Sekilas Sejarah Gorontalo-Indonesia

0
19008

1_Pasar Gorontalo1904aDaerah Gorontalo merupakan salah satu pusat penyebaran agama Islam di Indonesia Timur yaitu dari Ternate, Gorontalo, dan Bone. Seiring dengan penyebaran agama tersebut Gorontalo menjadi pusat pendidikan dan perdagangan masyarakat di wilayah sekitar seperti Bolaang Mongondow (Sulaweis Utara); Buol Toli-Toli, Luwuk Banggai, Donggala (Sulawesi Tengah) bahkan sampai ke Sulawesi Tenggara. Gorontalo menjadi pusat pendidikan dan perdagangan karena letaknya yang strategis menghadap Teluk Tomini (bagian selatan) dan Laut Sulawesi (bagian utara).

Kedudukan Kerajaan Gorontalo mulanya berada di Kelurahan Hulawa Kecamatan Telaga sekarang, tepatnya di pinggiran sungai Bolango. Menurut penelitian, pada tahun 1024 H, kota Kerajaan ini dipindahkan dari Keluruhan Hulawa ke Dungingi Kelurahan Tuladenggi, Kecamatan Kota Barat sekarang. Kemudian pada masa Pemerintahan Sultan Botutihe kota Kerajaan ini dipindahkan dari Dungingi di pinggiran sungai Bolango, ke satu lokasi yang terletak antara dua kelurahan yaitu Kelurahan Biawao dan Kelurahan Limba B. Dengan letaknya yang stategis yang menjadi pusat pendidikan dan perdagangan serta penyebaran agama islam maka pengaruh Gorontalo sangat besar pada wilayah sekitar, bahkan menjadi pusat pemerintahan yang disebut dengan Kepala Daerah Sulawesi Utara Afdeling Gorontalo yang meliputi Gorontalo dan wilayah sekitarnya seperti Buol Toli-Toli, Donggala, dan Bolaang Mongondow. Sebelum masa penjajahan keadaaan daerah Gorontalo berbentuk kerajaan-kerajaan yang diatur menurut hukum adat ketatanegaraan Gorontalo. Kerajaan-kerajaan itu tergabung dalam satu ikatan kekeluargaan yang disebut “Pohala’a”. Daerah Gorontalo ada lima pohala’a :

  1. Pohala’a Gorontalo
  2. Pohala’a Limboto
  3. Pohala’a Suwawa
  4. Pohala’a Boalemo
  5. Pohala’a Atinggola

Dengan hukum adat itu maka Gorontalo termasuk 19 wilayah adat di Indonesia. Antara agama dengan adat di Gorontalo menyatu dengan istilah “Adat bersendikan Syara’ dan Syara’ bersendikan Kitabullah”. Pohalaa Gorontalo merupakan pohalaa yang paling menonjol diantara kelima pohalaa tersebut. Itulah sebabnya Gorontalo lebih banyak dikenal. Asal usul nama Gorontalo terdapat berbagai pendapat dan penjelasan antara lain:

  1. Berasal dari “Hulontalangio”, nama salah satu kerajaan yang di singkat menjadi hulontalo.
  2. Berasal dari “Hua Lolontalango” yang artinya orang-orang Gowa yang berjalan lalu lalang.
  3. Berasal dari “Hulontalangi” yang artinya lebih mulia.
  4. Berasal dari “Hulua Lo Tola” yang artinya tempat berkembangnya ikan Gabus.
  5. Berasal dari “Pongolatalo” atau “Puhulatalo” yang artinya tempat menunggu.
  6. Berasal dari Gunung Telu yang artinya tiga buah gunung.
  7. Berasal dari “Hunto” suatu tempat yang senantiasa digenangi air

Jadi asal usul nama Gorontalo (arti katanya) tidak diketahui lagi, namun jelas kata “hulondalo” hingga sekarang masih hidup dalam ucapan orang Gorontalo. Pada masa penjajahan karena kesulitan dalam melafalkan, orang Belanda ucapkan dengan Horontalo dan bila ditulis menjadi Gorontalo.

Secara umum kedatangan bangsa-bangsa Barat ke Indonesia dimulai pada abad ke-16, karena tertarik rempah-rempah dari Indonesia, terutama rempah-rempah yang berasal dari kepulauan Maluku. Bangsa Barat pertama yang datang ke Indonesia adalah bangsa Portugis yang berlayar dari Malaka menuju Gresik di Jawa Timur dan selanjutnya ke Maluku tempat pengumpulan rempah-rempah.

Kemudian menyusul Bangsa Spanyol yang datang pada tahun 1521 dengan dua buah kapal melalui Philipina, Kalimantan Utara, Tidore, Bacan, dan Jailolo, sampai berlayar ke Maluku hingga tahun 1534.

Selanjutnya Bangsa Belanda datang ke Indonesia dan tiba di Banten pada tahun 1596 yang juga merupakan tempat perdagangan rempah-rempah dari daerah sekitarnya. Kemudian pada tahun 1607 Belanda berkunjung ke Sulawesi Utara, atas persetujuan Sultan Ternate. Karena Sulawesi Utara merupakan bagian kekuasaannya. Orang-orang Belanda ini ditugasi oleh Sultan Ternate untuk menyuruh semua orang Ternate yang berada di Manado kembali ke Ternate. Hal ini dilakukan untuk memudahkan orang-orang Belanda memukul mundur Spanyol yang berada di Manado yang datang ke Sulawesi Utara melaui Philipina. Di tahun 1617 Spanyol menconba menyebarkan ajaran agama Katholik di sekitar danau Tondano, namun mereka mendapat tantangan dari masyarakat setempat. Untuk maksud tersebut dalam tahun 1643 para elite lokal mengundang Belanda yang beragama Kristen Protestan dimintai bantuannya (Ibid, dalam Apriyanto: 37).

Sejak itu di Sulawesi Utara, Belanda mulai memantapkan hegemoninya, selanjutnya setelah Gubernur VOC berkuasa di Ternate, Robertus Padtbrugge melakukan perjalanannya melintasi Sulawesi Utara menuju Kwandang, Prov. Gorontalo, disitulah untuk menetapkan keputusan kontrak tahun 1678. Para elit lokal Gorontalo dan Limboto tidak dapat berkelit ketika Ternate telah menyerahkan hak-haknya atas Gorontalo dan Limboto kepada VOC.

Kawasan Gorontalo menjadi penting karena mengandung bahan-bahan makanan seperti beras, cokelat, dan kelapa, selain itu di bagian pegunungan juga terdapat tambang emas, seperti di daerah Samalata, Marisa, Bonepantai, dan Bintauna. Melihat kondisi tersebut VOC mendirikan factorij, melalui kantor dagang tersebut kontrak-kontrak dagang antara pemerintah Belanda dengan Gorontalo resmi dimulai.

Namun dalam perkembangan setelah Gubernur VOC Robertus Padtbrugge mengangkat Peter Kock sebagai wakil VOC di Gorontalo pada tahun 1727 mulai mencampuri urusan pemerintahan kerajaan yang dampaknya mengganggu tatanan pemerintah tradisional Gorontalo dan menimbulkan gejolak di kerajaan.

Sebagai contoh pada masa pemerintahan Botutihe Raja Gorontalo kembali Belanda memberikan tekanan dengan mengeluarkan larangan untuk mengangkat seorang Raja pada setiap kerajaan. Namun Raja Gorontalo lebih memperkuat kekuasaan guna melawan hegemoni Belanda dengan jalan menempatkan ibukota kerajaan pada lokasi strategis yakni di dekat muara sungai Bone yang merupakan pintu masuk bangsa-bangsa Barat ke Wilayah Gorontalo.

Kontrak-kontrak yang dibuat oleh Bangsa Belanda pada tahun 1678, 1689, 1710, 1730, 1735, 1746 sangat merugikan Gorontalo. Pada tahun 1824 daerah Limo Lo Pohalaa telah berada di bawah kekusaan seorang asisten Residen disamping Pemerintahan tradisonal. Pada tahun 1889 sistem pemerintahan kerajaan dialihkan ke pemerintahan langsung yang dikenal dengan istilah “Rechtatreeks Bestur“.

Pada tahun 1911 terjadi lagi perubahan dalam struktur pemerintahan Daerah Limo lo pohalaa dibagi atas tiga Onder Afdeling yaitu:

  1. Onder Afdeling Kwandang
  2. Onder Afdeling Boalemo
  3. Onder Afdeling Gorontalo

Selanjutnya pada tahun 1920 berubah lagi menjadi lima distrik yaitu :
1. Distrik Kwandang

2. Distrik Limboto

3. Distrik Bone

4. Distrik Gorontalo

5. Distrik Boalemo

 

Pada tahun 1922 Gorontalo ditetapkan menjadi tiga Afdeling yaitu :

1. Afdeling Gorontalo

2. Afdeling Boalemo

3. Afdeling Buol

Perkembangan selanjutnya, pergantian politik pemerintahan VOC ke Pemerintahan Hindia-Belanda pada peralihan abad ke-18 sampai abad ke-19 ditandai dengan adanya kebangkrutan VOC yang disebabkan oleh berbagai faktor, seperti kecurangan pembukuan, korupsi, kemampuan pegawai yang lemah, sistem monopoli, dan sistem paksa yang membawa kemerosotan moral para penguasa dan penderitaan penduduk.

Memasuki abad ke-19 seiring peralihan pemerintahan tersebut proses sentralisasi administrasi pemerintahan dari tingkat pusat sampai tingkat desa merupakan hal yang tak dapat terhindarkan bagi negeri-negeri jajahan Belanda, khususnya Gorontalo.

Lebih dari pada faktor di atas, mencermati fenomena historis di Gorontalo, khususnya mengenai konflik antara Gorontalo dengan Belanda yang berakhir dengan perlawanan kolektif, pada dasarnya merupakan akumulasi dari faktor-faktor periode sebelumnya dan kemudian dijawab oleh kaum nasionalis bersama rakyat sebagai pendukungnya dengan jalan reaksi total yang ditandai adanya penyergapan, penangkapan, dan penahanan sejumlah petinggi pemerintah Hindia Belanda yang berkuasa di Gorontalo. Akan tetapi ketika Jepang telah berhasil menduduki wilayah Gorontalo perubahan terjadi yang disebabkan oleh kebijakan-kebijakan pemerintah Jepang di Gorontalo.(romi)

Dikutip dari berbagai sumber