Keinginan untuk melestarikan dan mempermegah Mesjid Agung memang tak pernah surut. Ini terlihat dari perkembangan bangunan mesjid yang dulu dikenal sebagai mesjid Sulton itu dari masa ke masa.

Setelah berbagai perubahan yang terjadi pada abad ke-19 dan ke-20 termasuk penambahan menara atas sumbangan pertamina – Pemda Sum, Pemda Palembang. Yavasan Mesjid Agung (YMA) dan pemuka masyarakat Palembang pun merencanakan pengembangan vang lebih luas.

Pada tahun 1980. atas kerja sama dengan ITB. direncanakan pengembangan mesjid tersebut, termasuk untuk menjadikannya sebagai pusat pengkajian islam (Islamic Centre).

Seterusnya, tahun 1987, tercatat beberapa nama di antaranya mantan Walikota Palembang HM Ali Amin SH,

ririfahlen/bpcbjambi

Ir (Arsitek) H Anwar Rivai, Kms Ma­dani Idrus, Alm RHM Akib. RM Hoesin Natodiradjo dan Djohan Hanafiah, serta Walikota Palembang semasa H Cholil Aziz SH. Saat itu, telah dibuat rancangan dan rencana pengembangan mesjid yang merupakan peninggalan Sultan Machmud Badaruddin (SMB) I ini.

Rencana itu, kini mulai menampakkan bentuknya. Dari partisipasi masyarakat dan pihak swasta serta upaya penggalangan dana pemda, sepertinya tidak lama lagi rencana ini terwuj’ud.

Merunut perjalanan sejarahnya, Mesjid Agung telah menjadi pusat pengkajian Islam sejak abad ke-18. Kesultanan Palembang Darussalam yang memiliki Mesjid Agung, saat itu men­jadi salah satu dari empat pusat pengkajian Islam terbesar di Nusantara.

Menurut peminat sejarah Palem­bang Kms Andi Syarifuddin Sag. Pa­lembang mengambil alih sebagai Pusat Sastra, Agama dan Bahasa Melayu sekitar tahun 1750-1800 M, setelah Aceh mengalami kemunduran pada akhir abad ke-17.

Menurut Andi, pada periode tersebut. dikenal beberapa tokoh agama, antara lain Syekh Abdus Samad Al Palembani, Kms Fakhruddin, Syihabuddin bin Abdullah, Muhammad Muhyiddin bin Syihabuddin, Kms Ahmad bin Abdullah, Kms Muhammad bin Alimad dan Jainnya. Di antara pa­ra ulama yang tersohor itu, patut di- catat seorang ulama Palembang yang merupakan Imam Besar Mesjid Agung penyiar Tarekat Sammaniyah dan salah satu pendiri ‘Guguk Kam­pung Pengulon di belakang Mesjid Agung yaitu Datuk M Akib

Tokoh bernama lengkap Kiagus Haji Muhammad Akib bin Kgs H Hasanuddin bin Khalifah Jakfar bin Khalifah Gemuk bin Ki Bagus Abdurrah­man Bodrowongso bin Pangeran Fatahillah ini, memiliki benang merah dengan SMB I Ikatan itu disebabkan salah seorang sepupunya, Nyimas Naimah. menikah dengan SMB I Ayahnya juga merupakan ulama sekaligus Panglima Kesultanan Palembang. Ikat­an perkawinan SMB I dan Nyimas Naimah, kini dapat dilihat dari peninggalan pada perkampungan ‘Guguk Jero Pager Palembang Lamo’ dan kompleks pemakaman Gubah Kawah Tengkurep di 3 Ilir.

Selain ‘Guguk Kampung Pengulon’ tempat tinggal para penghulu. imam, khatib, guru agama, dan kiai tokoh yang kini namanya diabadikan seba­gai nama jalan di kampung 19-22 Ilir ini, juga meninggalkan ‘Kambang Ijo’ (kolam hijau).

Menurut Andi. kolam itu dibuat untuk memudahkan para murid membersihkan diri selama belajar. Sumber air kolam berukuran 12×6 meter itu berasal dari Sungai Kapuran Kolam berisi saat pasang naik dan kosong , saat pasang surut.

Kolam yang hingga kini bisa dijumpai di belakang Mesjid Agung –lokasi kebakaran tahun 1997 lalu, disemen putra Datuk M Akib yaitu Kgs Abdul Malik, dengan bata di pinggiran dan diberi tangga batu di empat sisinya. Warna hijau pada air kolam itu disebabkan lumut akibat ditimbunnya Su­ngai Kapuran setelah tahun 1938.

Jika Islamic Centre yang direncanakan selesai pembangunannya selama lima tahun itu terealisasi, akankah Pa­lembang mengulang kejayaan 200 tahun lalu? Jawaban atas pertanyaan ini, tentunya bergantung bagaimana para pemegang kebijaksanaan menentukan dan mengarahkannya.

Budayawan Palembang RM Hoesin Natodiradjo menyambut baik upaya merealisasikan rencana mulia ini. Supaya tujuan tersebut tercapai, tokoh ini meminta agar dalam pelaksanaannya Islamic Centre tidak memungut bayaran. Di samping itu, perpustakaan terutama untuk menyediakan bacaan-bacaan sejarah, budaya dan sastra yang berhubungan dengan Islam dihidupkan.

“Upayakan untuk mendapatkan wakaf kita-kitab kuno lokal dan luar negeri. Jika perlu, pengelola harus membelinya,” kata Hoesin.

Soal renovasi mesjid, Hoesin mengatakan dirinya sangat menyambut baik Dengan catatan, bentuk asli pada bangunan utama dan menara lama, tidak diubah.

“Itu bagus. Bentuk mesjid yang terbuka, akan menambah kekhasan Pa­lembang. Jika kita berjalan dan arah Jembatan Ampera, terlihat kemegahannya, begitu pun dari arah Talang betutu,” katanya.

Sedangkan tiga menara baru –dua tambahan dan satu wakaf Pertamina. menurut Hoesin akan lebih baik jika dijadikan empat. Ini akan menyerupai bentuk mesjid di Timur Tengah

Hal senada diungkapkan seniman Sumsel Koko Bae. Menurut pelukis dan penyair ini, upaya pemda dan YMA untuk pengembangan mesjid tersebut perlu didukung. Itu bagus, asal tidak mengganggu bagian belakangnya. Rencananya, renovasi hanya dilakukan pada bagian depan dengan tetap mempertahankan keaslian Mesjid Agung yang lama,” katanya.

Usaha mempertahankan bentuk Mesjid Agung ini, memang sangat perlu dilakukan. Belajar dari pengalaman, pada masa Raffles (sebeum tahun 1893) mesjid itu sempat memiliki bentuk yang ganjil. Bagian depan mesjid ‘terpengaruh’ arsitektur Eropa pengaruh Raffles. Seperti komentar JC Burril, sunguh aneh bentuk serambi masuk mesjid yang menyerupai gerbang gaya kantor gubernuran dan museum.

Namun kemudian, Pangeran Penghulu Mustofa Nata Agama pada tahun 1893 kembali merombaknya. Tambahan-tambahan pada masa Raffles itu dibongkar dan selanjutnya dilakukan penambahan serambi. Namun tiang-tiang gaya Eropa –termasuk perluasan pada tahun 1935—tetap dipertahankan hingga sekarang.

Semoga, rencana membangkitkan kembali kejayaan Palembang dan upaya pembangunan mental spiritual untuk masa mendatang ini terealisasi. Semoga. (yudhy syarofie)

Kliping koran di atas berjudul “Jangan Hilangkan Keaslian“, guntingan atau pemotongan artikel atau berita ini diambil dari Sriwijayapost terbitan tanggal 22 April 1999. Kegiatan pemotongan kliping koran yang diambil dari berita dan artikel tentang tinggalan cagar budaya merupakan salah satu kegiatan pendokumentasian dan  perekaman informasi dari media oleh unit kerja dokumentasi di  Balai Pelestarian Cagar Budaya Jambi.