Pelestarian Bangunan Bersejarah

0
5510
BPCB Jambi

Kliping koran ini berjudul “Pelestarian Bangunan Bersejarah“, guntingan atau pemotongan artikel atau berita ini diambil dari Surat Kabar Suara Pembaharuan terbitan tanggal 7 Juni 1996. Kegiatan pemotongan kliping koran yang diambil dari berita dan artikel tentang tinggalan cagar budaya merupakan salah satu kegiatan yang dilaksanakan kelompok kerja Pelindungan Balai Pelestarian Cagar Jambi.

Scan Image 2014-10-05 09-49-13

YOGYAKARTA yang sekarang dikenal sebagai kota budaya, ternyata memiliki pening­galan-peninggalan masa lampau yang berperan penting pada zamannya. Sebagai kota berco­rak Islam dan pernah berperan dalam perjuangan kemerdekaan, maka peninggalan-peninggalan yang tersisa kebanyakan berupa bangunan berarsitektur Islam dan kolonial.

Hampir sama dengan kota-kota lain, kota Yogyakarta juga memiliki ciri dan tipologi kota ter­sendiri, diantaranya klasifikasi sebagai kota istana. Salah satu faktor penting yang menyebabkan kota ini mempunyai keunikan adalah akulturasi kebudayaan. Karena itu secara dinamis terlihat kelangsungan dan perubahan unsur-unsur tata ruang dan segi bangunan fisik/non fisik yang menggambarkan mozaik sosiokultural yang kaya dan tidak dijumpai di kota atau tempat lain.

Kota Yogyakarta yang mempunyai kekayaan pengalaman sejarah dan kebudayaan, terwu­jud dalam bangunan monumental dan tata ruang kota beserta unsur kebudayaan Jawa yang masih hidup. Persoalannya sekarang adalah bagaimana dengan perkembangan modernisasi dan percepatan teknologi yang dapat melestarikan ciri kota Yogyakarta yang unik itu.

Di dunia arkeologi ada dua jenis monumen peninggalana sejarah dan arkeologi. Pertama, monumen hidup, yaitu jenis monumen yang saat didaftar dan didokumentasikan masih berfungsi. Misalnya keraton, masjid, gereja, makam dan rumah adat Kedua, monumen mati, yaitu jenis monumen yang saat didaftar dan didokumentasikan sudah tidak berfungsi. Contohnya, candi, gua, petirtaan dan benteng.

Pemugaran sendiri selain mengembalikan bangunan yang sudah rusak ke bentuk aslinya, adalah upaya menyelamatkan warisan budaya dari bahaya kepunahan. Dengan demikian be­rarti pula penyelamatan data sejarah, data arkeologi, data arsitektur dan data lain untuk sumber-sumber ilmu pengetahuan.

Di negara-negara maju pelestarian bangunan kuno dan lingkungannya memperoleh perhat­ian serius dari berbagai pihak. Arsitek Inggris William Morris, misalnya, tahun 1877 telah memelopori terwujudnya Society for the Pratection of Ancient Buildings dan lima tahun ke­mudian membuahkan Ancient Monuments Protection Act.

Di Indonesia memang ada undang-undang sejenis, yaitu Monumental Ordonantie 1931. Tetapi karena dianggap sudah kadaluwarsa, maka banyak pihak cenderung mengabaikan un­dang-undang tersebut. Akibatnya beberapa tahun terakhir ini banyak bangunan kuno berse­jarah digusur pembangunan. Bahkan sudah ada yang dibongkar guna memberi tempat bagi bangunan modern. Mudah-mudahan saja dengan adanya undang-undang Benda Cagar Budaya Nasional 1993, masalah demikian dapat ditekan.

Dalam melestarikan bangunan lama timbul lima masalah pokok. Pertama, siapa yang berhak dan harus memutuskan apa yang dilestarikan, untuk berapa lama, dan sejauh mana? Kedua, bagaimana cara memadukan bangunan kuno bersejarah dengan bangunan modern sekaligus memfungsikannya pada masa sekarang?

Ketiga, siapa yang membiayai pelestarian bangunan kuno bersejarah dan siapa yang mem­peroleh keuntungannya? Keempat, seberapa jauh pembatasan atau perubahan yang diperke­nankan bagi bangunan bersejarah? Kelima, hak-hak dan tanggung jawab apa yang dipunyai pemilik; bisakah masyarakat memaksa pemilik untuk’melestarikan bangunan bersejarah? Diharapkan kelima masalah ini memperoleh jawaban dari berbagai pihak.

Kalangan ilmuwan sendiri berpendapat ada enam kriteria umum terhadap objek yang per­lu dilestarikan. Pertama, estetika, yang bisa dianggap mewakili prestasi khusus dalam suatu gaya sejarah. Kaitannya dengan bentuk, struktur, tata ruang dan ornamen. Kedua, kejamakan, seberapa jauh bangunan bisa mewakili suatu ragam atau jenis khusus yang spesifik.

Ketiga, kelangkaan, bangunan yang hanya satu dari jenisnya atau contoh terakhir yang masih tersisa. Keempat, peranan sejarah, berkaitan dengan peristiwa sejarah. Kelima, keis­timewaan, misalnya tertinggi dan tertua. Keenam, memperkuat wawasan, bermakna dalam meningkatkan citra lingkungan.

Dalam perkembangannya tidak semua kota lama di Indonesia mengalami konsistensi atas status maupun fungsinya. Kota Yogyakarta, misalnya, mengalami perkembangan pesat dari tahun ke tahun. Ia berteda denga kota-kota lain, seperti Banten Lama, Plered, dan Kartasura, yang mengalami penyusutan status menjadi kota kecil.

Bagi studi arkeologi perkotaan perkembangan yang kedua lebih memberikan kemudahan dalam kerja penelitiannya karena objek-objek arkeologinya lebih terpreservasi ketimbang je­nis perkembangan yang pertama. Kendala semacam itu benar-benar dialami oleh Yogya. Masalahnya, tuntutan atas pertumbuhan kota masa kini cenderung mengorbankan konservasi sumber daya budaya yang ada, sehingga menutup peluang bagi penelitian yang lebih men­dalam. Secara geografis Yogyakarta kurang memiliki sumber-sumber alam yang ekonomis potensial, karena lebih dari separuh luas tanahnya merupakan tanah kritis dan tanah kering. Namun keadaan itu mendapat imbangan dari segi yang lain, yaitu potensi kepariwisataan di antaranya objek-objek yang bernilai historis.

Menurut data statistik kepariwisataan objek-objek yang banyak dikunjungi wisatawan an­tara lain keraton Yogyakarta dan Taman Sari. Hal ini tentu memberi bukti bahwa peninggalan budaya perlu diperhitungkan dan dapat menjadi salah satu aset utama kepariwisataan Yogyakarta.

Djulianto (Dari berbagai sumber)