Sejarah pegadaian di Indonesia sudah dimulai sejak zaman Hindia Belanda, pada masa pemerintahan VOC (Vereenigde Oost-Indie Compagnie) dengan didirikannya Bank van Leening yang merupakan lembaga keuangan yang memberikan kredit dengan sistem gadai. Lembaga ini pertama kali didirikan di Batavia pada tanggal 29 Agustus 1746.
Nasabah Bank van Leening mayoritas berasal dari orang-orang Belanda dan sedikit orang Cina, Arab, dan Jawa. Setiap bulan nasabah selalu bertambah sehingga keuntungan yang didapat semakin besar. Melihat betapa menguntungkannya Bank van Leening ini, maka timbul kehendak agar bank ini seluruhnya dikuasai oleh VOC. Pada tahun 1794 dikeluarkanlah keputusan untuk membubarkan Bank van Leening. Sebagai gantinya didirikan Bank van Leening yang baru dengan tugas hanya memberikan kredit saja dengan modal, pengurus dan pegawai seluruhnya dari VOC. Bank van Leening ini terus berlangsung dan memonopoli perkreditan hingga dibubarkannya VOC pada 31 Desember 1799. Namun, jatuhnya VOC tidak mempengaruhi Bank van Leening yang kemudian diambil alih oleh Pemerintah Kolonial Belanda dengan keluarnya peraturan yang tegas tentang barang yang dapat digadaikan, yaitu : emas, perak, permata, kain, dan sebagian kecil perabotan rumah tangga serta barang-barang lain yang sejenis yang dapat disimpan dengan baik selama ± 13,5 bulan.
Kemudian ketika Inggris mengambil alih kekuasaan Indonesia dari tangan Belanda (1811-1816), Bank Van Leening milik pemerintah dibubarkan, dan masyarakat diberi keleluasaan untuk mendirikan usaha pegadaian asal mendapat lisensi dari Pemerintah Daerah setempat (“liecentie stelsel”). Namun metode tersebut berdampak buruk pemegang lisensi menjalankan praktek rentenir atau lintah darat yang dirasakan kurang menguntungkan pemerintah berkuasa (Inggris). Oleh karena itu metode “liecentie stelsel” diganti menjadi “pacth stelsel” yaitu pendirian pegadaian diberikan kepada umum yang mampu membayar pajak yang tinggi kepada pemerintah daerah.
Pada saat Belanda berkuasa kembali, pacth stelsel tetap dipertahankan dan menimbulkan dampak yang sama. Pemegang hak ternyata banyak melakukan penyelewengan dalam menjalankan bisnisnya. Selanjutnya pemerintah Hindia Belanda menerapkan apa yang disebut dengan “cultuur stelsel” di mana dalam kajian tentang pegadaian saran yang dikemuk adalah sebaiknya kegiatan pegadaian ditangani sendiri oleh pemerintah agar dapat memberikan perlindungan dan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Staatsblad No. 131 tanggal 12 Maret 1901 yang mengatur bahwa usaha Pegadaian merupakan monopoli Pemerintah dan tanggal 1 April 1901 didirikan Pegadaian Negara pertama di Sukabumi, Jawa Barat. Selanjutnya setiap tanggal 1 April diperingati sebagai hari ulang tahun Pegadaian.
Pada masa pendudukan Jepang, Gedung Kantor Pusat Jawatan Pegadaian yang terletak di Jalan Kramat Raya 162 dijadikan tempat tawanan perang dan Kantor Pusat Jawatan Pegadaian dipindahkan ke Jalan Kramat Raya 132. Tidak banyak perubahan yang terjadi pada masa pemerintahan Jepang, baik dari sisi kebijakan maupun Struktur Organisasi Jawatan Pegadaian. Jawatan Pegadaian dalam Bahasa Jepang disebut Sitji Eigeikyuku, Pimpinan Jawatan Pegadaian dipegang oleh orang Jepang yang bernama Ohno-San dengan wakilnya orang pribumi yang bernama M. Saubari. Pada masa awal pemerintahan Republik Indonesia, Kantor Jawatan Pegadaian sempat pindah ke Karang Anyar (Kebumen) karena situasi perang yang kian terus memanas. Agresi militer Belanda yang kedua memaksa Kantor Jawatan Pegadaian dipindah lagi ke Magelang. Selanjutnya, pasca-perang kemerdekaan Kantor Jawatan Pegadaian kembali lagi ke Jakarta dan Pegadaian kembali dikelola oleh Pemerintah Republik Indonesia. Dalam masa ini Pegadaian sudah beberapa kali berubah status, yaitu sebagai Perusahaan Negara (PN) sejak 1 Januari 1961, kemudian berdasarkan PP.No.7/1969 menjadi Perusahaan Jawatan (PERJAN), selanjutnya berdasarkan PP.No.10/1990 (yang diperbaharui dengan PP.No.103/2000) berubah lagi menjadi Perusahaan Umum (PERUM). Hingga pada tahun 2011, berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 51 tahun 2011 tanggal 13 Desember 2011, bentuk badan hukum Pegadaian berubah menjadi Perusahaan Perseroan (Persero).
Sumber : Laporan Kegiatan Inventarisasi Cagar Budaya Bergerak di Museum Pegadaian Sukabumi