yajnopavita putih, dan katisutra (ikat pinggang).

Meskipun di dalam sistem panteon Hindu Brahma menduduki posisi sebagai mahadewa bersama dengan Wisnu dan Siwa, yang tergabung dalam Trimurti, akan tetapi popularitasnya berbeda. Jumlah pemuja Brahma relatif sedikit, baik di India sebagai negeri asal agama Hindu maupun di Jawa. Kondisi tersebut berpengaruh kepada keberadaan arca Brahma secara kuantitas dan sebarannya.
Dibandingkan arca Wisnu dan Siwa, keberadan arca Brahma dalam periode Klasik Jawa Tengah tidak banyak jumlahnya. Dari yang tidak banyak itu, terdapat kualitas pengga,barakan yang luar biasa. Sebut saja arca Brahma dari Candi Banon, yang kini berada di Museum Nasional Jakarta, karena Candi Banon yang berlokasi di sekitar Candi Boobudur kini sudah tidak ada lagi.  Walaupun arca Candi Banon ini sudah tidak lengkap, akan tetapi kualitas dan tingkat pengerjaannya sangat bagus. Satu-satunya laksana yang dapat digunakan untuk menunjukkan identitasnya sebagai  Brahma hanyalah  kepalanya yang berjumlah empat, masing-masing mengenakan jatamakuta. Atribut lainnya tidak ditemukan.
Arca Brahma lainnya adalah  yang berasal dari Candi Brahma di Kompleks Percandian Prambanan.  Hingga sekarang arca tersebut masih insitu. Sama dengan yang berasal dari Candi Banon, arca Brahma di Candi Prambanan merupakan arca yang menjadi bagian dari percandian yang diperuntukkan bagi Trimurti.

Brahma di kompleks Prambanan digambarkan berdiri di atas padmasana yang diletakkan di atas yoni. Ia digambarkan memiliki kepala empat, mengenakan jatamakuta, dan mempunyai tangan dua pasang. Masing-masing tangannya memegang aksamala, camara, dan kamandalu. Sementara tangan kanan yang satu lagi menunjukkan sikap waradahastamudra. Pakaiannya mengenakan dhoti, mengenakan urudamaj  yang disimpulkan sebagai pita di bagian belakang arca.
Menarik untuk dikemukakan adalah relief Brahma yang terdapat di Candi Srikandi di Kompleks Percandian Arjuna, Dieng. Relief tersebut ditempatkan di dinding luar, sisi utara, Candi Srikandi yang diperuntukkan bagi pemujaan terhadap Siwa, sebagaimana diketahui dari keberadaan Yoni yang ada di dalam garbhagreha-nya.  Relief ini digambarkan dengan empat buah tangan, tangan yang di depan menunjukkan sikap anjalimudra, sedangkan kedua tangan yang lain, masing-masing memegang aksamala (tasbih) dan camara.  Keberadaan Brahma dengan sikap anjalimudra cukup menarik, karena sikap anjalimudra seperti itu biasanya hanya digunakan oleh ikon yang mempunyai kedudukan sub-ordinat, padahal di dalam sistem panteon Hindu, Brahma termasuk di dalam kelompok mahadewa.

Tidak kalah menariknya adalah Brahma koleksi Rijkmuseum voor Volkenkunde, Leiden, yang disebutkan berasal dari Dieng, Gaya penggambaran arca Brahma ini memang spesifik, khas Dieng, dan langka. Brahma diarcakan dalam posisi duduk di atas pundak (dipanggul)  wahana-nya, yaitu Hamsa yang berwujud antropomorfik.  Penggambaran seperti ini disebut Hamsawahana.  Ciri Hamsa-nya memang tidak tampak, karena digambarkan antropomorfik. Akan tetapi,  dengan melihat keberadaan ikon Brahma yang digambarkan dengan laksana caturmukha, maka dapatlah diyakini bahwa ikon yang mendukung Brahma adalah wahana-nya, yaitu Hamsa. Masing-masing kepala Brahma mengenakan jatamakuta.  Brahma Juga digambarkan bertangan empat, masing-masing tangannya memegang kamandalu, aksamala, lotus, dan camara.
Penggambaran wahana Brahma dalam wujud antropomorfik sebagaimana ditunjukkan oleh arca yang menjadi koleksi Rijkmuseum, sangat spesifik. Bila Brahma digambarkan bersama wahana-nya, maka wahana tersebut digambarkan zoomorfik.  Posisinya  berada  bersama Brahma, dikendarai, atau menarik  kereta yang dikendarai Brahma.

Sakti Brahma adalah Saraswati dan Sawitri. Akan tetapi, beberapa sumber menyebutkan bahwa Sawitri adalah sebutan lain untuk Saraswati. Jika dibandingkan dengan keberadaan arca Brahma, arca Saraswati pun tidak terlalu banyak jumlahnya. Salah satunya adalah arca perunggu yang terdapat di Museum Radyapustaka Surakarta (No. Inv. A8/G2-12).  Ada pula sumber yang menyebutkan bahwa sakti Brahma adalah Brahmi, yang sebenarnya juga merupakan perwujudan dari Saraswati, ditunjukkan melalui persamaan laksana antara Brahmi dan Saraswati (Buku Dewa Dewi Masa Klasik Terbitan BPCB Jateng).

Sumber: Buku Dewa Dewi Masa Klasik Terbitan Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah