You are currently viewing Menara Masjid Baitul Mutaqin (Beji), Bojonegara
Masjid Beji, Bojonegara

Menara Masjid Baitul Mutaqin (Beji), Bojonegara

Salam lestari sahabat budaya!

Sahabat budaya yang berdomisili di Serang, Banten sudah tahukah tentang menara Masjid Beji? Masjid Baitul Mutaqin, yang lebih dikenal dengan nama Masjid Beji, terletak di Kampung Beji, Desa Bojonegara, Kecamatan Bojonegara, Kabupaten Serang. Semula Masjid Beji masuk dalam daftar inventaris cagar budaya BPCB Banten. Namun, kondisi saat ini, masjid sudah dipugar tanpa meninggalkan bentuk aslinya. Sehingga hanya menaranya yang masih dipertahankan.

Menara ini berbentuk seperti pion bidak catur. Terdiri atas tiga bagian, yakni bentuk persegi di bagian bawah (kaki), segi delapan di bagian tengah (badan), bagian atas berbentuk segi delapan yang di puncaknya terdapat simbol bulan sabit dan bintang. Di kaki menara terdapat pintu berbentuk lengkung di bagian atas. Pintu ini menuju puncak menara, yang dahulu digunakan untuk menyuarakan adzan memanggil umat Islam untuk sholat. Menara Masjid Beji dalam kondisi terawat, dibangun di atas tanah wakaf.

Menara Masjid Beji

Menara Masjid Beji dibangun pada tahun 1888 atas perintah K.H. Wasyid, yang berungsi untuk adzan. Menara ini juga merupakan simbol peristiwa Geger Cilegon yang terjadi pada tahun 1888. Tokoh K.H. Wasyid sangat terkenal di kalangan masyarakat Cilegon dan sekitarnya. Geger Cilegon, sebagaimana yang disebutkan di atas, terjadi pada tanggal 8 Juli 1888. Peristiwa pemberontakan yang dikenal dengan Geger Cilegon tersebut dipimpin oleh Haji Abdul Karim, H. Tubagus Ismail, dan K.H. Wasyid. Penyebab terjadinya pemberontakan adalah penetrasi perekonomian pada masyarakat Banten, khususnya Cilegon. Pemerintah kolonial memberlakukan peraturan sewa tanah yang berimbas pada peraturan perpajakan. Pemungutan pajak tersebut mengakibatkan langkanya uang dan rendahnya harga hasil pertanian. Beberapa kaum aristokrat dan elite agama merasa kedudukannya terancam oleh pemerintah kolonial. Tersisihnya mereka di bidang politik, menyebabkan mereka mudah terpengaruh untuk melancarkan aksi pemberontakan sebagai ajang penyaluran rasa ketidakpuasan mereka. Selain itu, pemberontakan tersebut diperkuat oleh kebencian religius mereka terhadap kekuasaan para pejabat di pemerintahan kolonial yang notabene non muslim.