Pada tanggal 25 Maret 1816, setelah menyelesaikan tugasnya di Jawa (1811-1816), Raffles ngambil cuti dengan kapal Ganges ke London dan tiba di sana pada tanggal 16 Juli 1816. Tanggal 22 februari Raffles menikah dengan nona Sophia Hull dari Irlandia, dan pada bulan Oktober tahun itu juga keluarga Raffles berangkat dari Portsmouth menuju Bengkulu. Pada tanggal 22 Maret 1818, setelah berlayar selama lima bulan melingkar Tanjung Harapan di Afrika Selatan tanpa menyinggahi satu pelabuhan pun, sampailah mereka di kota Bengkulu. Kedatangan Raffles ini untuk menjalankan pemerintahan penjajahan Inggris di Bengkulu sebagai letnan Gubernur. Rombonngan Raffles ini menemukan kota Bengkulu dalam keadaan yang porak-poranda.
Sebagai negeri yang ditinggalkan. Tidak tersedia akomodasi apa-apa bagi rombongan agung itu. Gedung-gedung milik pemerintah ditinggalkan terbengkalai. Raffles terpaksa membawa keluarganya ke sebuah rumah yang demikian rusaknya karena gempa bumi yang dahsyat hingga penduduk pribumi sekalipun tidak berani mendiaminya.
Kedatangan rombongan Raffles ini memang disambut oleh gempa bumi yang bergemuruh pada waktu itu. mulai dengan gempa bumi yang pertama, disusul oleh gemba bumi berikutnya, dan yang paling hebat terjadi pada tanggal 1 Maret 1811 yang menyebabkan hampir semua rumah hancur runtuh. Rangkaian gempa tersebut masih terus berlangsung sampai tanggal 8 April 1811 dengan dua atau tiga kali guncangan gempa sehari. Suatu bencana alam yang betul-betul merusakkan seluruh ibu kota pada waktu itu, sehingga menjadi tugas berat bagi Raffles untuk membangunnya kembali Mengenai ibu kota yang porak-poranda itu, Raffles menggambarkannya dengan kondisi hancur berantakan bagaikan sebagai kota tanpa roh. Ia menyebutkan;
inilah tempat yang paling menyedihkan yang pernah saya lihat”. Saya tidak dapat menggambarkan keadaan porak-poranda di sekitar saya. Keadaan yang terbengkalai, pemerintahan yang buruk, bencana alam berupa gempa bumi yang dahsyat, jalan raya yang tidak dapat dilalui; jalanjalan raya yang lebar di ibu kota penuh dengan rumput; bangunan milik pemerintah menjadi sarang hewan liar. Penduduk Bengkulu pada saat perjumpaan pertama dengan Raffles mengatakan bahwa Bengkulu sekarang ini adalah “tanah mati”.
Melihat keadaan sedemikian rupa, maka Raffles bertekad untuk mengadakan perubahan-perubahan radikal dalam suasana kebijaksanaan politik, pemerintahan yang bersikap kejam, dan keadaan masyarakat yang tertindas.
Tekad ini segera diselenggarakan Raffles demi nama baik Kerajaan Inggris sehingga rakyat Bengkulu mampu menyimak perbedaan antara kebijaksanaan politik pemerintahan Inggris dengan pemerintahan EIC yang penuh dengan spekulasi-spekulasi komersial kompeni Inggris beserta para agennya yang berperangai bejat.
Penarikan para residen dari pos-pos Keresidenan Luar (Out Residencies) serta penghapusan tanaman paksa merupakan langkah pertama yang dilakukan oleh Raffles. Politik pemerintahan Raffles lebih banyak memanfaatkan para Kepala Masyarakat Hukum Adat dengan mengurangi peranan dari pejabat kompeni Inggris.
Tindakan pembelaan Raffles terhadap para petani adalah menghapuskan system tanam paksa lada yang dilakukan oleh Komisaris Ewer yang kenyataannya sangat memberatkan rakyat sehingga rakyat merasa betul-betul dieksploitasi oleh para pejabat kompeni. Para Kepala Masyarakat Hukum Adat mempunyai tugas dan kewajiban yang langsung terhadap rakyatnya, termasuk keamanan dan peradilan. Jadi, hak dan kewajiban mereka menurut adat segera dipulihkan.
Dengan berlakunya sistem bebas bertanam lada, rakyat merasa lega. Perkebunan-perkebunan pala, cengkeh, dan Jada di bawah pemerintahan Raffles bertambah maju. Menurut perkiraan Raffles, para raja menanam modal 75.445 dolar dan modal bangsa Eropa berjumlah 445.437 dolar dalam perkebunan rempah-rempah di wilayah sekitar Fort Marlborough. Antara Mei 1811 dan penghujung tahun 1816 sebanyak 42.390 lb. pala, 13.383 lb. bunga pala, dan cengkeh diekspor ke India dan Inggris oleh perkebunan-perkebunan kompeni Inggris dan swasta di Bengkulu, dan bea setempat di Fort Marlborough sejumlah 4167 dolar.
Sungguh berat tugas Raffles untuk membangun kembali kota yang telah dianggap oleh penduduk sebagai tanah mati. Kondisi itu menjadi tantangan bagi Raffles, sehingga segala daya upaya dilakukannya demi pembangunan ibu kota, perdagangan, dan perbaikan keuangan pemerintah.
Raffles segera mulai membangun sebuah gedung kediaman gubernur sebagai pengganti gedung yang telah hancur, yaitu suatu gedung besar dari batu yang bertingkat dua dan indah serta berhalaman luas di tengah-tengah plansun. Bangunan itu terletak di suatu bukit dengan pemandangan Fort Marlborough dan Samudera Hindia dengan Pulau Tikus di bagian depannya. Di bagian belakangnya terhampar pemandangan Bukit Barisan dengan gunung-gunung yang biru dan menarik. Sungguh merupakan suatu bangunan megah sebagai tempat kediaman resmi seorang gubernur.
Di sekitar kediaman resmi gubernur itu dibangun pula gedung-gedung indah bertingkat dua sebagai tempat kediaman orang-orang Inggris dan orang Eropa lainnya. Bagian bawahnya dari batu dan bagian atasnya terbuat dari kayu. Di samping itu, tempat yang dibangun di atas tanah yang luas dengan pekarangan yang dipagari oleh tembok-tembok putih setinggi enam kaki yang juga diperuntukkan pula bagi orang-orang pribumi yang terkemuka.
Selain membangun kantor-kantor baru pemerintah, Raffles mendirikan pula suatu tempat peristirahatan di Pematang Balam, suatu tempat di luar kota Bengkulu, yaitu kira-kira 19 kilometer dari ibu kota ke jurusan Manna. Istana peristirahatan yang megah ini letaknya di tengah-tengah perkebunan kopi pala dan cengkeh milik pemerintah yang terawat dengan baik. Disinilah Raffles mengadakan pesta-pesta resmi yang terbuka bagi masyarakat bangsa Eropa dan orang-orang terkemuka Bengkulu dan sekitarnya. Malah, Raffles berkeinginan untuk menjadikan istana peristirahatan Pematang Balam seperti istana peristirahatan Belanda di Bogor (Jawa) dengan Kebun Rayanya dan ia berkeinginan pula untuk menjadikan ibu kota Bengkulu sebagai pusat pemerintah jajahan Inggris di Asia Tenggara.
Kerja keras Raffles berhasil membangun ibu kota Bengkulu yang benar-benar dapat dibanggakan, berpenduduk terdiri dari berbagai bangsa, yaitu Eropa, India, Cina Melayu dan Bugis. Penduduk Melayu merupakan mayoritas yang datang dari daerah sekitarnya (Minangkabau Aceh, dan Jawa) serta para nelayan. Bangsa Eropa turunan Yahudi dan Kristen merupakan golongan kecil sebagai petualang dan pedagang di samping mereka yang bekerja di pemerintah kolonial Inggris sebagai pegawai sipil dan militer. Selanjutnya terdapat kolonisasi bangsa Jerman dan bangsa Cina sebagai pedagang sejumlah 1000 jiwa yang berdiam di suatu tempat khusus. Kampung Cina, dengan kepalanya seorang Kapitan Cina Bangsa Benggali yang jumlahnya juga besar bermukim di ibu kota sebagai golongan pertukangan (handcraftsmen), tukang jahit, tukang dobi, dan lain-lain. Golongan Benggali ini umumnya menganut agama Islam. Perkawinan mereka dengan penduduk pribumi membuat mereka telah berbaur dengan penduduk asli setempat.
Selain membangun kembali ibu kota, Raffles tertarik pada keadaan pembudakan. Sebagaimana diketahui, pada tahun 1750 ada 357 budak di Fort Marborough dan 84 di daerah Luar. Selama pendudukan Prancis banyak para budak ini melarikan diri atau menghilang. Pada tahun 1695 Inggris (EIC) buat pertama kalinya mendatangkan budak belian dari Madagaskar ke Bengkulu untuk para pekerja kasar dan bagian kecil untuk menjadi tentara kompeni Inggris. Pada tahun 1766 setelah Inggris kembali ke Benggali di membawa pula tambahan budak-budak belian sehingga terdapat 400 penduduk di dalam Fort Marlborough dan 176 di daerah Luarnya. Pada tahun 1778 jumlah budak Fort Marlborough mencapai 95 orang Mukomuko, 37 orang Ketahun, 15 orang lai, Seluma Manna 5 orang, Kaur 19 dan Krue 26 orang. Keadaan para budak ini pada umumnya merana dan dipandang hina karena kompeni mempekerjakan mereka untuk membongkar dan memuat barang ke kapal-kapal yang datang dan pergi serta pekerjaan-pekerjaan lain yang kasar dan berat. 23 orang,
Di bulan April 1818, dilakukan pertemuan dengan para Kepala Masyarakat Hukum Adat, dan hasilnya Raffles menyatakan penghapusan pembudakan di seluruh wilayah jajahan Inggris. Semua budak kompeni dan kepada mereka masing-masing diberi satu sertifikat kebebasan sebagai orang merdeka. Turut serta dihapuskan sistem setoran paksa dan sistem tanam paksa lada. Selanjutnya Raffles menghapus pula perbedaan
masyarakat Eropa dan pribumi. Tempat kediamannya pun terbuka bagi masyarakat pribumi dalam segala ke sempatan, sehingga dengan cara demikian pengaruhnya terhadap rakyat semakin besar. Kebijakan-kebijakan ini akhirnya melahirkan kepercayaan penuh masyarakat terhadap Raffles sebagai pucuk pimpinan pemerintah Bengkulu.
Raffles pula yang pertama kali membangun bungalow di Bukit Kabut yang masih berhutan lebat, tetapi memiliki pemandangan alam yang indah di sekitamya. Di dalam tahun 1818 jalan-jalan raya ke Manna, Kaur dan Seluma menyusuri pantai dipelihara dengan baik.
Dalam bidang pendidikan, Raffles membangun sekolah-sekolah rakyat, di mana para remaja belajar membaca, menulis, berhitung, serta ilmu pengetahuan sekadarnya. Untuk menambah wawasan masyarakat, Raffles menerbitkan surat kabar “The Malayan Gazette” dengan percetakan sendiri di ibu kota Bengkulu dan merupakan koran pertama di seluruh Sumatra. Di ibu kota terdapat sebuah sekolah swasta yang dipimpin oleh Pendeta Ward, memiliki jumlah murid sebanyak 160 orang, yaitu memakai metode Lancaster. Alhasil, masyarakat ibu kota Bengkulu mengalami banyak perubahan peradaban. Para wanita dan pria, khususnya dari golongan hartawan pandai membaca dan menulis.
Digambarkan oleh Nahuys mengenai perubahan-perubahan social dan pendidikan yang diperoleh masyarakat Bengkulu;
“Meskipun Bengkulu dalam arti komoditas perdagangan dunia belum dapat disamakan dengan Jawa, namun dalam bidang memajukan serta memperbaiki tingkah laku dan pendidikan rakyat, Sir Thomas Stamford Raffles pantas dipuji. Dalam bidang ini, ia mendapat dukungan yang simpatik pula dari para misi agama Kristen serta para penduduk bangsa Eropa di Fort Marlborough. Di semua tempat dan di distrik, Raffles telah berhasil membangun sekolahsekolah rakyat, tempat para remaja belajar membaca, menulis, berhitung, dan belajar ilmu pengetahuan terapan yang sangat diperlukan oleh penduduk. Sebagai seorang karir pemerintahan yang banyak pengalamannya, Raffles bukanlah seorang birokrat yang hanya sekadar duduk di belakang meja saja. Akan tetapi ia juga seorang pegawai yang acapkali terjun ke lapangan untuk mengetahui keadaan wilayahnya. la menjelajahi daerah-daerah yang berada di selatan, yaitu Distrik Seluma, Manna, hingga ke Kaur.
…