Pada hari Minggu tanggal 6 Agustus 2017 lalu telah datang berkunjung dua orang warga Jepang ke Situs Kepurbakalaan Batujaya. Melalui peterjemahnya, disebutkan bahwa kunjungan mereka adalah dalam rangkaian kerjasama dengan Museum Nasional Indonesia. Warga Jepang yang bernama Keiji Matsunaga adalah seorang akademisi atau peneliti dari Koyasan University yang berada di kota Wakayama, Jepang. Pada kartu namanya tercantum gelar PH.D. dalam bidang Esoteric Buddhist Studies of Culture and Litelature. Menurut keterangan sang peterjemah, Keiji Matsunaga juga seorang Biksu.
Kunjungan ke Museum Situs Kepurbakalaan Batujaya adalah kali yang pertama bagi Keiji Matsunaga. Bersama dengan temannya, ia terlihat begitu antusias melihat koleksi yang ada di dalam museum, namun yang menjadi fokus perhatiannya di museum terlihat pada denah sebaran situs dalam kawasan, pertanyaan akan temuan arca di dlam kawasan, dan sumber-sumber tertulis yang sebagian menjadi koleksi display museum. Rekannya yang perempuan berdasarkan keterangan dari sang peterjemah adalah seorang ahli sanskrit. Oleh sebab itu, ia terlihat begitu tertarik dengan artefak temuan gerabah berupa tablet yang bergambarkan tokoh Sarasvati dan memiliki rangkaian aksara pada sebagian permukaannya. Ia menanyakan apa aksara yang tertulis dan apakah sudah ada yang membahasnya. Sebagai awalan dari pengenalan latar sejarah situs, mereka ingin tahu tentang Tarumanagara dan hubungannya dengan Sunda, serta tokoh Purnawarman dan Sanjaya.
Penulis bersama dua orang orang rekan dari BPCB Banten, yaitu Fajar Satya Burnama, S.S dan Turmudi, M. Hum., memang ditugaskan untuk menjadi guide dalam kunjungan mereka ke Situs Kepurbakalaan Batujaya. Oleh sebab latar belakang kedatangannya yang bertujuan untuk melakukan penelitian, penulis mencoba menanyakan apa sebenarnya yang akan mereka jadikan perhatian dalam penelitiannya. Ternyata mereka memiliki minat untuk melihat adanya pengaruh aliran vajrayana di Indonesia. Vajrayana adalah bagian dari Buddha yang beraliran tantra. Berkembang di masa pertengahan India sebagai salah satu ‘kendaraan’ untuk mencapai pencerahan, selain Hinayana dan Mahayana. Oleh sebab itu selain ke Situs Kepurbakalaan Batujaya, mereka telah mengunjungi sejumlah daerah lain di Indonesia, seperti Padang Lawas, Muara Jambi, Lampung, Jawa Tengah, Jawa timur, dan Bali. Kunjungan ini merupakan kunjungan penjajakan, atau survei awal sebelum mereka membawa tim penelitian ke Indonesia yang direncanakan pada bulan September tahun ini.
Berlanjut dengan kunjungan langsung ke lokasi situs candi, mereka ingin melihat secara langsung dan lebih dekat dengan obyeknya. Tiap kali berada di satu candi, pertanyaan yang diajukan adalah kapan bangunan tersebut didirikan dan arah hadap bangunan. Tergelitik oleh pertanyaan mereka yang selalu berulang tersebut, penulis menanyakan, “Apakah arah hadap bangunan menjadi ciri aliran vajrayana, bila iya, arah hadap apa yang sesuai dengan aliran vajrayana”? Jawabannya adalah arah timur. “Apakah harus tepat timur”? jawabnya, “Ya”. Jika harus timur, maka Batujaya memiliki arah yang tidak tepat ke timur, tapi timur laut. Saat disebutkan bahwa jika Candi Jiwa dilihat dari atas akan terlihat seperti lotus, ia menanyakan, “berapa lotus”? Maksud pertanyaannya adalah berapa jumlah helai mahkota lotusnya. Mereka sendiri sudah memiliki jawabannya dengan menyebut, “delapan” dan mengatakan bahwa bangunan tersebut memiliki stupa di bagian tengah atasnya.
Saat di Candi Blandongan, dugaan yang diberikannya adalah pada keempat sisi tubuh candi terdapat arca, sedangkan di bagian puncaknya terdapat satu arca. Arah masuk bangunan menurutnya adalah barat laut. Di Candi Telagajaya IA atau Serut, keduanya tidak memberikan komentar. Oleh karena keterbatasan waktu, salah satu dari warga Jepang tersebut berencana melanjutkan perjalanan ke Bali dengan pesawat pukul lima sore, maka kunjungannya selesai pada pukul duabelas siang. Kunjungan kedua warga Jepang tersebut di Batujaya tidak lebih dari 3 jam. Meskipun dalam keterbatasan waktu, mereka memilih menempuh perjalanan dari satu candi ke candi lainnya dengan berjalan kaki, bahkan setelah diberitahu bahwa dari Candi Blandongan ke Candi Serut harus melalui pematang sawah yang mungkin basah dan mengakibatkan kaki terperosok ke dalam lumpur pun mereka memilih tetap berjalan kaki daripada naik kendaraan melalui jalan memutar. Mereka terlihat sangat menikmati kunjungannya, saat melihat kaki penulis yang kotor lumpur hingga selutut akibat sempat terbenam di pematang sawah, Keiji Matsunaga tertawa terbahak.
Kunjungan yang singkat, namun memberi pengalaman menarik bagi penulis untuk dapat sedikit mendapat pengetahuan dari jawaban-jawaban sang peneliti Jepang. Kedatangannya di hari libur juga memberikan kesempatan bagi anak penulis yang sengaja penulis ajak untuk dapat melihat langsung kegiatan dan mengenal candi dan lingkungan Situs Batujaya. Sayangnya pendapat anak penulis yang duduk di bangku kelas 3 Sekolah Dasar tentang Candi Batujaya adalah, “kurang menarik”. Dia lebih tertarik pada lingkungan. Mungkin bukan candi dan maknanya yang mesti ditangkap oleh anak seumurannya, tapi pengetahuan bahwa ada candi di Batujaya dimana semua orang dengan latar belakang apapun dapat mengunjunginya, bahkan hanya untuk sekedar bermain pun adalah lebih bermakna. Semoga menjadi kenangan masa kecilnya hingga satu saat dapat lebih memaknai pelestarian cagar budaya, orang-orang yang bekerja dan berusaha dalam bidang tersebut, dan memiliki pemaknaan yang baik akan keberagaman yang dimiliki negerinya. Keberagaman yang hasil kebudayaannya hingga kini menarik minat orang asing.
Ditulis oleh: Bayu Aryanto (staf BPCB Banten)