Keberadaan keraton dalam suatu kerajaan memegang peranan penting karena keraton merupakan bangunan inti suatu kerajaan yang berfungsi ganda, yaitu sebagai pusat kerajaan sekaligus sebagai pusat kota. Selain itu, sesuai dengan pandangan kosmologis dan religious magis, keraton dianggap pula sebagai pusat kekuatan gaib yang berpengaruh pada seluruh kehidupan masyarakat.
Keraton juga dipandang sebagai lambang kekuasaan raja dan merupakan tiruan (replika) alam semesta (Behrend, 1982: 170–172). Dengan demikian, apabila raja dianggap sebagai pribadi yang memusatkan kekuatan dan kekuasaannya, maka keraton merupakan institusi pendamping dalam proses pemusatan itu. Keraton tidak hanya dihayati sebagai pusat politik dan budaya, melainkan juga sebagai pusat keramat kerajaan (Heine-Geldern, 1982: 6).
Salah satu keraton di Indonesia yang memegang peranan penting dalam percaturan sejarah masa lalu adalah keraton Surosowan. Keraton ini merupakan pusat dari kerajaan Banten pada abad XVI–awal XIX Masehi. Keraton Surosowan sudah beberapa kali mengalami perubahan. Berdasarkan peta-peta kuno diketahui bahwa pada peta tertua (1596), keraton Surosowan digambarkan masih sangat sederhana berupa satu bangunan rumah dikelilingi pagar dan beberapa bangunan yang terletak di selatan alun-alun. Pata peta 1624, keraton Surosowan sudah digambarkan berupa bangunan berundak dan bertingkat serta dikelilingi rumah-rumah. Gambaran yang hampir sama masih dijumpai pada peta 1726, dimana terlihat bangunan inti keraton memiliki bagian bawah bangunan yang berundak-undak, dan atap yang semakin ke atas makin kecil meruncing, hanya ukuran keraton semakin besar.
Sultan Haji dibantu Belanda. Pada masa pemerintahan Sultan Haji (1672–1687) keraton ini dibangun kembali di atas puing-puing keraton Sultan Ageng Tirtayasa yang sudah rata dengan tanah tahun 1680–1681. Pada tahun 1808 terjadi perselisihan Sultan Banten dengan Belanda. Pada tahun itu juga keraton Surosowan dihancurkan oleh Belanda di bawah pimpinan Daendels.
Penghancuran tersebut berlangsung hingga tahun 1832. Bahan bangunan dari keraton Surosowan banyak diambil untuk digunakan kembali pada bangunan Belanda lainnya. Sehingga, keraton Surosowan yang ada sekarang ini merupakan sisa dari sisa-sisa kehancurannya.
Dalam perjalanan sejarahnya, keraton Surosowan mengalami pasang surut. Keraton ini pertama kali dibangun pada masa Sultan Hasanuddin (1552–1570), tetapi kemudian hancur dan dibuat kembali oleh Sultan Haji tahun 1680–1681. Pada tahun 1808, keraton ini mengalami kehancuran kembali oleh Belanda. Sejak saat itu, keraton Surosowan hanya tinggal puingpuingnya saja. Sekarang, sebagian besar sisa-sisa bangunan masih terpendam di dalam tanah, dan hanya sebagian kecil yang sudah dimunculkan lewat beberapa kali ekskavasi yang dilaksanakan oleh Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, dan Universitas Indonesia sejak 1967. Berdasarkan hasil penelitian tersebut diketahui bahwa sisa-sisa bangunan yang menarik dan masih dapat diamati antara lain tembok keliling, struktur pondasi bangunan, struktur lantai, saluran air, kolam pemandian, dan sisa bangunan lainnya.
Sisa-sisa keraton Suruosowan yang masih dapat diamati di lapangan saat ini adalah pada bagian tengah keraton mulai dari dinding utara hingga dinding selatan. Sisasisa keraton itu berupa struktur bangunan bagian bawah seperti pondasi, lantai, jalan (gang), saluran, dan bangunan air. Dari sisa-sisa tersebut ada yang masih jelas terlihat bentuknya, namun sebagian besar sudah tidak utuh lagi. Walaupun demikian, temuan ini tetap penting untuk dikaji dalam rangka mengungkapkan bentuk, penataan, dan fungsi ruang di dalam keraton Surosowan.
Fase Pembangunan Keaton Surosowan
Keraton Surosowan sudah beberapa kali mengalami perubahan. Berdasarkan peta-peta kuno diketahui bahwa pada peta tertua (1596), keraton Surosowan digambarkan masih sangat sederhana berupa satu bangunan rumah dikelilingi pagar dan beberapa bangunan yang terletak di selatan alun-alun. Pata peta 1624, keraton Surosowan sudah digambarkan berupa bangunan berundak dan bertingkat serta dikelilingi rumah-rumah. Gambaran yang hampir sama masih dijumpai pada peta 1726, dimana terlihat bangunan inti keraton memiliki bagian bawah bangunan yang berundak-undak, dan atap yang semakin ke atas makin kecil meruncing, hanya ukuran keraton semakin besar.
Pada masa pemerintahanSultan Haji (1672–1687) keraton ini dibangun kembali di atas puing-puing keraton Sultan Ageng Tirtayasa yang sudah rata dengan tanah tahun 1680–1681. Pada tahun 1808 terjadi perselisihan Sultan Banten dengan Belanda. Pada tahun itu juga keraton Surosowan dihancurkan oleh Belanda di bawah pimpinan Daendels. Penghancuran tersebut berlangsung hingga tahun 1832. Bahan bangunan dari keraton Surosowan banyak diambil untuk digunakan kembali pada bangunan Belanda lainnya. Sehingga, keraton Surosowan yang ada sekarang ini merupakan sisa dari sisa-sisa kehancurannya.
Sisa-sisa struktur bangunan keraton Surosowan baru berhasil dimunculkan lewat serangkaian penelitian arkeologi pada bagian tengah keraton. Sementara itu, sisi sebelah barat dan timur bagian dalam keraton masih berupa gundukan tanah yang ditumbuhi rerumputan.
Dari struktur dinding juga diketahui terdapat beberapa tipe, umumnya adalah berupa susunan bata utuh sedemikian rupa sehingga dari sisi luar dinding terlihat: lapis pertama berupa susunan sisi tebal-panjang bata (strek), lapis kedua berupa susunan sisi tebal-lebar bata (kop), lapis ketiga kembali sama seperti lapis pertama, lapis keempat sama dengan lapis kedua, dan seterusnya. Sementara itu, dari struktur lantai diketahui bahwa digunakan dua bahan yaitu ubin (untuk ruang yang penting) dan bata (untuk ruang yang kurang penting dan jalan/gang).
Dari analisis struktur bangunan juga diketahui bahwa keraton Surosowan yang tampak sekarang ini juga dibangun secara bertahap. Tahapan itu terlihat pada gejala penambahan ruang, penutupan struktur untuk peninggian lantai.
Dari analisis tata letak bangunan, khususnya struktur bangunan di dalam komplek keraton, diperoleh informasi terdapat: kediaman sultan, bangunan untuk istri dan kerabat keraton, bangunan terbuka dengan tiang dan permadani, Roro Denok (kolam dan bale kambang), kolam Pancuran Mas, Siti luhur, Made bahan, Made mundu, Made gayam, kandang kuda, dan tempat kereta kuda.
Secara keseluruhan, berdasarkan peta tahun 1900, tata letak keraton Surosowan berbeda dengan keraton Cirebon, Yogyakarta dan Surakarta. Jika pada keraton di Cirebon, Yogyakarta, dan Surakarta terbagi atas tiga halaman, maka keraton Surosowan secara garis besar hanya memiliki dua halaman (di luar dan di dalam benteng). Di dalam benteng terdapat (a) istana sultan, (b) kolam Roro Denok, (c) Datulaya, (d) kolam Pancuran Mas, (e) gerbang utara, dan (f) gerbang timur. Sementara, di luar benteng terdapat (a) alun-alun, (b) watu gilang, (c) mesjid Agung Banten, (d) bangunan Tiyamah, (e) srimanganti, (f) meriam Ki Amuk, dan (g) baledana.
Sementara itu, berdasarkan analisis hubungan lokasional dan fungsional diketahui bahwa semua struktur bangunan yang tampak sekarang saling berhubungan dan memiliki fungsinya sendiri-sendiri. Bangunan di dalam benteng sebelah kanan/barat (sektor A) berkaitan dengan bangunan persenjataan dan pertahanan. Bangunan di depan gerbang sebagai bangunan utama ‘kantor’ dan aktivitas sultan dan sebagai bangunan tenaga pendukung atau pelayan kerajaan, serta sebagai tempat kediaman kerabat sultan. Di sebelah timur sektor B, terdapat kediaman sultan dan taman kolam Roro Denok dengan bale kambangnya di depannya. Bangunan bangunan pada sisi selatan keraton berkaitan dengan penampungan air bersih, pemandian, dan bak pengaturan air kotor, serta sebagai bangunan ‘karyawan’ keraton.
Daftar Pustaka
Almaratu, Diniyah. Peranan dan Perkembangan Kearaton Surosowan. UIN Sultan Maulana Hasanudin.
Permana, Cecep Eka. 2004. Fase-Fase Pembangunan Keraton Surosowan_Banten Lama.
Permana, Cecep Eka. 2004. Kajian Arkeologi Mengenai Keraton Surosowan, Banten Lama.
Almaratu, Diniyah. Peranan dan Perkembangan Kearaton Surosowan. UIN Sultan Maulana Hasanudin.