Watu Gilang adalah sebuah batu andesit berbentuk segi empat berukuran panjang 190 cm, lebar 121 cm dan tebal 16,5 cm dengan permukaan datar. Batu tersebut berada di depan pintu gerbang utara Keraton Surosowan dekat alun-alun. Menurut Babad Banten batu ini disebut watu gigilang dipergunakan sebagai tempat pentahbisan atau penobatan raja-raja di Kesultanan Banten. Sebuah cerita menarik disampaikan dalam Babad Banten pupuh XVIII yang menyebutkan bahwa Maulana Hasanuddin, raja pertama di Kesultanan Banten mempunyai sebuah batu yang besar dan rata, yang diduduki Batara Guru Jampang ketika melakukan tapa, ia tidak bergerak dalam jangka waktu yang sangat lama, begitu lamanya tidak bergerak sampai ketunya, ikat kepalanya dijadikan sarang oleh burung-burung emprit (pipit) (Djajadiningrat, 1983: 35-36).
Pupuh XIX Babad Banten juga menceritakan Sunan Gunung Jati bersama Molana Judah menyuruh anaknya Maulana Hasanuddin untuk mendirikan kota di dekat pantai, dan ia memberi petunjuk dimana dalem, pasar dan alun-alun harus dibangun. Terutama sekali watu gigilang tidak boleh dipindahkan dari tempatnya, karena hal itu berarti jatuhnya negeri itu (Djajadiningrat, 1983: 36).
Dalam Cerita Parahyangan disebut batu Sriman, dapat dihubungkan dengan batu Sitinggil. Siti Hinggil di keraton-keraton Jawa merupakan takhta raja yang diduduki baginda pada waktu maseban di hadapan para punggawanya. Batu Sriman ini menurut pendapat Ten Dam merupakan penanda kedudukan Maulana Hasanuddin dari Banten yang secara anumerta dijadikan usurpator (pengambil kekuasaan) Kerajaan Sunda, yakni dengan memindahkan Watu Gigilang dari Pakuan ke Banten. Diceritakan juga bahwa di lokasi Watu Gigilang terdapat batu lingga namun tidak dibawa karena dianggap ”kebudan” yang tidak sesuai dengan agama Islam. Pemindahan Watu Gilang dari bekas pusat kerajaan Pajajaran yang hinduistis ke pusat kerajaan Banten yang Islam dianggap bahwa kesaktian raja-raja Sunda turun ke raja-raja Banten (Sutaarga, 1984).
Daftar Pustaka
Djajadiningrat, Hoesein. 1983. Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. Jakarta: Jambatan.
Sutaarga, Moh. Amir. 1984. Prabu Siliwangi. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya