Masjid Bondan yang berlokasi di Kampung Bondan Barat (dahulu Blok Sapuangin), Desa Bondan, Kecamatan Sukagumiwang, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat, mempunyai kisah yang unik tentang legenda pendiriannya. Penasaran? Yuk disimak.
Alkisah pada zaman dahulu, ada 2 bersaudara dari Majapahit yang bernama Ki Rakinem dan Nyimas Ratu Kencana Wungu. Keduanya adalah pengembara yang sekaligus juga menyiarkan agama Budha. Dalam perjalanannya, mereka menyusuri pegunungan yang terletak di Jawa bagian barat dengan menggunakan gethek (rakit yang terbuat dari bambu), menyusuri Sungai Cimanuk menuju ke muara. Setelah beberapa hari, keduanya beristirahat di suatu tempat yang agak ramai, yang saat ini tempat itu disebut Desa Bondan. Karena kepandaiannya, keduanya dapat diterima oleh masyarakat desa tersebut, bahkan Ki Rakinem menjadi panutan sehingga keduanya tidak mengalami kesulitan dalam menyiarkan agama Budha. Masyarakat menobatkan Ki Rakinem sebagai Ki Geden Bondan yang artinya orang yang menjadi panutan orang banyak.
Dikarenakan belum ada tempat berkumpul untuk bermusyawarah dan mengajarkan agama Budha, maka didirikanlah “cangkop” (pesanggrahan/balai), yang terletak di Desa Bondan Barat bagian utara, tepat di pinggir Sungai Cimanuk yang pada masa itu merupakan jalur lalu lintas air yang banyak dilakui orang. Dengan demikian, diharapkan akan banyak orang singgah di sana dan mengikuti ajaran Budha.
Agar diterima oleh masyarakat sekitar, Ki Geden Bondan menggunakan berbagai cara dalam menyiarkan ajarannya, di antaranya adalah dengan menjadikan Nyi Mas Ratu Kencana Wungu sebagai penari ronggeng dan penari topeng pada saat masyarakat mengadakan upacara adat “Munjungan”, yang merupakan pesta adat menjelang musim hujan dengan menggunakan hiburan Wayang Kulit, Topeng, dan Ronggeng. Karena kecantikannya, Nyi Mas Ratu Kencana Wungu dapat menarik orang untuk menonton. Dengan demikian diharapkan semakin banyak orang yang akan mengikuti ajaran Ki Geden Bondan.
Pada suatu hari, terdapat seseorang yang singgah di Desa Bondan, bernama Syekh Datul Kahfi dengan maksud ingin menyebarkan agama Islam. Dia berpikir bahwa akan sulit melakukannya karena telah banyak penganut Budha di Bondan serta masyarakat desa tersebut telah mempunyai seorang panutan. Walaupun demikian, ia tetap ingin melaksanakan niatnya. Pertama, ia mendekati Nyi Mas Ratu Kencana Wungu pada upacara adat Munjungan yang biasanya diadakan hiburan Tari Topeng dan Ronggeng. Pada perhelatan tersebut dia berpura-pura menjadi penonton sambil berusaha mendekati Nyi Mas Ratu Kencana Wungu dan berusaha merebut hatinya, dan usahanya tersebut tidak sia-sia. Akhirnya mereka menjalin hubungan cinta tanpa sepengetahuan Ki Geden Bondan dan Syekh Datul Kahfi mengajarkan agama Islam kepada Nyi Mas Kencana Wungu, dan akhirnya dia menjadi pemeluk Islam pertama di Bondan. Karena hubungan mereka sudah semakin mendalam, akhirnya mereka merencanakan menikah. Mengetahui rencana tersebut, Ki Geden Bondan menjadi murka, terlebih setelah mengetahui adiknya telah memeluk Islam. Oleh karena itu, Ki Geden Bondan berencana membunuh Syekh Datul Kahfi. Dia mengumpulkan pengikutnya untuk melaksanakan rencananya tersebut, tetapi tidak seorangpun yang dapat melakukannya, bahkan Ki Geden Bondan sendiripun tak sanggup karena kesaktian Syekh Datul Kahfi.
Untuk melanjutkan niat membunuh Syekh Datul Kahfi, Ki Geden Bondan memerintah Syekh Datul Kahfi untuk menyiapkan banteng yang sangat ganas yang berada di hutan yang sangat jauh sebagai korban dalam upacara adat dalam satu malam. Syekh Datul Kahfi menyetujuinya karena dijanjikan boleh menikahi adiknya setelah mendapatkan banteng tersebut.
Sebetulnya Syekh Datul Kahfi merasa sangat berat atas perintah yang diterimanya tersebut. Kemudian dia menyampaikannya kepada Nyi Mas Ratu Kencana Wungu. Karena iba hatinya, Nyi Mas Ratu Kencana Wungu memutuskan menemani calon suaminya dalam melaksanakan perintah Ki Geden Bondan. Dalam perjalanan, mereka berdua merasa ragu, apakah akan melanjutkan tugasnya ataukah lebih baik melarikan diri. Dalam perjalanan itu mereka berdua sesekali beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan kembali. Jam 4 pagi, mereka baru tiba di hutan sebelah timur Desa Bondan. Kemudian mereka beristirahat dan melakukan sholat Subuh. Pada saat beristirahat tersebut, Nyi Mas Ratu Kencana Wungu melihat ada seekor banteng yang sangat besar dan menakutkan mendekati mereka. Setelah menyelesaikan sholat Subuh, mereka bersiap menangkap banteng tersebut. Dengan menggunakan segala kemampuannya, akhirnya banteng tersebut dapat dijinakkan dan ditangkap. Pada saat ini, tempat dimana Syekh Datul Kahfi bersiap-siaga menangkap banteng tersebut dinamakan Blok Siaga. Setelah tertangkap, kemudian banteng tersebut dituntun dengan selendang Nyi Mas ratu Kencana Wungu ke arah selatan. Belum jauh dari tempat tersebut, dia mengucapkan kata “Bongkoran” yang artinya gagal pembunuhan, sehingga pada saat ini, tempat tersebut dinamakan Blok Bongkoran.
Pada pagi harinya, acara Munjungan segera dimulai. Para pengikut Ki Geden Bondan sangat riang gembira dan berteriak-teriak secara riuh rendah. Mereka mengira bahwa Syekh Datul Kahfi telah pergi jauh bahkan dianggap telah meninggal. Sedangkan para pengikut Syech Datul Kahfi berkumpul di suatu tempat untuk “medukuan” (menunggu) kedatangannya dengan rasa cemas. Pada saat ini, tempat tersebut dinamakan Blok Dukuh. Di tengah hiruk-pikuk para pendukung kedua belah pihak, tiba-tiba dari arah timur muncul Nyi Mas Ratu Kencana Wungu menuntun banteng yang telah ditangkapnya bersama Syekh Datul Kahfi dengan sehelai selendang. Melihat kejadian tersebut, Ki Geden Bondan merasa sangat geram dan memutuskan untuk mengadu kesaktian dengan Syekh Datul Kahfi. Selain itu, dia juga menggerakkan pengikutnya untuk menyerang Syekh Datul Kahfi dan pengikutnya sehingga “tangkilan” (peperangan) tidak bisa dihindarkan. Pada saat ini, tempat tersebut dinamakan Blok Tangkil. Pasukan Ki Geden Bondan sangat banyak sehingga pasukan Syekh Datul Kahfi terdesak. Pada saat itu, Syekh Datul Kahfi menemukan “oman” (merang) lalu diciptakannya satu kesatuan tentara dari merang tersebut. Peperanganpun menjadi seimbang. Banyak korban berjatuhan dari kedua belah pihak, terjadi banjir darah yang mengalir kesaluran air hingga berbunyi “grojog-grojog”. Pada saat ini, tempat tersebut dinamakan Grojogan.
Karena terdesak, Ki Geden Bondan mengerahkan segenap kesaktiannya hingga dia bisa berubah wujud menjadi raksasa (triwikrama) tetapi bisa dihadapi oleh Syekh Datul Kahfi hingga dia kembali pada wujudnya semula. Ki Geden Bondan tetap melawan dengan mengeluarkan kesaktian pamungkasnya, yakni menepuk kedua tanganya sebanyak tiga kali dan bermunculan beberapa ekor kera dari sela-sela jarinya. Hal ini juga berhasil dihadapi oleh Syekh Datul Kahfi sehingga Ki Geden Bondan melarikan diri dalam keadaan tidak berwujud sambil meneriakkan kata-kata “lanjutkan cita-citamu”, kemudian dia lenyap. Sejak saat itu, Syekh Datul Kahfi menyiarkan agama Islam di seluruh Bondan dengan leluasa.
Pada suatu malam Syekh Datul Kahfi mengumpulkan para pengikutnya untuk memusyawarahkan bagi berdiri tempat sholat berjamaah. Akhirnya, pada tahun 1414 Masehi, disepakati untuk mendirikan sebuah masjid yang letaknya tidak jauh dari Sungai Cimanuk dan cangkop/balai yang telah dibangun oleh Ki Geden Bondan yaitu di Desa Bondan Barat. Menurut cerita, pembangunan masjid tersebut dapat diselesaikan dalam waktu 1 malam dan keesokan harinya, Syekh Datul Kahfi membuat bedug dari kayu Sidaguri yang bila ditabuh bisa terdengar sampai Cirebon. Sampai sekarang masjid tersebut dinamai “Masjid Darus Sajidin Bondan” (Masjid Kuno Bondan) dan masih difungsikan namun bedugnya telah hilang.