Keberadaan Kawasan Percandian Bumiayu mendapat perhatian dari pejabat pemerintah kolonial maupun para sarjana Belanda, setidaknya sejak abad ke – 19. Kawasan percandian ini telah menarik perhatian EP Tombrink (1864), Knaap (1904), JLA Brandes (1904), LC Westenenk (1923), FDK Bosch (1930) dan FM Schnitger (1935).
Schnitger pernah mengunjungi Kawasan Percandian Bumiayu pada pertengahan tahun 1930-an. Dalam catatan perjalanannya ketika mengunjungi kawasan ini, Schnitger menemukan tiga buah reruntuhan bata. Schnitger juga menemukan sebuah arca Siwa, dua buah kepala kala, pecahan arca singa, bata berhias burung nuri (sekarang disimpan di Museum Nasional) serta beberapa artefak lain. Schnitger (1937:2) melihat artefak-artefak Bumiayu merupakan benda tembikar yang indah buatannya dan memiliki kesamaan dengan kesenian Jawa Tengah.
Kawasan Percandian Bumiayu merupakan salah satu situs di wilayah kerja Balai Pelestarian Cagar Budaya Jambi yang memilik beberapa unit bangunan dalam satu hamparan wilayah. Untuk wilayah kerja Balai Pelestarian Cagar Budaya Jambi yang meliputi Provinsi Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu dan Bangka-Belitung. Tinggalan purbakala berupa kawasan cagar budaya seperti ini baru dijumpai di Kawasan Percandian Bumiayu (Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir, Provinsi Sumatera Selatan) dan Kawasan Cagar Budaya Muarajambi (Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi) yang merupakan kawasan cagar budaya terluas di Sumatera dan Indonesia.