Cagar Budaya yang terdapat di Indonesia saat ini tidak terlepas dari proses penemuan dan pencarian tinggalan arkeologis yang dilakukan pada periode sebelumnya. Hasil penemuan dan pencarian tinggalan arkeologis tersebut kemudian dikaji melalui proses penelitian, didaftarkan, hingga akhirnya ditetapkan sebagai Cagar Budaya jika memenuhi kriteria. Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya (UUCB/No.11/2010) telah mengatur hal-hal yang berkaitan dengan penemuan dan pencarian Cagar Budaya atau yang dianggap Cagar Budaya dengan cukup terperinci, mulai dari subjek yang berhak melakukan, ketentuan yang diberlakukan sampai, sampai dengan dengan sanksi yang dikenakan jika terjadi pelanggaran. Peraturan perundang-undangan tersebut hendaknya dipahami dan selanjutnya diaplikasikan dengan baik demi mencapai tujuan pelestarian Cagar Budaya. Berikut ini adalah beberapa hal yang perlu diperhatikannya dalam penemuan dan pencarian Cagar Budaya atau yang diduga Cagar Budaya.
Penemuan Cagar Budaya
Pasal 23 ayat (1) UUCB/No.11/2010 menyatakan bahwa “Setiap orang yang menemukan benda yang diduga Benda Cagar Budaya, bangunan yang diduga Bangunan Cagar Budaya, struktur yang diduga Struktur Cagar Budaya, dan/atau lokasi yang diduga Situs Cagar Budaya wajib melaporkannya kepada instansi yang berwenang di bidang kebudayaan, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan/atau instansi terkait paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak ditemukannya.” Namun faktanya, banyak kasus ada warga yang menemuan benda yang diduga Benda Cagar Budaya, bangunan yang diduga Bangunan Cagar Budaya, struktur yang diduga Struktur Cagar Budaya, dan/atau lokasi yang diduga Situs Cagar Budaya tidak melaporkan pada instansi terkait. Contohnya, pada saat tahap wawancara penduduk dalam kegiatan Deliniasi Kawasan Kompleks Percandian Batu Jaya pada tahun 2014 oleh tim dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Banten, terungkap bahwa banyak penduduk yang pernah menemukan benda yang diduga Benda Cagar Budaya, bangunan yang diduga Bangunan Cagar Budaya, struktur yang diduga Struktur Cagar Budaya, dan/atau lokasi yang diduga Situs Cagar Budaya namun tidak melaporkan penemuannya.
Pada saat wawancara diketahui bahwa ada warga Kampung Kali mati yang menemukan perahu kuno saat melakukan penggarapan sawah di lahan miliknya. Alih-alih melaporkan, sang penemu perahu kuno ini malah mengubur kembali perahu penemuannya itu. Begitu pula dengan ibu Rimah, menemukan perahu kuno di Kampung Kedondong, Batu Jaya saat hendak membuat kolam ikan, bukannya melapor, ia mengubur kembali temuan perahu kunonya.
Ironis memang jika banyak warga yang tidak melaporkan penemuan Cagar Budaya atau yang diduga Cagar Budaya kepada instansi terkait. Padahal pasal 23 ayat (1) UUCB/No.11/2010 telah jelas mengaturnya. Hal ini terjadi karena beberapa faktor yang mungkin terjadi, mulai dari ketidakpedulian masyarakat terhadap Cagar Budaya, ketidaktahuan masyarakat terhadapa peraturan perundang-undangan sampai dengan ketakutan masyarakat akan mitos-mitos jika menemukan benda-benda masa lampau. Ketakutan akan mitos-mitos inilah yang diakui oleh ibu Rimah sang penemu perahu kuno di Kampung Kedondong yang menyebabkan ia tidak melaporkan penemuannya pada instansi terkait melainkan menguburkannya kembali.
Pendekatan terhadap Masyarakat Melalui Sosialisasi UUCB/No.11/2010
Ketidakpedulian masyarakat terhadap Cagar Budaya dan ketakutan terjadinya segala mitos yang masih kental di masyarakat merupakan beberapa faktor penyebab tidak kooperatifnya masyarakat dalam pelaporan saat terjadi penemuan Cagar Budaya atau yang diduga Cagar Budaya. Salah satu cara yan bisa dilakukan untuk meminimalisir hal tersebut adalah dengan cara melakukan pendekatan kepada masyarakat melalui sosialisasi UUCB/No.11/2010.
Saat ini sebenarnya beberapa instansi pemerintah seperti Balai Pelestarian Cagar Budaya Banten sudah beberapa kali melakukan sosialisasi UUCB/No.11/2010. Namun nyatanya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap Cagar Budaya masih sangat kurang. Masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui bahwa ada kewajiban melapor pada instansi terkait saat terjadi penemuan Cagar Budaya atau yang diduga Cagar Budaya.
Lalu mengapa sosialisasi undang-undang sudah dilakukan namun masyarakat masih belum memahami esensi dari UUCB/No.11/2010 tersebut? Bukan hanya masalah penemuan, tapi juga masalah kepemilikan Cagar Budaya, pemberian insentif dan kompensasi, masalah pendaftaran, dan hal lainnya yang sangat berkaitan erat dengan masyarakat dan seharusnya dipahami benar oleh masyarakat. Tentunya perlu evaluasi mendalam mengapa output dari kegiatan sosialisasi undang-undang ini tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.
Beberapa faktor yang harus dievaluasi dalam penyelenggaraan sosialisasi UUCB/No.11/2010 antara lain adalah peserta yang terlibat dalam kegiatan sosialisasi tersebut. Yang terjadi saat ini adalah bahwa peserta sosialisasi UUCB/No.11/2010 sering kali adalah perwakilan instansi pemerintah di bidang kebudayaan. Tidak ada yang salah dengan ini. Bahwa para pelaku pelestarian Cagar Budaya memang sudah seharusnya memahami benar maksud dari isi UUCB/No.11/2010. Namun, jangan sampai masyarakat umum, khususnya masyarakat di sekitar Situs Cagar Budaya, kurang dilibatkan dalam sosialisasi. Kita tentu harus menyadari bahwa peran serta masyarakat dalam pelestarian Cagar Budaya sangat penting dan tidak bisa diabaikan.
Status Cagar Budaya
Setelah melalui proses penemuan, hasil temuan benda, bangunan, dan/atau struktur yang diduga Cagar Budaya tersebut tidak serta merta langsung ditetapkan sebagai Cagar Budaya. Melainkan dilakukan pengkajian terlebih dahulu sebagaimana yang diatur dalam pasal 23 ayat (3) UUCB/No.11/2010, yaitu “Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), instansi yang berwenang di bidang kebudayaan melakukan pengkajian terhadap temuan.”
Jika setelah dilakukan pengkajian ternyata benda, bangunan dan/atau struktur tersebut dianggap memenuhi kriteria sebagai Cagar Budaya seperti yang dijelaskan dalam pasal 5 – 11 UUCB/No.11/2010, maka proses selanjutnya adalah proses pendaftaran kepada pemerintah kabupaten/kota seperti yang tercantum dalam pasal 29 UUCB/No.11/2010. Selanjutnya, Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) kabupaten/kota dibantu oleh UPT atau satuan kerja perangkat daerah di bidang Cagar Budaya akan melakukan pengkajian mengenai kelayakan hasil temuan sebagai Cagar Budaya atau bukan Cagar Budaya.
Kompensasi bagi Penemu Cagar Budaya
Jika hasil kajian TACB menyatakan bahwa hasil temuan layak untuk dijadikan Cagar Budaya dan kemudian disahkan dengan dikeluarkannya SK status Cagar Budaya oleh Bupati/Wali Kota, maka penemu Cagar Budaya tersebut berhak untuk mendapatkan kompensasi berupa uang dan/atau bukan uang dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah, sesuai dengan bunyi pasal 24 ayat (1) UUCB/No.11/2010, yaitu “Setiap orang berhak memperoleh kompensasi apabila benda, bangunan, struktur, atau lokasi yang ditemukannya ditetapkan sebagai Cagar Budaya.”
Oleh karena itu Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib untuk menyediakan dana cadangan untuk kemungkinan adanya penemuan dugaan Cagar Budaya, seperti yang diamanatkan oleh pasal 98 ayat 4 UUCB/No.11/2010, yaitu ” Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyediakan dana cadangan untuk penyelamatan Cagar Budaya dalam keadaan darurat dan penemuan yang telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya.” Dana cadangan dibutuhkan tidak hanya untuk dana kompensasi penemu, namun juga dana operasional pengkajian setelah proses pelaporan oleh penemu.
Kepemilikan Cagar Budaya Hasil Penemuan
Untuk masalah status kepemilikan Cagar Budaya hasil penemuan diatur dalam pasal 24 ayat (2) dan (3) UUCB/No.11/2010 sebagai berikut :
Pasal 24 UUCB/No.11/2010
(2) Apabila temuan yang telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sangat langka jenisnya, unik rancangannya, dan sedikit jumlahnya di Indonesia, dikuasai oleh Negara.
(3) Apabila temuan yang telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak langka jenisnya, tidak unik rancangannya, dan jumlahnya telah memenuhi kebutuhan negara, dapat dimiliki oleh penemu.
Kesimpulannya adalah bahwa status kepemilikan Cagar Budaya hasil penemuan bergantung pada kelangkaan Cagar Budaya tersebut. Jika jenisnya sangat langka, unik rancangannya, dan sedikit jumlahnya di Indonesia, maka statusnya menjadi milik Negara. Namun jika Cagar Budaya tersebut tidak langka jenisnya, tidak unik rancangannya, dan jumlahnya telah memenuhi kebutuhan negara maka dapat dimiliki oleh penemu. Ketentuan ini sejalan dengan pasal sebelumnya tentang Pemilikan, yaitu pasal 12 ayat (2) UUCB/No.11/2010 yang berbunyi ” Setiap orang dapat memiliki dan/atau menguasai Cagar Budaya apabila jumlah dan jenis Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, dan/atau Situs Cagar Budaya tersebut telah memenuhi kebutuhan negara.”
Pencarian
Menurut KBBI pencarian adalah proses berusaha mendapatkan (menemukan, memperoleh). Jadi berbeda dengan penemuan Cagar Budaya yang prosesnya tidak direncanakan, proses pencarian Cagar Budaya memerlukan perencanaan yang matang dan terprogram. Siapa saja yang berhak dan berkewajiban untuk melakukan pencarian, bagaimana prosesnya, dan bagaimana perizinannya secara umum diatur dalam UUCB/No.11/2010 pasal 26 – 27, sebagai berikut :
Pasal 26 UUCB/No.11/2010
(1) Pemerintah berkewajiban melakukan pencarian benda, bangunan, struktur, dan/atau lokasi yang diduga sebagai Cagar Budaya.
(2) Pencarian Cagar Budaya atau yang diduga Cagar Budaya dapat dilakukan oleh setiap orang dengan penggalian, penyelaman, dan/atau pengangkatan di darat dan/atau di air.
(3) Pencarian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) hanya dapat dilakukan melalui penelitian dengan tetap memperhatikan hak kepemilikan dan/atau penguasaan lokasi.
(4) Setiap orang dilarang melakukan pencarian Cagar Budaya atau yang diduga Cagar Budaya dengan penggalian, penyelaman, dan/atau pengangkatan di darat dan/atau di air sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kecuali dengan izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 27 UUCB/No.11/2010
Ketentuan lebih lanjut mengenai pencarian Cagar Budaya Atau yang diduga Cagar Budaya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Kewajiban Pemerintah
Pasal 26 ayat (1) UUCB/No.11/2010 menyatakan bahwa yang memiliki kewajiban untuk melakukan pencarian Cagar Budaya adalah pemerintah. Proses pencarian Cagar Budaya atau yang diduga Cagar Budaya hanya dapat dilakukan dalam bentuk penelitian. Dalam hal ini, badan negara yang bertugas untuk melakukan penelitian pencarian Cagar Budaya atau yang diduga Cagar Budaya adalah Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) dan Badan Arkeologi (BALAR) yang berada dibawahnya. Berdasarkan Permendikbud No. 27 Tahun 2015 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Arkeologi pasal 2 disebutkan bahwa “BALAR mempunyai tugas melaksanakan penelitian dan pengembangan arkeologi di wilayah kerjanya berdasarkan kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.”
Namun tentunya lembaga peneliti negara ini harus bijak dalam menyikapi pasal 26 ayat (1) UUCB/No.11/2010 tersebut. Pencarian Cagar Budaya tidak semata-mata dilihat dari kuantitas tinggalan yang diperoleh, namun juga harus diimbangi dengan kualitas pengungkapan nilai-nilai intangible yang terkandung dalam tinggalan yang bersifat tangible. Seperti juga apa yang dinyatakan oleh Edi Sedyawati (2003) bahwa benda budaya setidak-tidaknya memiliki dua dari sejumlah aspek intangible yang melekat padanya, yaitu konsep mengenai benda itu sendiri, perlambangan yang diwujudkan melalui benda itu, kebermaknaan dalam kaitan dengan fungsi atau kegunaannya, isi pesan yang terkandung di dalamnnya khususnya apabila terdapat tulisan padanya, teknologi untuk membuatnya, dan pola tingkah laku yang terkait dengannya. Jadi, apa yang intangible itulah yang harus disampaikan kepada masyarakat dan harus pula ditekankan semua itu merupakan bagian dari identitas bangsa kita (Ramelan, 2012, p. 2). Apa artinya kuantitas jumlah tinggalan arkeologis yang terus meningkat jika tidak diimbangi dengan kualitas pengungkapan nilai-nilai intangible yang ada di dalamnya? Apa artinya melakukan pencarian tinggalan arkeologis, melalui ekskavasi misalnya, jika hanya berakhir di ruang storage dengan label ‘unidentified’? Seperti yang diungkapkan Prof. Mundardjito dalam tulisannya The Problems in Asessment of Heritage Values dalam Kalatirta edisi 1 bahwa “There are countless of artifacts, which are obtained with difficulty, which are now being kept in the storage rooms of museum and other institutions and labeled “unidentified”
Pencarian di Darat dan di Air
Undang-undang mengamanatkan bahwa pencarian tidak hanya dilakukan di darat, tapi juga di air seperti yang tertuang dalam pasal 26 ayat (2) UUCB/No.11/2010. Namun yang terjadi saat ini bahwa pencarian dan survei Cagar Budaya baru belum menyentuh tinggalan bawah air.
Hal yang perlu ditekankan dalam pencarian tinggalan bawah air adalah bahwa tujuannya bukan untuk mengambil tinggalan tersebut dan memindahkannya ke darat. Pencarian dilakukan lebih kepada tujuan pendataan dan konservasi. Pendataan yang ditindaklanjuti dengan proses pendaftaran dan akhirnya penetapan sebagai Cagar Budaya. Tujuannya adalah agar tinggalan bawah air juga mendapatkan hak pelindungan sama seperti tinggalan yang ada di darat. Sehingga tinggalan bawah air tidak lagi diperlakukan sebagai Benda berharga asal Muatan Kapal yang Tenggelam (BMKT) yang hanya dipandang sebagai benda ekonomis.
Hak Kepemilikan dan/atau Penguasaan Lokasi Pencarian
Hal yang tidak boleh diabaikan dalam proses penelitian pencarian Cagar Budaya adalah hak kepemilikan dan/atau penguasaan lokasi pencarian. Untuk bisa melakukan pencarian tidak hanya diperlukan izin dari Pemerintah atau Pemerintah daerah sepeti yang diatur dalam pasal 26 ayat (4) UUCB/No.11/2010, namun juga perlu persetujuan (izin) dari pihak yang memiliki atau menguasai lokasi pencarian. Jangan sampai terjadi konflik dengan pemilik/penguasa lahan karena melakukan suatu kegiatan (pencarian) tanpa persetujuan (izin).
Perizinan Pencarian Cagar Budaya
Pasal 26 ayat (2) UUCB/No.11/2010 memperbolehkan setiap orang untuk dapat melakukan pencarian Cagar Budaya atau yang diduga cagar Budaya, namun di ayat selanjutnya yaitu pasal 26 ayat (4) UUCB/No.11/2010 menegaskan aturan bahwa pencarian hanya boleh dilakukan dengan disertai izin dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
Ada fenomena menarik di daerah Sangiran, bahwa mencari sisa-sisa tinggalan manusia purba Sangiran menjadi profesi yang cukup menjanjikan. Setiap orang tanpa izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah melakukan pencarian sisa-sisa tinggalan manusia purba untuk dijual. Tentunya hal ini bertentangan dengan perundang-undangan yang menyatakan bahwa pencarian harus dilengkapi izin dan harus dalam bentuk penelitian, bukan pencarian individu. Setiap orang yang tanpa izin melakukan pencarian Cagar Budaya dapat dikenakan sanksi yang diatur dalam pasal 103 UUCB/No.11/2010 yaitu :
Setiap orang yang tanpa izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah melakukan pencarian Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Namun karena penegakan hukum di bidang kebudayaan masih sangat lemah, sejauh ini sanksi tidak pernah diberlakukan sehingga tidak ada efek jera pada masyarakat yang melakukan pelanggaran terhadap undang-undang. Akibatnya pencarian Cagar Budaya ilegal tidak bisa diminimalisir.
Penutup
Jumlah Cagar Budaya di Indonesia dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan. Hal ini tidak terlepas dari proses penemuan dan pencarian Cagar Budaya yang dilakukan. Dalam proses penemuan dan pencarian ini tentunya harus sesuai dengan UUCB/No.11/2010 yang telah diuraikan dalam penjelasan di atas.
Satu hal yang perlu ditekankan dalam penemuan dan pencarian Cagar Budaya atau yang diduga Cagar Budaya adalah bahwa yang menjadi hal utama dan dibutuhkan masyarakat adalah bukan semata-mata mengenai kuantitas tinggalan yang berhasil ditemukan atau tinggalan yang berhasil dicari/diekskavasi, melainkan bagaimana hasil temuan dan pencarian itu bisa diidentifikasi, diinterpretasi, dan dikomunikasikan kepada masyarakat. Ujung dari penemuan dan pencarian Cagar Budaya atau yang diduga Cagar Budaya ini bukan hanya berhenti sampai pada proses penetapan Cagar Budaya. Namun goal utamanya adalah bagaimana hasil temuan dan hasil pencarian yang akhirnya ditetapkan sebagai Cagar Budaya bisa memberikan manfaat dalam rangka memajukan kebudayaan nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat seperti yang diamanatkan dalam UUCB/No.11/2010.
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.
Mundardjito. 2013. The Assessment of Heritage Values. Dalam Kalatirta edisi 1. Serang : BPCB Serang.
Ramelan, Wiwin Djuwita. 2012. Permasalahan Pengelolaan Cagar Budaya dan Kajian Manajemen Sumber Daya Arkeologi
Tim Deliniasi BPCB Banten. 2014. Laporan Kegiatan Deliniasi Kawasan Situs Batu Jaya. Serang : BPCB Banten.
Undang-Undang No.11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya.
Undang-Undang No.5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya.
Penulis: Yuni Rahmawati
dimuat dalam Buletin Kalatirta vol. 5 terbitan BPCB Banten