Kliping koran ini berjudul “Prof. DR. R. Soekmono“, guntingan atau pemotongan artikel atau berita ini diambil dari Surat Kabar Kompas terbitan tanggal 29 Sepetember 1996. Kegiatan pemotongan kliping koran yang diambil dari berita dan artikel tentang tinggalan cagar budaya merupakan salah satu kegiatan yang dilaksanakan kelompok kerja Pelindungan Balai Pelestarian Cagar Jambi.

BPCB Jambi

PENGANTAR REDAKSI

Dengan sepatu sandal sederhana dan pa­kaian seadanya, mereka yang kebetulan meli­hatnya di dalam bus kota yang penuh sesak di kota metropolitan ini boleh jadi tidak tahu ia arkeolog pribumi pertama yang punya jasa amat besar dalam menghadirkan kembali ke­megahan dan keagungan warisan budaya bangsa, Candi Borobudur.

Selain bersahaja, rendah hati, dan ramah, Prof Dr R Soekmono (74) memang dikenal pu­nya sifat lain: jujur. Mantan Kepala Dinas Purbakala RI (1953-1973), Pimpro Pemugaran Candi Borobudur (1970-1983), dan Konsultan PT Taman Wisata Candi Borobudur (1988- 1995) ini di ujung karirnya kini, ke mana- mana naik bus kota. Hanya sekali-sekali naik taksi.

Padahal kesehatannya sudah jauh menurun akibat diabetes dan usia lanjutnya. “Sekarang untuk pergi mengajar ke kampus Universitas Indonesia (UI) di Depok, saya tidak sanggup la­gi,” ujarnya di rumahnya yang sederhana di Tebet. “Perginya tidak ada masalah, tapi pulang dari gedung Fakultas Sastra UI saya harus ber­jalan kaki cukup jauh ke Jalan Margonda Raya. Memang ada bus kampus, tapi selain jarang, bus kampus itu selalu penuh sesak.”

Sebagai ilmuwan, Soekmono dikenal sangat produktif. Dalam masa sekitar 43 tahun ka­rirnya, ia menciptakan hampir 200 karya ilmi­ah, 15 di antaranya berupa buku. Di masa pen­siunnya kini, ia menyelesaikan buku The Javanese Candi (Leiden: 1995) yang merupakan hasil pengembangan disertasinya. Candi, Fungsi dan Pengertiannya (1974). Sebuah buku tentang riwayat perkembangan lembaga ke­purbakalaan di Indonesia juga siap diterbitkan Ditjen Kebudayaan. Selain itu, naskah buku tentang seluruh aspek semua candi di Indonesia juga dirampungkannya dan siap diterbitkan Harian Kompas.

Soekmono yang lahir di Ketanggungan, Bre­bes (Jawa Tengah) pada tanggal 14 Juli 1922, menduduki jabatan Kepala Dinas Purbakala pada usia amat muda, 31 tahun. Itu berarti mengambil alih tanggung jawab skala nasional dari tangan bekas pemerintahan kolonial. “Saat itu, anak buah saya kebanyakan sarjana Belanda, yang jauh lebih tua dan lebih ber­pengalaman dari saya,” katanya. Dalam posisi itu, Soekmono bertanggung jawab atas pemu­garan dan perlindungan seluruh warisan bu­daya bangsa, selain juga harus ikut memikirkan arah perkembangan disiplin ilmu arkeologi di Indonesia. Ia memang ikut membidani kelahir­an dan perkembangan Jurusan Arkeologi UI, Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Univer­sitas Udayana.

Sebagai pimpinan proyek pemugaran candi terbesar di Indonesia, Soekmono harus me­meras seluruh daya dan upaya dirinya, ilmu­nya, lembaganya, dan juga negaranya. Pemu­garan Borobudur yang menghabiskan biaya hingga 25 juta dollar AS memang menuntut proses pencarian dana dan penerapan teknolo­gi sangat pelik. Maka kebahagiaannya tercer­min ketika pada 23 Februari 1983′ Presiden Soeharto meresmikan usainya pemugaran can­di yang termasuk keajaiban dunia dan Warisan Budaya Dunia itu.

Soekmono yang pernah aktif di lembaga East-West Center Honolulu, Hawaii (1968- 1969), setelah lepas dari jabatan guru besar Fakultas Sastra UI (1978-1987), diangkat men­jadi guru besar luar biasa hingga sekarang. Ia juga pernah diminta menjadi konsultan United Nations Educational. Scientific, and Cultural Orgamzation untuk Proyek Pengembangan The Sukhotai Histoncal Park di Thailand (1977) dan The Pasupatinath Area di Khatmandu, Nepal (1990). Soekmono juga pernah menjadi guru besar tamu di Rijks Universiteit Leiden, Belanda (1986-1987).

Penerima Anugerah Adam Malik dari Yayasan Adam Malik (1988) dan Anugerah Hamengku Buwono IX dari UGM (1994) ini, 10 September 1996 dianugrahi Bintang Budaya Parama Dharma oleh Pemerintah Indonesia atas jasa-jasanya dalam meningkatkan, mema­jukan, dan membina kebudayaan nasional umumnya, khususnya dalam melestarikan ben­da purbakala. Memang, praktis seluruh hidup dan waktunya ia abdikan pada bidang yang jarang diminati kebanyakan orang itu.

Berikut petikan wawancara dengan ayah dari enam putra dan lima putri serta kakek dari 21 cu­cu yang telah ditinggalkan istri tercintanya pada 1983 itu, di ruang tamu rumahnya yang sepi

BPCB jambi

Apa kesibukan sehari- hari Anda sekarang?

Resminya masih, di S-2 dan S-3 di UI  dan UGM. Tapi se­karang ini saya sudah tidak mengajar lagi, karena bagi saya berat pergi ke kampus. Mem­bimbing disertasi jalan terus. Ada empat calon doktor yang sedang saya bimbing.

Saya baru selesai menulis bu­ku perkembangan arkeologi se­jak 17 Agustus 1945. Ini lebih banyak pengalaman saya. Buku ini dijanjikan akan diterbitkan Ditlinbinjarah (Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Pe­ninggalan Sejarah dan Purba­kala) Depdikbud. Cuma kapan dicetak dan diterbitkannya, be­lum tahu

Menyusunnya sekitar tiga ta­hun, karena dikerjakan sambil­an. Pokoknya bila pada saat ter­tentu saya ingin mengerjakan sesuatu, ya saya kerjakan. Se­perti minggu lalu, mendadak sa­ya ingin mencari keterangan tentang arkeologi pada abad ke- 19. Saya menemukan cukup ba­nyak berita di dalam naskah Ja­wa dan naskah lainnya, yaitu semua saya kumpulkan.

Kemarin saya pergi ke Puslit Arkenas (Pusat Penelitian Ar­keologi Nasional), mencari ceri­ta orang pada abad ke-19, seper­ti misalnya bagaimana keadaan suatu candi. Saya berharap se­mua bahan dapat terkumpul, dan generasi nanti tidak usah re­pot-repot membaca sumber ber­bahasa Belanda.

Tapi itu berhubungan dengan hal lain lagi, yaitu keinginan sa­ya menyusun buku sejarah pe­mugaran candi, mulai dari za­man pemugaran Candi Mendut pada 1900 sampai pengacauan di Candi Panataran 1901, sam­pai sekarang ini.

Tapi saya harus hati-hati, ka­rena ada proses menurunnya mutu pemugaran pada zaman Pak Uka Tjandrasasmita menja­di Direktur Ditlinbinjarah. Ru­panya waktu itu ada banyak de­sakan dari daerah, khususnya desakan gubernur. DIP (daftar isian proyek) pemugaran jatuh­nya di daerah, di gubernuran, bukan di Direktorat Purbakala.

Padahal yang bertanggung jawab atas pemugaran itu Dit­linbinjarah?

Ya, pelaksananya Ditlinbinja­rah di Jakarta. Di Jawa Barat, misalnya untuk proyek pemu­garan candi di Batujaya, Kara­wang, pimpronya dari Kanwil Depdikbud. Jadi setiap kali ra­pat, saya diminta datang ke Ka­rawang, pimpronya tidak omong sama sekali! Saya desak pimpronya, maunya apa? “Supaya apa yang ada di dalam DIP dilaksanakan,” begitu katanya. Habis, pimpronya tidak pernah lihat candinya, mau bagaimana?

Di Sumatera Barat juga begi­tu. Candi Muara Takus misal­nya, sekarang masuk Propinsi Riau. maka DIP untuk pemuga- rannva jatuh ke Kanwil Depdik­bud Riau, padahal yang bertanggung jawab Kantor Suaka Purbakala di Batu Sangkar, Sumbar. Coba bagaimana itu? Di Jawa Timur juga begitu. Pe­mugaran Candi Pari pimpronya dari Suaka Purbakala Jatim, tapi bendaharanya dari Kanwil Depdikbud Jatim. Saya bilang, ini bagaimana? Jadi saya harus hati-hati menuliskan hal ini.

Tapi kondisi itu menimbulkan problem bagi keberhasilan pe­mugaran?

Benar, tapi saya hanya meli­hat persoalannya dari segi teknis arkeologis saja. Tapi, semen­tara pada zaman Brandes me­mimpin Dinas Purbakala pemu­garannya dilakukan dengan sa­ngat baik, kok semakin ke sini grafiknya menurun? Nah ini tu­gas arkeolog generasi Penerus untuk meningkatkan kembali kualitas pemugaran.

Terus terang saja, arkeolog za­man sekarang rata-rata membaca. Jadi mereka tidak sadar apa yang dilihat di la­pangan merupakan hasil pemu­garan arkeolog sebelumnya. Be­berapa waktu lalu di Jawa mur, misalnya. Kepala Kanto Suaka Jawa Timur punya niat memugar Candi Sawentar. Saya dimintai pendapat. Saya bilang setuju, tapi saya tanya dulu, tu­juannya apa?

Dia bilang, batu-batu dibagian atap candi sudah merekah, itu kan berbahaya? Saya diam saja. Kemudian di Jakarta saya cek laporan pemugaran tahun 1921. Ternyata, sejak pertama kali ditemukan, atap candi itu memang sudah merekah. Dari foto itu tampak, keadaan pada 1921 persis sama dengan keada­an sekarang. Artinya di lapang­an itu ya jangan langsung me­nyimpulkan. Harus diteliti dulu upaya vang pernah dilakukan sebelumnya. Sulitnya, sebagian besar dokumentasi itu masih dalam bahasa Belanda.

Nah. kesenjangan karena fak­tor bahasa ini yang ingin saya jembatani. Pernah terjadi candi vang sudah dikerjakan di zaman Belanda, tiba-tiba oleh arkeolog kita sekarang dibongkar lagi?! Misalnya saja Candi Badut di daerah Dinoyo. Malang, Jawa Timur. Itu sudah dipugar pada zaman Belanda. Lalu sekarang ini ditemukan beberapa batil, yang setelah direkonstruksi bisa dipasang di bagian atas candi itu. Eh. untuk memasang bagian atas itu, masak seluruh bangun­an candi itu dibongkar kembali , bahkan sampai ke pondasinya.’ Nah, kasus ini terjadi karena ketidak-tahuan para arkeolog sekarang bahwa sebenarnya candi itu sudah pernah dibong­kar habis-habisan pada tahun 1929. Itu kan karena mereka tidak pernah membacanya?

Itu yang saya prihatinkan. Juga saya ingin menjembatani dengan pihak pemerintah dae­rah. Ada saya dengar, mudah- mudahan tidak benar, kabarnya Gubernur Jawa Tengah pernah menginstruksikan supaya Candi Borobudur itu dilengkapi. Arti­nya bagian-bagian yang sudah lenyap dan hilang, misalnya ar­ca yang sudah tidak punya ke­pala, dibikinkan kepalanya. Nah! bila penguasa tunggal di propinsi ada yang bersikap seperti itu kita mau bagaimana. Nah, kalau para arkeolognya tidak matang, ya otomatis akan kalah. Kasus yang macam- macam begitu itu yang harus di­hadapi para arkeolog di daerah.

Apa tujuan pemda dengan berbagai instruksi itu?

Saya pikir, sekarang memang ada persoalan baru, terutama dengan adanya penekanan pada otonomi daerah. Maka Pemeliharaan bangunan purbakala saya khawatir nanti diambil alih pemda Dati II, karena itu bisa menjadi sumber pendapatan asli daerah. Jadi, karena orientasi­nya uang, maka asal ada uang mau diapakan saja boleh. Seper­ti di Borobudur mau diadakan acara yang dimeriahkan pakai sinar laser. Nah para arkeolog sedang menyelidiki dampak ne­gatif sinar laser terhadap batu-batu candi.

Bagaimana dengan perayaan ulang tahun sebuah televisi swasta di Candi Sewu?

Terus terang sebetulnya saya tidak setuju. Perayaan semacam itu pasti memberi dampak ne­gatif. Yang saya khawatirkan bila ada reaksi dari dunia inter­nasional.

Sekitar dua tahun lalu ada rencana dari kalangan tertentu membuat kegiatan motokros di sela-sela reruntuhan percandian di Prambanan. Para arkeolog tentu saja tidak ada yang setuju. Tapi, suara kami nyaris tidak diperhatikan. Balapan motor itu benar-benar berlangsung.

BPCB Jambi

Saya mau protes tidak bisa. apalagi sekarang saya sudah tidak punya kedudukan. Tapi sebagai orang yang merawat dan mengelola Candi Pramban­an dari dulu, saya prihatin se­kali. Waktu itu saya masih men­jadi konsultan PT Taman Wisata Borobudur-Prambanan. Kebe­ratan saya atas rencana mo­tokros itu sudah saya kemuka­kan, baik lisan maupun tertulis. Tapi tidak ada reaksi sama se­kali. Baru belakangan saya tahu, ternyata penyelenggara kegiat­an itu didukung seorang tokoh olahraga balap terkemuka di Jakarta. Kejadian semacam itu memang masih cukup sering ter­jadi.

ANDA tidak pernah meng­alami kejadian ini sebelumnya?

Terus terang, bila sekarang saya diserahi tanggung jawab mengurusi Dinas Purbakala, saya tidak sanggup. Kekuasaannya sudah dipreteli. Dulu, Monumenten Ordonantie 1931 secara jelas menyebutkan Ke­pala Dinas Purbakala yang ber­wenang menentukan. Sekarang? Dengan adanya UU Benda Cagar Budaya, yang namanya Direktur Litbinjarah cuma bisa memohon kepada Mendikbud, karena menurut undang-un dang itu menteri yang berwe­nang menentukan.

Tapi sekarang Dinas Purba­kala sudah dipecah menjadi dua lembaga, Puslit Arkenas dan Ditlinbinjarah, tidakkah itu membuat penanganan masalah kepurbakalaan menjadi lebih mudah?

Bila dibandingkan antara Puslit Arkenas dengan Ditlin­binjarah, ya jelas lebih enak arkeolog di Puslit Arkenas. Puslit Arkenas sekarang menja­di menara gading. Di daerah, Puslit Arkenas atau Balar (Balai Arkeologi) mana dikenal? Bila peneliti dari Puslit Arkenas atau Balar melakukan penggalian, nanti yang kena dampaknya ya direktorat atau kantor suaka.

Apa alasan pemecahan Dinas Purbakala menjadi dua lembaga?

Riwayatnya agak panjang, meskipun masalah itu juga me­nyangkut aspek “orang”-nya. Yang mengusulkan pemecahan Prof Dr RP Soejono, yang bila sudah pirnya kemauan, keras sekali. Padahal waktu itu Dirjen Kebudayaannya adalah Pak Mantra. Pak Dirjen ini kan orangnya baik sekali. Apa pun usulan bawahannya, dia tanda tangan saja.

Nah, waktu usulan itu disetu­jui, saya bilang kepada Pak Soejono, selama ini kegiatan arkeologi sudah bersatu, sekarang kok malah dipecah? Me­mang, keinginan mendir san lembaga yang khusus bergerak di bidang penelitian itu sudah muncul sejak zaman Bemet Kempers. Tapi, saya pikir, pene­litian itu di belakang meja pun bisa. Artinya ke lapangan se­kali-kali lalu menyelesaikan penelitiannya di kantor saja. Tapi nasib peninggalan yang ada di lapangan lalu bagaimana?

Nah sekarang, direktorat itu tanggung jawabnya mengurusi maling, kerusakan, pendaftar­an, dan sebagainya. Puslit Arkenas cuma penelitian saja. Sedangkan koordinasi antara kedua lembaga itu, khususnya di daerah, seringkah menyisa­kan getah kepada direktorat.

Jadi pemecahan Dinas Pur­bakala menjadi dua lembaga itu baru terasa sekarang menemui banyak kendala?

Memang, terutama masalah koordinasi di daerah antara Balar (perpanjangan tangan Puslit Arkenas) dengan kantor Suaka (perpanjangan tangan Ditlinbinjarah). Akan tetapi bi­la dilihat secara positif, keun­tungan pemecahan besar sekali. Ditlinbinjarah, karena banyak­nya kegiatan pemugaran, jadi tertantang bisa mengembang­kan teknologi pemugaran yang semakin baik. Sedangkan ke­giatan penelitian keilmuan ar­keologi juga bisa dikembangkan sepuas-puasnya. Selain tentu saja pemecahan itu memungkin­kan tersedianya anggaran ke­giatan yang relatif lebih besar bagi kegiatan penelitian arke­ologi maupun pemugaran. Jadi, segi negatifnya memang ada, tetapi segi positifnya jelas ba- | nyak.

BPCB Jambi

Tapi saya optimis, angkatan muda itu pasti bisa mengatasi berbagai kendala yang muncul sekarang ini. Bahwa arahnya ternyata lain dari yang saya inginkan, itu wajar-wajar saja. Mereka toh tidak boleh jadi “Soekmono-Soekmono kecil.”

Hanya saya harus membatasi diri untuk tidak terlalu ikut campur urusan mereka. Itu yang saya maksudkan dengan “arus balik”. Saya mencoba menggali literatur Belanda yang kiranya dapat dimanfaatkan. Dokumen berbahasa Belanda yang me­rekam kegiatan pemugaran di zaman kolonial, banyak. Peker­jaan ini tidak bisa diserahkan kepada arkeolog muda.

Kegiatan arkeologi, baik pe­nelitian maupun pemugaran, memang selalu menghasilkan penemuan baru. Karena itu, bi­la saya ikut dalam arus sekarang untuk memecahkan berbagai persoalan baru tersebut, ya tidak akan ada habisnya. Jadi saya justru dengan sengaja tidak mau ikut arus tersebut, melain­kan bikin arus balik. Maksud saya, saya mencoba menyelami kembali berbagai pengalaman saya di masa lalu untuk di­tuliskan.

Anda tampaknya tidak bisa berhenti berkarya?

Barangkali karena su­dah terbiasa bekerja, bila me­nganggur saya depresi. Sampai sekarang saya terus minum obat depresi. Jadi saya harus mampu menciptakan pekerjaan sendiri. Dan waktu sebuah pekerjaan se­lesai dikerjakan, muncul rasa puas. Tapi seminggu kemudian, saya mulai gelisah lagi. Saya harus menciptakan pekerjaan baru lagi.

Sebenarnya saya merasa cu­kup beruntung karena teman- teman masih sering meminta saya datang untuk mendiskusi­kan berbagai aspek pekerjaan mereka. Entah itu dari Borobudur, Yogyakarta, Trowulan, Bali, Jambi, Palembang, Ujungpandang. Atau juga un­dangan untuk mengikuti berba­gai rapat dari Ditlinbinjarah. kadang-kadang saya juga dia­jak Puslit Arkenas pergi ke si­tus-situs tertentu.

Selain itu ada juga per­mintaan dari beberapa rekan untuk menulis paper atau ar­tikel. Jadi, sebenarnya kegiatan selalu ada. Bahkan sampai ta­hun 1995 lalu, sebagai konsultan.

BPCB Jambi

Terus terang saya tidak setuju. Perayaan semacam ulang tahun TV swasta di candi pasti memberi dampak negatif. Sekitar dua tahun.lalu ada rencana membuat kegiatan motokros di sela-sela reruntuhan candi di Prambanan. Para arkeolog tidak ada yang setuju, tapi suara kami nyaris tidak diperhatikan. Balapan motor itu benar-benar berlangsung. Baru belakangan saya tahu, penyelenggara kegiatan itu didukung tokoh olahraga balap terkemuka di Jakarta.

PT Taman Wisata Borobudur – Prambanan, praktis sebulan sekali saya pergi ke Yogyakarta Tapi tahun ini saya sudah’ diPHK

Mereka bekas murid Anda juga?

Ya itulah untungnya menjadi guru. Melihat keberhasilan be­kas murid-murid, saya ikut se­nang. Tapi tentu saya juga harus tahu diri untuk tidak membe­ratkan mereka atau memberi mereka beban baru. Persoalan yang mereka hadapi juga kan sudah cukup memusingkan.

Anda pernah mengajar di PTPG (Perguruan Tinggi Pen­didikan Guru) di Batusangkar, Bagaimana ceritanya ?

Saya ditodong oleh Mendikbud waktu itu, Pak Yamin. Menteri ini senang arkeologi. Saya dulu anak emasnya. Bila orang lain takut, saya justru pa­ling dekat pada beliau. Tahun 1954 itu saya diajak ke Batu­sangkar, lalu Pak Yamin bilang, “Soekmono, kamu mengajar di sini, ya!” Akhirnya saya menja­di dosen terbang sejarah kebu­dayaan Indonesia.

Apa gagasan Anda yang belum terwujud hingga kini?

Banyak. Misalnya gagasan mengumpulkan berbagai peng­alaman para arkeolog yang unik-unik. Sayang sampai saat ini belum ada tanggapan dari rekan-rekan. Mungkin karena mereka masih terlalu sibuk.

Saya juga punya gagasan yang sebetulnya sempat saya tangani tetapi putus di tengah jalan. Gagasannya muncul waktu saya di Belanda tahun 1986-1987, yaitu proyek pe­nulisan kembali buku ka­rangan arkeolog Belanda, NJ Krom, terbitan tahun 1923, Inleiding tot de Hindu-Java- ansche Kunst (Pengantar Ke­purbakalaan Hindu-Jawa). Ta­pi di balik itu, rencana saya adalah tukar-menukar doku­men tertulis yang ada di Be­landa. Mulai dari arsip tertulis, gambar, foto, akblats (salinan asli prasasti), yang begitu lengkap di Belanda, sementara di Indonesia sudah tidak ada lagi.

Bila proyek tukar-menukar bahan ini berhasil, kan bagus, nanti kita bisa punya arsip yang lengkap. Tapi, tidak tahulah saya bagaimana nasib proyek ini nanti.***

Pewawancara:  Mindra Faizaliskandiar, staf Litbang Kompas