Ditemukan tahun 2013 dari areal Candi Kedaton. Pecahan seperti ini pernah saya temukan di Candi Kotomahligai sekitar tahun 1991, diantara tumpukan bata kira-kira dekat gundukan bangunan induk. Pecahan yang sama juga pernah ditemukan di Candi Gumpung dan Kembarbatu, tapi lupa tahunnya. Permukaan artefak ini diberi glasir warna hijau, fungsinya selain untuk meningkatkan nilai keindahannya juga untuk membuatnya kedap air dan anti lumut. Selain itu juga berguna untuk memantulkan sinar matahari, sehingga ruangan di bawah atap menjadi lebih dingin dibandingkan dengan genteng tanpa glasir.
Melihat bahannya yang berwarna putih kekuningan (krem) dan agak porus, saya hampir yakin bukan buatan lokal. Teknologi pembuatan gerabah di Indonesia belum mengenal glasir sampai dengan hadirnya kerajaan Majapahit sekitar abad XV, itu pun diaplikasikan pada benda-benda hiasan. Seribu tahun lalu ketika Muarajambi masih berfungsi, kemampuan ini belum dimiliki. Gerabah-gerabah Muarajambi umumnya berwarna kemerahan, walau ada juga yang berwarna putih kekuningan, porus, banyak mengandung partikel pirit (pyrite atau FeS2) warna kuning keemasan dan pasir kuarsa. Bahan-bahan ini secara visual tidak tampak pada kedua pecahan genteng asal Candi Kedaton ini. Namun masih perlu diuji. Potongan genteng kuno asal Candi Kotomahligai yang pernah saya temukan itu mempunyai garis-garis tipis warna kemerahan, kemungkinan berasal dari daerah yang air atau tanahnya mengandung mineral besi (Fe).
Sampai sekarang belum diketahui asal-usulnya, genteng seperti itu pernah dibuat di Thailand, Kamboja, dan Cina. Bentuknya hampir sama. Permukaannya rata, pada bagian belakang terdapat takikan pendek sebagai pengait, dan mempunyai dua atau lebih lubang kecil untuk memasukkan pasak ke dalam reng atap. Bentuk genteng tidak persegi, ujungnya dibuat melengkung atau membulat. Indonesia banyak mengimpor genteng seperti ini untuk memperindah atap bangunan-bangunan yang dianggap penting. Sampai dengan abad XV, genteng menjadi komoditas perdagangan seperti halnya mangkuk, kendi, pasu, piring, dan sebagainya. Kajian terhadap bentuk, teknologi, dan bahan yang digunakan untuk membuat genteng mungkin bisa menjawab dari mana asalnya genteng-genteng ini.
Penemuan di Candi Kedaton sudah tentu penting artinya untuk kita memahami arsitektur bangunan masa lalu di Muarajambi. Pasti ada bangunan-bangunan atap kayu yang ditutup genteng. Bisa jadi memang demikian. Struktur bagian atas bangunan yang rata-rata hilang mengindikasikan bahan yang digunakan bukannya bata seperti di Jawa, tetapi bahan organik dari kayu dan bambu seperti yang masih dipraktekkan di Bali sampai hari ini. Jadi, jangan bayangkan candi-candi di Muarajambi bentuknya seperti Prambanan di Jawa Tengah. Penemuan genteng di lingkungan candi-candi yang saya sebutkan tadi setidaknya memberi kita bukti bahwa terdapat banguan suci yang bagian kakinya terbuat dari bata sedangkan selebihnya sampai ke puncaknya terbuat dari bahan organik. Setelah ditinggalkan berabad-abad, sudah tentu struktur bagian atas candi hilang tanpa bekas. Kecuali gentengnya yang tidak lapuk tapi pecah.
Ketebalan yang rata, pipih (ceper), dan diglasir satu sisi merupakan ciri khas genteng. Pecahan yang kiri masih memperlihatkan tekukan melingkar walaupun hanya sedikit, perkiraan saya ini adalah bagian belakang dari genteng yang sering dibuat begitu. Temuan dari candi Kotomahligai juga memperlihatkan ciri yang sama. Di kanan dan kiri bagian yang melengkung itu biasanya ditempatkan lubang pasak kecil untuk menahan genteng waktu dipasang pada atap. Gambar rekonstruksinya pernah saya buat di saat presentasi seminar tentang Muarajambi.
Menurut Agus Widiatmoko, pernah ditemukan tumpukan genteng di ke dalaman sekitar 1 meter tidak jauh di sebelah timur candi Tinggi, bentuknya juga mirip dengan temuan di Kedaton, bedanya tanpa glasir. Kalau tumpukan genteng itu bisa diartikan sebagai sisa dari bangunan non religi, maka kita sudah dapat dua contoh genteng dalam konteks berbeda, yaitu yang berglasir untuk bangunan agama dan yang tidak berglasir untuk bangunan biasa. Keinginan untuk memuliakan bangunan suci pada masa lalu diwujudkan dengan memperindah atap bangunan candi menggunakan genteng berglasir yang mengkilap. Pasti keren 1000 tahun lalu…!
Tradisi ini masih dipraktekan di Thailand sampai sekarang, meskipun bentuk gentengnya mulai berubah lancip salah satu ujungnya. Tapi takikan pendek di bagian belakang genteng masih ada, juga lubang-lubang untuk memasukkan pasak. Di Palembang saya pernah melihat pecahan genteng kuno waktu ekskavasi di situs Karangayar, tepatnya di “pulau” Cempaka. Laporan survei tahu 1987 di Padanglawas oleh Roni Siswandi almarhum juga melaporkan hal yang sama. Jadi ada indikasi kuat kompleks kuil-kuil di Sumatera tidak seluruhnya menggunakan bata sebagai bahan utamanya, tetapi dikombinasikan dengan struktur kayu betatap genteng. Anehnya, kita belum menemukan bukti serupa di Jawa, kecuali di Trowulan. Itu pun tidak berglasir.
ditulis oleh : Junus Satrio Atmojo