Sejarah Keraton Surosowan

Istana yang di sebut dengan nama Surosowan di perkirakan berdiri pada abad 17 M. Keraton Surosowan bukanlah tempat tinggal raja Banten Lama yang pertama, diduga tempat tinggal sultan Banten yang pertama  mungkin didirikan di dekat Karangantu. Antara Tahun 1552 M sampai dengan 1570 M kemungkinan adalah saat pembangunan istana di Banten Lama. Istana Surosowan di bangun melalui empat fase. Menurut keterangan sumber sejarah di sebutkan bahwa dinding Surosowan tingginya sekitar dua meter, lebar lima meter. Panjang pada bagian Timur-Barat adalah 300 M, sedangkan pada bagian Utara-Selatan adalah 100 meter. Luas keseluruhan yang dibentengi adalah sekitar 3 hektar. Disetiap sudutnya terdapat bastion yang berbentuk intan, dan di tengah dinding Utara dan Selatan terdapat proyeksi setengah lingkaran.

Perbentengan ini seluruhnya dibuat dari bata, tetapi bata-bata tersebut memiliki type yang berbeda, menurut ukuran, bahan dan tekhnik pembuatanya. Beberapa type adonan juga digunakan, seperti tanah liat, campuran pasir dan kapur. Dinding itu tidak kokoh, sehingga diantara dinding diisi dengan tanah (Ambarry, 1988; 33).

Pada mulanya Benteng Surosowan memiliki 3 pintu gerbang, yaitu pintu Utara, Timur, dan Selatan. Gerbang Timur dan Utara dibuat dalam bentuk lengkung, dimaksudkan untuk mencegah tembakan langsung pada portal bila pintu gerbang di buka. Kedua gerbang dibuat dengan atap setengah silinder. Diluar benteng dibuat sungai buatan yang menyatu dengan Sungai Cibanten, sehingga memiliki Keraton Surosowan.

Dinding yang mengelilingi istana tersebut, pada fase pembangunan awal, lebarnya tidak lebih dari 100 m – 125 m, tanpa bastion dibangun dari susunan bata berukuran besar yang dicampur dengan adonan tanah liat (lempung). Fase pertama termasuk penataan dinding paling luar, mungkin terjadi pada masa pemerintahan Maulana Hasanuddin (1552M-1570 M). pada masa pembangunan fase ke dua, didirikan dinding bagian dalam dan bastion. Dinding bagian dalam berfungsi sebagai penahan api atau pembakaran. Jadi, antara fase pertama dan kedua telah terjadi perubahan fungsi dinding, yaitu dari yang berfungsi sebagai tembok kelilling kemudian menjadi tembok pertahanan dengan unsur-unsur Eropa (Nurhadi, 1982). Perubahan ini mungkin terjadi pada tahun 1680 M, dengan bantuan Chardeel (Ambarry dkk, 1988: 35; Michrob, 1993: 311). Sesudah masa ini, Surosowan disebut sebagai Port Diamand oleh pihak Belanda. Pembangunan fase ke tiga adalah tahap pendirian kamar-kamar disepanjang dinding Utara, penambahan lantai untuk mencapai dinding penahanan api (parapet). Pembangunan fase ke empat dilakukan perubahan pada gerbang Utara dan mungkin juga pada gerbang Timur. Pada lapis luar dinding bata dilapis secara merata dengan mengunakan karang. Pada fase pembangunan yang terakhir, yaitu ke lima, terjadi penambahan banyak kamar dibagian dalam dan penyempurnaan isian dinding.

Keraton Surosowan mengalami beberpa kali penghancuran. Kehancuran total yang pertama kali pada tahun 1680. Kehancuran ke dua kalinya dan ini yang terparah adalah pada tahun 1813 ketika Gubernur Jendral Belanda yang bernama Herman Daendels memerintahkan penghancuran keraton. Keraton ini kemudian ditingalkan penghuninya (Michrob, 1993: 312).

Penyusun Artikel : Rico Fajrian, S. S., BPCB Banten