Memahami Penamaan dan Istilah Yang Tepat
Istilah “stone cist” adalah penamaan terhadap suatu susunan papan-papan batu berbentuk segi empat dan masing-masing papan itu sebagai dinding, penutup dan lantai (dasar) yang dipendam dalam tanah. Letak lukisan-lukisan purba tersebut diterakan di balik bilik batu yang sekaligus sebagai dinding dalam rumah-rumah batu ini. Menurut catatan para peneliti terdahulu, sebaran bangunan “rumah batu”, demikian masyarakat setempat menyebutnya, tersebar di berbagai tempat baik di lereng-lereng bukit, di ladang-ladang kopi, persawahan hingga ditemukan di dalam dan sekitar pemukiman penduduk
Rumah batu ini sebagian menganggapnya sebagai kubur termasuk Vander der Hoop dengan istilah (Stone chumber graves). Tetapi beberapa peneliti belum berani menyimpulkan sebagai kubur karena data yang tersedia belum cukup kuat. Walaupun pernah dilaporkan adanya temuan yang mengindikasikan ke arah benda bekal kubur seperti sisa-sisa pecahan tembikar, manik-manik kaca, gigi manusia dan pecahan benda keramik. Karena itu, masih memungkinkan adanya penelitian yang lebih sistematis untuk mengungkapkan secar kongkrit fungsi dan peranan rumah batu itu pada masa lampau, karena sebagian kalangan dari pemerhati budaya megalit Besemah, masih sulit menerima pendapat bahwa rumah batu itu fungsinya sebagai kubur.
Bahan baku yang dipergunakan sebagai bagunan rumah bilik batu di atas, terdiri dari lempengan-lempengan batu gamping yang alamiah tanpa adanya jejak pengerjaan dan pembentukan terlebih dahulu. Tetapi tampaknya lempengan batu itu merupakan hasil pilihan dan seleksi, karena papan-papan batu itu mempunyai kecenderungan permukaan yang rata dan lebar.
Keistimewaan dan keunikan rumah “bilik batu” itu terletak pada lukisan-lukisan yang dituangkan di atas kanvas batu dan seolah tidak untuk dipamerkan bagi orang lain, begitu misterius. Karya lukis ini sangat mengagumkan dengan beragam gaya, pemaduan warna dalam garis, sehingga menghasilkan karya seni yang begitu simbolik. Pelukisnya pastilah seorang maestro yang sangat piawai dan sarat dengan ide dan gagasan di baliknya. Walau perpaduan warna yang serba terbatas, namun berani melahirkan suatu karya seni rupa penuh makna di era prasejarah.
Karena sangat misterius dan penuh tanda tanya, maka muncul berbagai pertanyaan mengenai arti dan makna atas bentuk-bentuk lukisan bilik batu ini. Salah seorang pakar mencoba menafsirkannya, dia adalah Jakob Sumardjo dalam bukunya “Arkeologi Budaya Indonesia”. Dikajinya dari pendekatan Hermeunetik-Historis bahwa warna-warna yang digunakan melukis seperti warna hitam, putih dan merah memiliki arti tertentu. Putih merupakan warna paling popular di semua suku di Indonesia yang melambangkan dunia Atas. Warna ini diartikan juga sebagai warna spiritual dan rohaniah. Warna hitam adalah berarti tanah, bumi tempat kehidupan nyata manusia termasuk fauna dan tumbuhan. Sedangkan warna merah diartikan juga sebagai bumi, tetapi ditekankan pada kategori perempuan. Jadi lukisan-lukisan itu ingin mengisahkan upacara pengorbanan antara Dunia Atas dan Dunia Manusia. Lukisan itu merupakan medium antara manusia dengan dunia Atas. Lebih dalam arti lukisan itu menurut Jakob “adalah ingin menyampaikan peristiwa mitologi bahwa keselamatan, kehidupan, kesejahteraan masyarakat, dicapai dengan pengorbanan, dan kematian.
Sayangnya, lukisan-lukisan kuno itu telah banyak mengalami kerusakan yang cukup parah yang memprihatinkan, yaitu bentuk dan warna gambar tampak tidak jelas lagi, kabur dan ditumbuhi jamur akibat kelembaban, sehingga terlihat samar dan sulit terbaca dengan mata telanjang. Lebih lagi diperparah dengan adanya goresan dan tulisan-tulisan baru menumpang di atasnya sebagai gejala vandalis yang sangat merusak lukisan-lukisan kuno itu. Sangat disayangkan adanya tangan-tangan usil yang sengaja menodai karya seni rupa tersebut sebagai suatu karya budaya yang mewakili zamannya.
Apapun arti dan makna atas segala bentuk karya seni megalitik Pasemah itu, kondisinya semakin rapuh digerogoti waktu, memang menyedihkan tetapi perlu ada upaya dan kepedulian bersama dengan masyarakat agar tetap terpelihara dan tak terawat dengan baik, menuju pemaknaan yang lestari.