Tahun 1596 merupakan awal kedatangan armada Belanda di Banten. Mereka bertujuan untuk mengambil dan membeli rempah-rempah. Karena terdorong untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, serta adanya persaingan dagang dengan Spanyol dan Portugis, maka pada tahun 1603 mereka mendirikan kantor dagang di Banten. Tujuan pendirian loji dagang ini adalah untuk memonopoli perdagangan di Banten. Sikap tegas Sultan Bantenlah yang memaksa kantor tersebut akhirnya dipindahkan ke Jayakarta pada tahun 1611.
Tanggal 5 Januari 1808, Deandels sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang pertama, mengeluarkan surat keputusan bahwa Jayakarta menjadi pusat pemerintahan dengan nama Batavia. Keputusan tersebut membuat sistem pemerintahan yang berbeda dari sebelumnya, dan melahirkan kebijakan-kebijakan baru. Salah satunya adalah Daendels melakukan birokratisasi di kalangan pemerintahan tradisional dengan menjadikan para sultan dan bupati sebagai pegawai pemerintahan.
Sultan Banten pada saat itu, yakni Sultan Abunasar Muhammad Ishak Zainul Muttaqin tidak mengakui kekuasaan Daendels. Puncak ketegangan antara Sultan Banten dan Daendel terjadi pada 21 November 1808, ketika seorang utusan Daendels yang dikirim ke Keraton Surosowan, dibunuh di depan pintu gerbang keraton. Kejadian itu dibalas oleh Daendels dengan menyerang Keraton Surosowan pada hari itu juga. Keraton Surosowan berhasil dikuasai Daendels, Sultan Banten ditangkap dan diasingkan ke Ambon.
Untuk menjalankan roda pemerintahan, Daendels mengangkat Sultan Aliyuddin II yang diharuskan untuk setia, taat, dan mematuhi segala peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Sultan dijadikan pegawai pemerintah colonial. Hal ini membangkitkan kemarahan Pangeran Ahmad, yakni putra Sultan Aliyuddin II. Pangeran Ahmad memimpin rakyat untuk melawan pemerintah colonial. Daendels curiga bahwa Sultan Banten ada dibalik perlawanan tersebut, sehingga Sultan Banten ditangkap kemudian benteng serta Keraton Surosowan dihancurkan dan dibakar.
Pada saat Raffles datang ke Pulau Jawa pada 1811, Kesultanan Banten pada saat itu dipimpin oleh Sultan Syafiuddin, dimana pusat pemerintahan berada di Keraton Kaibon. Raffles memaksa Sulta Syafiuddin untuk menyerahkan pemerintahan Banten dan status sultan diubah menjadi bupati sultan. Dengan demikian, berakhirlah eksistensi Kesultanan Banten. Seluruh wilayah Banten telah dikuasai oleh pemerintahan kolonial dan dijadikan sebagai sebuh keresidenan. Sultan menjadi aparat pemerintah dengan status sebagai bupati yang berada di bawah residen.
Pada 1828, pusat pemerintahan Kabupaten Banten dipindahkan dari Kaibon ke daerah di sebelah selatannya, dengan membangun kota Serang. Dimulainya Serang sebagai kota kolonial, ditandai dengan didirikannya bangunan-bangunan bergaya Eropa di wilayah pemukiman pribumi. Sebagai ibukota Keresidenan Banten, Serang pada masa kolonial merupakan satu-satunya tempat yang paling ramai di Banten.
Bangunan tinggalan masa kolonial yang sampai saat ini masih berdiri di Kota Serang antara lain Pendopo Gubernur, Kantor Bupati Serang, Gedung Joeang 45, Gedung Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Serang, Mapolres Serang, Korem Maulana Yusuf, Stasiun Kereta Api Serang.
Penulis: Rico Fajrian, S.S. (BPCB Banten)