PEMANFAATAN RUMAH KOLONIAL BELANDA SEBAGAI MUSEUM DAN RUMAH SINGGAH GUNA PENINGKATAN NILAI BUDAYA DI PROVINSI BANGKA BELITUNG

0
3417
BPCB JAmbi

1.1. Latar Belakang

Indonesia sejatinya adalah negara yang kaya akan peninggalan yang berkaitan dengan keberadaan terbentuknya Indonesia itu sendiri. Hal tersebut dikarenakan adanya proses Enkulturasi dari berbagai kebudayaan yang dibawa oleh negara yang pernah menjajah Indonesia. Sebagai contoh, penjajahan Kolonial Belanda di Indonesia yang berlangsung selama 350 tahun, tentu meninggalkan jejak dan ciri khas bahwa Indonesia merupakan negara bekas jajahan Belanda. Hal tersebut dapat kita lihat dari berbagai peninggalan Kolonial Belanda berupa bangunan yang dulunya sebagai tempat tinggal warga negara Belanda yang bermukim di daerah tertentu di Indonesia.

Pulau Bangka sejak ratusan tahun yang lalu sudah dikenal kaya akan bahan tambang timah. Hal inilah yang membuat pemerintah kolonial Belanda melirik pulau Bangka untuk mendapatkan income yang akan membuat semakin kokohnya penjajahan Kolonial Belanda tersebut. Mengingat pendapatan dari sektor tambang timah tersebut begitu penting, maka pemerintah Kolonial Belanda menempatkan para petingginya yang berkebangsaan Belanda untuk bermukim di Pulau Bangka. Pemerintah Kolonial Belanda tentu saja memberikan fasilitas yang memadai demi terjaminnya kesejahteraan hidup mereka. Salah satunya disediakanlah rumah yang megah pada zamannya. Rumah-rumah yang didirikan pemerintah Kolonial Belanda ini biasanya memiliki corak yang khas seperti bangunan atau rumah di negara asalnya. Hal tersebut tentu saja bertujuan memberikan rasa nyaman bagi warganya ketika sedang ditugaskan di negara jajahannya, khususnya di Pulau Bangka ini.

Tercapainya kemerdekaan Indonesia mengharuskan pemerintahan Kolonial Belanda angkat kaki dari bumi Indonesia, khususnya Pulau Bangka. Hal tersebut tentu saja memberi dampak. Salah satunya adalah adanya pengalihan kepemilikan bangunan atau rumah yang dulunya ditempati warga negara Belanda kepada pemerintah Indonesia ataupun masyarakat setempat yang mampu membelinya.

Sekarang ini rumah bekas peninggalan Belanda di Pulau Bangka banyak yang tidak dilestarikan atau dipertahankan lagi corak khas masa Kolonial Belandanya. Saat ini dengan adanya pengaruh perkembangan zaman, masyarakat Pulau Bangka lebih menyukai bangunan atau rumah yang bercorak modern sesuai perkembangan zaman. Ahli waris yang memiliki bangunan atau rumah peninggalan Belanda sudah banyak yang merenovasi tempat tinggalnya. Hal ini sungguh disayangkan karena menghilangkan bukti historis atau sejarah yang menjadi saksi bisu proses perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Bangunan atau rumah peninggalan Belanda tersebut pun sebenarnya juga merupakan bukti adanya proses inkulturasi dari kebudayaan Belanda di Indonesia.

Melestarikan bangunan bersejarah merupakan salah satu contoh dari sikap menghargai sejarah bangsa Indonesia. Seperti yang pernah diungkapkan Presiden pertama RI, Ir. Soekarno bahwa “bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya.”

1.2.Rumusan Masalah

  1. Bagaimanakah kondisi dan potensi yang terkandung dalam bangunan peninggalan Kolonial Belanda di Kabupaten Bangka saat ini dan perkiraan potensinya untuk beberapa tahun kedepan.
  2. Bagaimanakah langkah-langkah yang harus ditempuh untuk memaksimalkan potensi bangunan peninggalan Kolonial Belanda agar dikenal oleh masyarakat luas.

1 .3.Tujuan Penelitian

  1. Untuk mengetahui kondisi dan potensi bangunan peninggalan Kolonial Belanda di Kabupaten Bangka.
  2. Untuk mencari cara dalam mengoptimalkan fungsi bangunan peninggalan Kolonial Belanda sebagai tempat pembelajaran dan tempat bersejarah agar dikenal oleh masyarakat luas.

1.4.Manfaat Penelitian

  1. Bagi Masyarakat
    1. Memberi masukan bagi masyarakat Kabupaten Bangka agar sadar akan pentingnya melestarikan bangunan bersejarah.
    2. Memberi masukan bagi masyarakat Kabupaten Bangka untuk kreatif dalam memanfaatkan peninggalan bangunan bersejarah agar lebih memiliki nilai guna dan tidak hanya memenuhi kebutuhan tempat tinggal.
    3. Bangunan Kolonial Belanda dapat menjadi tempat pembelajaran sejarah dan bukti enkulturasi bagi generasi di masa depan.
  2. Bagi Pemerintah
    1. Memberi masukan bagi pemerintah daerah Kabupaten Bangka agar mengoptimalkan pemanfaatan bangunan bersejarah.
    2. Memberi masukan bagi pemerintah daerah Kabupaten Bangka untuk turut andil dalam penjagaan, pemugaran, dan pemeliharaan bangunan bersejarah khususnya bangunan Kolonial Belanda.
    3. Bangunan Kolonial Belanda yang dimaksimalkan kegunaannya dapat menjadi sumber pendapatan bagi PEMDA Kabupaten Bangka.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

 

2.1. Cagar Budaya

Cagar budaya adalah warisan budaya yang bersifat kebendaan berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya, situs cagar budaya, dan kawasan cagar budaya di darat dan / atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.

2.2. Bangunan Cagar Budaya

Bangunan cagar budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan / atau tidak berdinding, dan beratap.Enkulturasi

Enkulturasi adalah pembudayaan (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Enkulturasi atau pembudayaan adalah proses mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran dan sikap individu dengan sistem norma, adat, dan peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaannya.

2.3. Bangunan Bersejarah

Bangunan bersejarah adalah gedung atau fasilitas yang dianggap mempunyai nilai signifikan sejarah, arsitektur, atau budaya oleh yurisdiksi lokal, regional, maupun nasional.

2.4. Pengalihan

Pengalihan adalah proses pemindahan hak kepemilikan dan / atau penguasaan cagar budaya dari setiap orang kepada setiap orang lain atau kepada negara.

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1.Populasi dan Sampel

Penulis menetapkan seluruh rumah yang bercorak masa kolonial Belanda dan ahli warisnya yang berada di Kabupaten Bangka sebagai populasi penelitian yang akan dilakukan. Namun, karena keterbatasan dana dan waktu yang dimiliki oleh penulis, penulis hanya mengambil sampel berupa beberapa rumah kolonial Belanda dan beberapa narasumber yaitu ahli warisnya yang diharapkan penulis dapat mewakili data dari populasi, salah satunya adalah Pak Sholichin (54) yang bertempat tinggal di Jalan Jendral Sudirman, Sidodadi, Sungailiat Bangka.

3.2.Metode Penelitian

Penulis menggunakan metode pengumpulan data deskriptif kualitatif, dengan harapan dapat diperoleh data sekunder yang bersifat representatif atau mewakili. Untuk menunjang agar data yang diperoleh dapat mewakili dari objek yang diteliti, maka pada saat pengumpulan data didukung dengan cara wawancara dan observasi. Penulis menggunakan sumber data primer atau data yang langsung yang diperoleh penulis (peneliti) berupa hasil wawancara dan observasi keadaan langsung di lapangan yang kemudian dianalisis untuk menjawab rumusan masalah yang telah ditentukan sebelumnya. Dengan menggunakan metode penelitian kualitatif ini, penulis mengondisikan narasumber yang diwawancarai terbatas atau hanya mewakili.

3.3.Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik yang digunakan penulis untuk mengumpulkan data dalam makalah ini yaitu berupa wawancara dan observasi lapangan. Selain itu, penulis (peneliti) juga menggunakan teknik pengumpulan data berupa sampling insidental yaitu penelitian yang menentukan sampel berupa rumah kolonial Belanda dan juga ahli waris yang secara kebetulan atau insidental dijumpai oleh penulis.

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1. Hasil Wawancara dan Observasi

Pada hari Kamis, 20 November 2014 dan Jumat, 21 November 2014, penulis (peneliti) berhasil mendapatkan titik temu dalam penelitian ini. Dari Observasi lapangan yang penulis lakukan, kuantitas rumah kolonial yang masih kokoh tergolong banyak, namun secara kualitas masih banyak yang terbengkalai atau hanya ditinggalkan begitu saja oleh pemiliknya, sehingga banyak sekali tumbuhan liar yang tumbuh memenuhi halaman ataupun perkarangan rumah kolonial tersebut. Terbengkalainya rumah kolonial Belanda tersebut juga dapat diidentifikasi dari warna cat yang sudah mulai memudar. Observasi yang dilakukan oleh penulis juga membuahkan hasil yang memuaskan karena penuiis berhasil menemukan rumah Kolonial Belanda yang masih terawat oleh ahli warisnya, salah satunya berlokasi di Jalan Jendral Sudirman, Sidodadi. Rumah ini adalah kediaman Pak Sholichin (54), menurut beliau rumahnya biasa disebut sebagai rumah kolonial 11 Sidodadi. Berdasarkan keterangan beliau, rumah miliknya sudah berusia lebih dari 100 tahun dan ketika penulis bertanya mengenai asal-usul kepemilikan rumahnya, Pak Sholichin mengatakan bahwa rumahnya dibeli oleh neneknya yang bekeija di PT. Timah Belanda dengan kondisi setengah jadi dari pihak pemerintah Belanda, menurut pendapat Pak Sholichin seharusnya pemerintah memberikan perhatian yang serius dalam hal kebudayaan, khususnya bangunan cagar budaya. Selain rumah kolonial 11 Sidodadi, penulis juga menemukan rumah kolonial Belanda lain, baik yang kondisinya masih bagus ataupun yang sudah tidak terawat. Setelah penulis mencari informasi ternyata ahli waris dari rumah tersebut tidak ada di Pulau Bangka ini dan rumah tersebut disewakan kepada masyarakat sekitar sebagai tempat usaha penjahitan baju, sedangkan rumah kolonial lain yang kondisinya masih memungkinkan berada di samping sekolah Setia Budi Sungailiat dan menjadi tempat usaha fotokopi.

4.2. Analisis Penulis

Berdasarkan data yang penulis dapatkan dari proses wawancara dan observasi lapangan, penulis akan memberikan beberapa analisis atau pandangannya. Pertama, sesungguhnya rumah atau bangunan bersejarah yang ada di Pulau Bangka dapat dimaksimalkan kegunaannya dan akan lebih bermanfaat bagi pemerintah serta masyarakat. Berdasarkan Undang-Undang nomor 11 tahun 2010 tentang cagar budaya, Bab IV yang mengatur mengenai pemilikan dan penguasaan, pasal 4 tertulis “bahwa pemilik benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, dan/atau situs cagar budaya yang tidak ada ahli warisnya atau tidak menyerahkannya kepada orang lain berdasarkan wasiat, hibah, atau hadiah setelah pemiliknya meninggal, kepemilikannya diambil alih oleh negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Berdasarkan pasal 4 tersebut, menurut penulis seharusnya tidak ada lagi ditemukan bangunan bersejarah yang dalam hal ini berupa rumah kolonial Belanda yang terlantarkan atau tak terawat.

Pemerintah juga diharapkan mengelola rumah kolonial lain yang masih ditempati ahli warisnya dengan perundingan ataupun lelang dengan persetujuan pemerintah sesuai tingkatannya. Dengan karya tulis sederhana berbentuk makalah ini, penulis ingin memberikan saran bagi pemerintah untuk bertindak kreatif demi melestarikan rumah kolonial Belanda tersebut, salah satunya dengan menetapkan rumah-rumah kolonial Belanda tersebut sebagai bangunan cagar budaya dan juga museum atau rumah singgah, sehingga pelestarian dan perawatan dapat lebih dimaksimalkan. Museum atau rumah singgah ini dapat menjadi destinasi atau tujuan pertama disaat turis mancanegara maupun lokal hendak mencari tempat wisata.

Pada karya tulis berbentuk makalah ini penulis ingin memberikan saran pada pemerintah daerah Kabupaten Bangka untuk merealisasikan rumah singgah ataupun museum tersebut, dengan mengharuskan pengelola mengenakan pakaian zaman kolonial agar pengunjung dapat merasakan atmosfer masa-masa penjajahan

4.3. Rumah Kolonial Sebagai Bangunan Cagar Budaya

Rumah kolonial Belanda yang banyak ditemukan di Pulau Bangka dapat menjadi bangunan cagar budaya yang dalam hal ini, penulis mengajukan juga sebagai museum dan juga rumah singgah, karena menurut UU nomor 11 tahun 2010, museum dapat menjadi lembaga yang melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan fungsi bangunan cagar budaya tersebut yang dalam hal ini adalah bangunan kolonial Belanda. Bangunan cagar budaya yang dilestarikan dalam bentuk museum ini juga dapat menginformasikan nilai-nilai sejarah kepada masyarakat. Seharusnya bukan hal yang sulit bagi pemerintah untuk menetapkan rumah-rumah kolonial Belanda sebagai bangunan cagar budaya karena mengingat rumah-rumah kolonial Belanda tersebut telah berusia lebih dari 50 tahun, memiliki gaya paling singkat 50 tahun, memiliki arti khusus bagi sejarah dan ilmu pengetahuan, dan juga memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.

4.4. Pendanaan Bangunan Cagar Budaya

Dalam merealisasikan pembangunan museum, tentu tak lepas dari pengaruh pendanaan atau hubungan materil. Dalam hal ini tentu harus terbentuknya kerja sama antar pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Pemerintah dan PEMDA dapat mengalokasikan dana melalui APBN dan APBD, serta menggunakan hasil pemanfaatan bangunan cagar budaya dalam bentuk museum dan rumah singgah. Pemerintah juga diharapkan dapat menyiapkan dana cadangan yang dikondisikan pada saat darurat dan juga saat ditemukannya bangunan kolonial atau bangunan budaya lain yang terlantar. Sedangkan pendanaan kegiatan pelestarian lain dapat didukung oleh masyarakat yang terorganisir oleh kelompok masyarakat setempat. Dengan demikian, diharapkan tidak ada lagi bangunan bersejarah yang terlantar atau tidak terawat di Indonesia, terkhusus di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

BAB V

PENUTUP

  • Kesimpulan

Sejatinya Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya dan sekarang adalah tugas kita, generasi muda dalam melestarikan dan memanfaatkan kekayaan Indonesia yang sesungguhnya bukan hanya kaya akan sumber daya alam namun juga akan budaya. Pelestarian bangunan rumah kolonial Belanda yang banyak terdapat di Pulau Bangka adalah salah satu bentuk kepedulian kita akan budaya. Bentuk pelestarian bangunan tersebut salah satunya adalah dengan menjadikannya rumah singgah dan/atau museum. Besarnya potensi wisata yang menjadi daya tarik Provinsi Bangka Belitung tentu akan lebih meningkat dengan direalisasikannya museum dan/atau rumah singgah yang berciri khas masa kolonial Belanda di Kabupaten Bangka. Pembangunan museum dan/atau rumah singgah ini diharapkan dapat menjadi tempat pembelajaran bagi masyarakat dalam mengenal sejarah dan kebudayaan. Melalui karya tulis ini, penulis mengharapkan kedepannya pemerintah dan masyarakat dapat saling membantu dan berperan serta dalam pelestarian bangunan bersejarah.

  • Saran

Harus adanya keija sama antara pemerintah dan masyarakat dalam merealsisasikan ide penulis, yakni penetapan bangunan kolonial Belanda sebagai bangunan cagar budaya dan menetapkannya sebagai museum dan/atau rumah singgah.

  1. Harus adanya tata kelola yang baik dalam merealisasikan pelestarsian bangunan kolonial Belanda menjadi bangunan cagar budaya yang bersifat museum dan/atau rumah singgah.
  2. Pemerintah harus ikut andil dan bersifat kreatif dalam pelestarian bangunan bersejarah.
  3. Masyarakat diharapkan berperan aktif dalam proses pelestarian bangunan.

 

DAFTAR PUSTAKA

Bangunan bersejarah,definition,Term Wiki.com

(http://id.termwiki.com/ID:historic buildine) (diakses tanggal 21 November 2014)

Inkulturasi Kebudayaan, S2 Bahasa dan Sastra Unesa. fhttD://rosintaunesa.blogspot.com/2012/01/inkulturasi-kebudavaan-.htmn (diakses tanggal 21 November 2014)

Juliardibachtiar’s blog, enkulturasi dan sosialisasi

(http://iuliardibachtiar. wordDress.com/2011/03/3Q/enkulturasi-dan-sosialisasi/)

(diakses tanggal 21 November 2014)

Makalah sejarah : “cagar budaya di Purwerejo”

(“http://himmatulseiarah.blogspot.com/2010/08/cagar-budava-di-

purworei o.html?m=1)

(diakses tanggal 21 November 2014)

Metodologi Penelitian fhttp://widihisudharta.weebly.com/metode-penelitian- skripsi.htmP (diakses tanggal 21 November 2014)

UU no.l 1 tahun 2010, tentang cagar budaya. (Diunduh tanggal 19 Oktober 2014)

 

Silahkan klik link ini untuk mendownload artikel dari karya tulis Adrian Triandi yang berhasil keluar sebagai JUARA II LKTI CAGAR BUDAYA Tingkat SMU sederajat Se Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2014 yang diselenggarakan oleh BPCB JAMBI.

Oleh : Adrian Triandi

BPCB JAmbi