Makam Pendiri Masjid Cikadueun terletak di dalam komplek Masjid Cikadueun yang secara administrasi terletak di Kampung Cikadueun, Desa Cikadueun, Kecamatan Cipeucang, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Sedangkan secara astronomis berada titik koordinat 06°23’41,6” Lintang Selatan dan 106°00’25,3” Bujur Timur.
Makam Cikadueun memiliki orientasi utara – selatan yang saat ini kondisi jiratnya sudah dikeramik berwarna putih. Nisan sisi utara memiliki tinggi ± 64 cm dan lebar ± 36 cm, nisan sisi utara memiliki tipologi menyerupai batu nisan tipe Aceh. Nisan ini memiliki bentuk dasar pipih, bagian kepala memiliki dua undakan, makin keatas makin mengecil. Pada bagian atas badan nisan terdapat tonjolan berbentuk tanduk. Hiasan berupa sulur daun dan tanaman terdapat hampir di seluruh badan nisan tanpa ragam hias kaligrafi. Sedangkan pada nisan sisi selatan memiliki tinggi ± 52 cm dan lebar ± 33 cm, nisan ini juga berupa nisan tipe Aceh dengan bentuk yang berbeda yaitu, bentuk dasar pipih/papan dengan badan nisan dihiasi sulur yang membentuk gunungan dengan terdapat tulisan Arab “Allah” pada sisi utara dan “Muhammad” pada sisi selatannya. Jarak antar kedua nisan tersebut ± 66 cm.
Tokoh yang dimakamkan pada Makam Cikadueun adalah Syeh Maulana Mansur yang dikaitkan dengan Sultan Haji atau Sultan Abu al Nasri Abdul al Qahar, Sultan Banten ke tujuh yang merupakan putera Sultan Ageng Tirtayasa. Pada masa pemerintahannya beliau dikatakan sangat kooperatif dengan pihak Belanda ini dipenuhi dengan pemberontakan dan kekacauan di segala bidang, bahkan sebagian masyarakat tidak mengakuinya sebagai sultan.
Karena riwayat Sultan Haji yang sangat memalukan dan memprihatinkan tersebut, maka timbullah berbagai cerita yang menyimpang dari data-data sejarah. Diceritakan bahwa yang melawan Sultan Ageng bukanlah Sultan Haji, melainkan orang yang menyerupai Sultan Haji yang berasal dari Pulau Putri atau Mejati. Orang ini datang ke Banten ketika Sultan Haji sedang menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Setelah selesai menuaikan ibadah haji, Sultan Haji yang asli kembali ke Banten dan mendapati kenyataan Banten sedang dalam keadaan penuh huru hara. Untuk menghindari keadaan yang lebih buruk lagi, Sultan Haji pergi ke Cimanuk, tepatnya kearah Cikadueun, Pandeglang. Di Cikadueun ia menyebarkan agama Islam hingga wafat disana. Ia dikenal dengan nama Haji Mansyur atau Syekh Mansyur Cikadueun. Namun cerita seperti ini dari sisi sejarah sangat lemah, dan hanya di anggap sebagai cerita rakyat atau legenda yang mengandung nilai dan makna filosofis.
Sumber lain mengatakan, Syekh Mansyur Cikadueun adalah ulama besar yang berasal dari Jawa Timur yang hidup semasa dengan Syehk Nawawi al Bantani. Kedua tokoh tersebut terlibat langsung dalam perang Diponogoro ditangkap oleh Belanda, Syekh Mansyur dikejar oleh Belanda dan akhirnya menetap di kampung Cikadueun, Syekh Nawawi kembali ke Mekkah. (Sumber : Buku Data Base Cagar Budaya di Kabupaten Pandeglang, BPCB Banten).