Kampung Lingge cukup padat dihuni penduduk dan merupakan pemukiman yang cukup tua, hal ini terlihat dari banyaknya rumah panggung yang saling berhimpitan satu sama lain. Kepadatan hunian ini, juga terlihat dari sarana jalan setapak berupa gang yang menghubungkan antara kelompok rumah dengan rumah lainnya. Sebetulnya akses menuju lokasi keberadaan batu tegak itu, tidak tepat disebut jalan, karena jalan yang dilalui adalah sela-sela rumah panggung, bisa dari sisi samping, belakang maupun bagian depan sebuah rumah panggung. Bentuk perkampungan masyarakat di Lingge sulit diketahui polanya, karena letak masing-masing rumah tidak memiliki arah yang jelas dan setiap rumah tidak memiliki pagar sebagai pembatas tanah dan pekarangan.
Obyek yang kami cari-cari tidaklah sulit, karena setiap warga setempat mengetahui lokasi batu yang kami maksud. Batu tegak itu tersimpan di kolong sebuah rumah panggung dengan kondisi tidak terawat, bahkan diberi tambahan semen pada bagian bawah, mungkin dimaksudkan oleh pemiliknya sebagai penopang posisi batu monolit tersebut, agar batu itu tetap tegak dan berada pada posisinya namun dari sisi teknis pemugaran kurang tepat. Bentuk dari batu tersebut menyerupai sebuah bongkahan dengan tinggi 50 cm dan diameter 35 cm. Pada bagian atas dan sisi-sisi samping terdapat jejak pangkasan yang menunjukkan adanya kesengajaan oleh manusia pada masa lalu mendapatkan suatu bentuk. Secara keseluruhan bentuk batu itu memiliki ciri pangkasan yang sangat kasar dan tak beraturan, tetapi mengarah pada bentuk batu tegak atau batu menhir. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa penduduk setempat, bahwa batu itu adalah penanda pendirian kampong Lingge. Dari batu itulah mula-mula atau cikal bakal terbentuknya kampong sebagai lokasi hunian masyarakat di Lingge. Sayangnya tidak ditemukan lagi batu-batu serupa atau batu pendamping lainnya yang dapat mendukung asumsi batu menhir itu sebagai sisa tinggalan megalitik.
Tinggalan arkeologi berupa batu tegak yang mirip menhir, menurut penduduk setempat batu ini biasa disebut batu “Lingge” atau batu tegak. Batu Lingge ini terletak di bawah rumah salah satu warga, menurut informasi penduduk setempat batu ini merupakan tanda berdirinya kampung Lingge, namun batu lingge ini sekarang dalam kondisi di semen karena batu ini pernah ecah menjadi dua bagian sehingga oleh pemilik rumah yang terdapat batu ini di satukan lagi dengan cara di semen. Adapun ukuran batu Lingge tinggi 108 cm, lebar 74 cm dan tebal 26 cm.
Walau tata letak rumah-rumah panggung tampaknya tidak beraturan dan berpola, tetapi kampong Lingge terletak dekat dengan aliran sungai yang menjadi sumber aktivitas keseharian masyarakat, seperti mencuci, mandi, dan kegiatan keseharian lainnya. Ada kemungkinan di masa lalu, bahwa pola pemukiman masyarakat adalah mengikuti pola aliran sungai. Secara bersamaan kami juga melakukan pengamatan di sekitar aliran sungai tersebut, terutama di tepian yang terdapat hamparan batuan kerikil dan krakal. Ternyata kami berhasil menemukan beberapa batuan yang memiliki ciri teknologis prasejarah berupa alat-alat massif dan serpih dari batuan jasper kuning dan batuan fosil kayu. Melihat ciri dan bentuk salah satu temuan alat massif tersebut dapat diidentifikasi sebagai tipe kapak penetak. Sedangkan batuan lainnya masih sulit diperoleh tipe maupun bentuknya, karena tingkat patinasi dan pembudaran akibat proses air. Batuan-batuan krakal berbentuk bulat yang banyak dijumpai di sungai tersebut banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan pondasi maupun ditata di sekitar rumah-rumah mereka, terutama pada bagian dasar tangga, serta dijadikan sebagai pengeras jalan kampong.
Temuan menarik lainnya di kampong Lingge, yaitu adanya naskah kuno/ kitab Alqur’an yang disimpan oleh salah seorang penduduk, pemiliknya berada tidak jauh dari masjid dan masih dekat dengan lokasi batu monolit. Menurut keterangan pemiliknya naskah kuno yang ditulis tangan itu adalah warisan leluhurnya, dia merupakan orang yang pertama kali menyiarkan agama Islam di kampong Lingge. Kondisi naskah sangat memprihatinkan, terutama adanya pelapukan pada kertas akibat terserang oleh sejenis serangga (rayap), sehingga terjadi lubang dan sobekan yang menembus setiap lembar kertas naskah tersebut, akibatnya sebagian besar huruf dan kata yang tertera dalam naskah sudah sulit terbaca. Diperlukan suatu tindakan cepat sebagai upaya prepentif, agar kondisi naskah tua itu tidak semakin rusak parah, tim kemudian menyarankan kepada pemiliknya untuk diserahkan saja ke instansi museum di Palembang untuk dilindungi dan dipelihara.
(artikel ini ditulis oleh Nasruddin, disadur dari tulisan yang berjudul “Potensi Data Prasejarah Dari Lahat Hingga ke Empat Lawang”, yang telah dipublikasikan dalam buku “Megalitik Pasemah, Warisan Budaya Penanda Zaman”)