Workshop Pendaftaran Benda Cagar Budaya Pada Sistem Registrasi Nasional “Menggali Potensi Situs dan Kearifan Lokal Gorontalo” pada tanggal 20 Juli 2016 di Auditorium Pakaya Tower Limboto. Kegiatan ini dilaksanakan oleh Dinas Pariwisata Kebudayaan Komunikasi dan Informatika Limboto, dengan peserta dari kalangan SKPD beserta tokoh-tokoh budaya.
Kepala BPCB Gorontalo Bapak H Saiful Mujahid, SH yang menjadi Nara Sumber menyampaikan beberapa materi tentang Pelestarian Cagar Budaya.
*******************
Pengantar
“…..cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran dan perilaku kehidupan manusia yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sehingga perlu dikelola secara tepat melalui upaya pelindungan, pengembangan , dan pemanfaatan dalam rangka memajukan kebudayaan nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Demikian salah satu pertimbangan filosofis dari Undang-Undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya yang telah disahkan pada tanggal 24 November 2010 dan diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2010 Nomor 130 dan Tambahan Lembaran Negara Tahun 2010 Nomor 5168.
Pada dasarnya setiap daerah di Indonesia memiliki potensi Situs Budaya atau cagar budaya yang beragam satu sama lainnya ini menunjukkan bahwa kebudayaan itu begitu dinamis begitu juga dengan tinggalan budaya berupa benda dari masa tertentu di suatu daerah meninggalkan artefak budaya atau benda budaya yang berbeda, yang dikenali dengan ciri dan karakter tertentu,karena itulah berdasarkan penzamanannya kita kenali ada tinggalan budaya dari masa pra-sejarah , masa klasik, periode Islam, periode kolonial,masa perjuangan dan sebagainya. Sebenarnya potensi ini tidak hanya Situs (cagar) Budaya saja karena situs budaya hanyalah salah satu dari Cagar Budayaberdasarkan UU 11/2010 ada 5 objek yang termasuk dalam kategori Cagar Budaya yaitu(Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya), dapat dilihat dari dua aspek; pertama aspek yuridis yaitu dengan merigister seluruh jenis cagar budaya dan menetapkannya sebagai cagar budaya yang dilindungi Undang-Undang nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya dengan segala prosesnya; kedua aspek teknis yaitu dengan cara menjaga, memelihara, dan memugarnya agar tidak dicuri, di rusak, atau dimusnahkan.
Problematika
Yang menjadi problem mendasar adalah tidak semua Pemerintah Daerah yang care (peduli) terhadap potensi tinggalan budaya di wilayahnya, padahal ini merupakan amanat yang wajib dilaksanakan terutama oleh Pemda karena uryusan kebudayaan merupakan urusan wajib. Bagaimana caranya meng implementasikan amanat tersebut
Pemecahan Masalah
Di awal menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Dr. Daoed Joesoef mengatakan “Kebudayaan sebaiknya tidak dibiarkan berjalan, tumbuh dan berkembang tanpa perhatian dan bimbingan, lebih-lebih bila ia diharapkan untuk berperan di dalam pertumbuhan manusia individual dan perkembangan masyarakat di mana manusia tersebut berdiam” (Daoed Joesoef, 1978).
Tidak semua benda-benda peninggalan masa lalu itu didapati dan ditemukan dalam keadaan utuh dan baik kondisinya. Seringkali karena usianya yang cukup tua ia menjadi rapuh (fragile), jumlahnya menjadi terbatas (finite/limited), ia menjadi langka (Unique) dan apabila rusak ia tidak dapat diperbaharui lagi (un renewable). Acapkali benda-benda itu ditemukan tidak utuh dan hanya tinggal berupa sisa-sisanya saja. Meskipun demikian, sisa-sisa atau bagian dari benda itu juga merupakan data yang penting dipandang dari segi ilmu pengetahuan. Dengan data itu dapat digunakan sebagai alat untuk merekonstruksi pola kehidupan masayarakat masa lalu.
Oleh karena itu, benda peninggalan masa lalu ini harus dilindungi, ia menjadi benda cagar budaya (dalam artian sempit, ia berarti benda budaya yang dilindungi), ia harus dilindungi dari berbagai faktor, karena usia tua, karena faktor alam terlebih akibat faktor ulah manusia seperti pencurian, perdagangan gelap, penyelundupan, pencarian liar dan sebagainya.
Pada hakekatnya benda-benda tersebut merupakan tinggalan yang harus diwarisi dari satu generasi kegenerasi berikutnya ia merupakan bukti sejarah peradaban suatu bangsa, umat manusia bahkan merupakan warisan dunia, yang harus dilestarikan ; dilindungi, dikembangkan, dan dimanfaatkan untuk kepentingan kemanusiaan.
Upaya pelestarian cagar budaya adalah amanat bagi seluruh umat manusia, agar dapat mewariskan tinggalan budaya sebagai bukti sejarah peradaban manusia dari masa kemasa bagi generasi mendatang, dari sudut pandang itu pelestarian cagar budaya wajib bagi bangsa Indonesia yang memiliki berbagai aneka ragam budaya agar tiap-tiap daerah saling mengenali dan bangga atas berbagai budaya yang mereka miliki. Pelestarian juga merupakan hal yang penting bagi bangsa Indonesia Karena itu, upaya pelestarian adalah tanggungjawab seluruh masyarakat agar nilai-nilai penting di masa lampau maupun di masa kini dapat diwarisi, dilindungi, dikembangkan, dan dimanfaatkan oleh masyarakat di masa kini maupun mendatang. Untuk melihat eksistensi atau keberadaan Balai Pelestarian Cagar Budaya Gorontalo sebagai instansi yang menangani pelestarian dapat dilihat dari dua aspek, pertama dari sisi kelembagaan kedua dari sisi kewenangan teknis, keduanya bersifat inheren artinya keduanya menyatu antara instansi yang menunjukkan nomen klatur dengan kewenangan atau penanganan teknis yang menjadi tugas fungsinya.’
Di Indonesia instansi atu lembaga yang menangani pelestarian cagar budaya adalah Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, bersama dengan 12 Balai Pelestarian Cagar Budaya termasuk BPCB Gorontalo dan Balai Konservasi Borobudur serta Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran sebagai Unit Pelaksana Teknis dibawah Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sedangkan di daerah selain oleh UPT tersebut di atas terutama dilakukan oleh Dinas-dinas di bawah Pemerintah Daerah seluruhProvinsi dan Kabupaten di seluruh Indonesia.
Pembentukan Balai Pelestarian Cagar Budaya Gorontalo, didasarkan atas:
- Surat Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: B-2479/M.PAN/8/2008 tanggal 21 Agustus 2008 perihal Usul Pembentukan Balai Pelestaran Peninggalan Purbakala (BP3).
- Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM.35/HK.001/MKP-2008 Tentang Perubahan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No. PM.37/OT.001/MKP-2006 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala. Tindak lanjut dari Pembentukan BP3 Gorontalo, untuk memulai operasionalnya ditunjuk dan ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Sekretariat Jenderal Departemen Kebudayaan dan Pariwisata No. 137/KP.403/SEKJEN/DKP/2008, tanggal 02 Desember 2008.
- Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 52 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Pelestarian Cagar Budaya. Perubahan nama kantor Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Gorontalo Wilayah Kerja Provinsi Gorontalo, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tengah menjadi Balai Pelestarian Cagar Budaya Wilayah Kerja Provinsi Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Gorontalo.
Hal ini sejalan dengan amanat Pasal 99 ayat (1dan 2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya menyebutkan (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggungjawab terhadap pengawasan Pelestarian Cagar B sesuai dengan kewenangannya sedangkan ayat (2) nya menyebutkan, “Masyarakat ikut berperan serta dalam pengawasan Pelestarian Cagar Budaya”.
Sebagai Unit Pelaksana Teknis dari Direktorat Jenderal Kebudayaan BPCB Gorontalo tugas nya melaksanakan pelindungan, pengembangan, dan pelestarian serta fasilitasi pelestarian cagar budaya di wilayah kerjanya ,di dalam program kerjanya masih dan lebih memfokuskan pada berbagai kegiatan yang berkaitan dengan eksistensi kantor terutama sosialisasi dan inventarisasi cagar budaya kepada masyarakat luas, serta melakukan berbagai kegiatan teknis lainnya. Kegiatan sosialisasi dimaksudkan untuk memperkenalkan dan mempublikasikan kantor BPCB Gorontalo, sedangkan kegiatan inventarisasi dan kegiatan teknis lainnya seperti penyelamatan, pemugaran,pameran dan lain sebagainya dimaksudkan untuk menjaring dan mendata potensi serta tindakan pelestarian cagar budaya yang terdapat di wilayah Provinsi Gorontalo, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tengah.
Perubahan nomenklatur masalah kebudayaan yang semula berada di Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata dan sekarang berada di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta mergernya tiga direktorat yaitu Direktorat Tinggalan Purbakala, Direktorat Permuseuman, dan Direktorat Peninggalan bawah air dan Masa Kolonial menjadi satu direktorat yaitu Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman juga menjadi problem dan permasalahan tersendiri dalam penerapan kebijakan.
Bertolak dari pendapat itu, pertanyaannya, siapa yang harus memberikan ‘perhatian dan bimbingan’ itu? Paling tidak ada empat elemen yang terlibat secara intens dalam pengurusan kebudayaan, yaitu: pertama komunitas masyarakat pemilik kebudayaan; kedua, lembaga kebudayaan di masyarakat; ketiga, pemerintah; dan keempat kelompok dunia usaha.
Jika kita melihat PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, maka nampak jelas bahwa persoalan yang menyangkut pengelolaan Kawasan Cagar Budaya dan Benda Cagar Budaya dimasukkan dalam salah satu bidang urusan wajib yakni sub bidang kebudayaan.
Karena itu kebijakan pelestarian dilihat dan dipertimbangkan dari beberapa hal:
- Pelestarian cagar budaya bukan sekedar mempertahankan tinggalan-tinggalan bendawi, tetapi juga mengabadikan nilai-nilai penting yang terkandung di dalam cagar budaya tersebut. Dengan demikian, upaya pelestarian tidak hanya berupa kegiatan perlindungan dan perawatan saja, tetapi juga penyajian nilai-nilai penting itu kepada masyarakat luas, termasuk melestarikan kearifan budaya local.
- Upaya pelestarian cagar budaya sedapat mungkin memberikan tempat bagi keterlibatan masyarakat secara luas, termasuk kalangan akademis, sektor swasta, serta masyarakat setempat.
- Upaya pelestarian cagar budaya yang masih merupakan bagian dari budaya yang hidup (living heritage) harus melibatkan secara aktif masyarakat pendukungnya dalam proses pengambilan keputusan.
- Pelestarian cagar budaya harus dilakukan secara terarah dan terpadu dengan memperhatikan keterkaitan antara benda cagar budaya, situs, dan unsur-unsur lingkungan alam maupun sosialnya, termasuk perencanaan pembangunan wilayah tempatnya berada, tataguna lahan, dan perencanaan lain yang sudah ada.
- Pelestarian Cagar Budaya dilakukan dengan memperhatikan kebijakan dan kaidah-kaidah pelestarian baik pada tingkat internasional maupun nasional, dengan tetap mempertahankan kearifan-kearifan lokal.
- Pelestarian Cagar Budaya harus mencakup keterpaduan seluruh aspek pengelolaan, meliputi sumberdaya budaya yang dilestarikan, nilai-nilai penting sumberdaya budaya, organisasi pengelola dan stakeholder (pemangku kepentingan ?), perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan proses pelestariannya.
- Pelestarian Cagar Budaya harus mampu mengendalikan penggunaan lahan untuk meminimalisir kerusakan terhadap sumber daya budaya yang ada di dalamnya.
- Pelestarian Cagar Budaya harus memperhatikan aspek perlindungan dari potensi bencana baik bencana alam maupun bencana yang disebabkan oleh faktor manusia, termasuk di dalamnya tindakan tanggap bencana, mitigasi bencana, dan pemulihan dari dampak bencana
- Pelestarian Cagar Budaya dapat dilaksanakan dengan memperhatikan aspek nilai tambah yang dapat memberikan manfaat bagi banyak pihak, tetapi tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah pelestarian
JUMLAH CAGAR BUDAYA (TB) = 429 CAGAR BUDAYA
( Data terakhir sampai Bulan Mei 2015)
Propinsi Gorontalo: 55 Cagar Budaya,Jumlah Juru Pelihara :22 Orang, Situs Yang Dipelihara : 9 Situs
Provinsi Sulawesi Utara : 162 Cagar Budaya, Jumlah Juru Pelihara: 53 Orang, CB Yang dipalihara: 56 CB
Provinsi Sulawesi Tengah :213 Cagar Budaya,jml Juru Pelihara: 59 (14 PNS), CB Yang dipelihara: 71 CB sebenarnya masih banyak potensi cagar budaya yang belum tercatat terinventarisir dan terdaftar apalagi yang ditetapkan, dan kewajiban kitalah sebagai aparat yang bertanggung jawab di bidang kebudayaan melakukan itu. Dan itu sangat berkaitan erat dengan kearifan budaya local yang harus kita lestarikan.
Penutup
Hampir semua daerah di wilayah Indonesia berpotensi memiliki Cagar Budaya yang jenis dan bentuknya beragam juga periodesasinya. Demikian halnya dengan tinggalan budaya tangible di Gorontalo , potensi ini harus diketahui oleh Pemerintah Daerah karena ini merupakan asset budaya yang sangat penting yang sangat tinggi nilainya bahkan nilai ekonomisnya, karena itu melalui dinas-dinas yang bertanggung jawab di bidang kebudayaan haruslah melakukan pencatatan atau inventarisasi serta menyelenggarakan pendaftaran cagar budaya dan Bupati melakukan penetapan sebagai upaya pelindungan dan pelestarian Cagar Budaya serta memelihara kearifan budaya local sebagai bagian dari penguatan jati diri kebanggaan daerah dan pembentukan karakter bangsa.
Eksistensi BPCB Gorontalo terhadap Pelestarian Cagar Budaya terlihat dari tugas dan fungsi yang melekat pada BPCB tersebut dan program-program yang dibuatnya serta pelaksanaan dan aktifitas yang dilakukannya juga dari manfaat yang diperoleh masyarakat lingkungannya pada khususnya serta masyarakat luas pada umumnya. BPCB Gorontalo harus membuktikan bahwa kehadiran dan keberadaannya dalam dunia pelestarian cagar budaya, sebagai pengawal pelestari budaya tinggalan bukti sejarah masa lalu yang merupakan jatidiri bangsa memang sangat penting dan berguna bagi kehidupan bangsa.
Akhirnya semua terpulang pada good will dan political will masyarakat dan Pemda sertempat. Semoga tulisan sederhana ini dapat menjadi setitik pencerah bagi pemahaman mengenai potensi budaya serta keberadaan BPCB Gorontalo program dan aktifitasnya.