- Pendahuluan
Tradisi megalitik adalah salah satu bentuk ciptaan manusia yang dicirikan oleh benda-benda megalit berupa bangunan dari batu. Istilah megalitik berasal dari kata mega yang berarti besar, dan lithos yang berarti batu. Pendirian bangunan megaltik selalu berdasarkan pada kepercayaan akan adanya hubungan antara yang hidup dan yang sudah meninggal. Kepercayaan ini menganggap bahwa roh seseorang tidak lenyap pada saat orang meninggal. Roh dianggap mempunyai kehidupan di alamnya tersendiri sesudah orang meninggal. Kemudian munculah kepercayaan bahwa roh-roh tersebut masih selalu berhubungan dengan orang yang masih hidup, dan dianggap mempunyai pengaruh yang kuat terhadap kesejahteraan masyarakat.
Pengertian megalit sebagai batu besar dalam kenyataannya tidak selalu diterapkan sesuai dengan arti yang sebenarnya. Namun menurut F.A. Wagner dalam “Indonesia: The Art of an Island Group” menyatakan bahwa bangunan megalitik tidak hanya batu besar akan tetapi batu kecil dan bahkan tanpa monumen dapat dikatakan berciri megalitik apabila benda tersebut dimaksud untuk pemujaan arwah nenek moyang (Wagner, 1962: 72).
Bangunan-bangunan megalitik tersebar hampir diseluruh Kepulauan Indonesia. Bentuk bangunan megalitik pun sangat beragam dan meskipun sebuah bentuk berdiri sendiri ataupun beberpa bentuk merupakan suatu kelompok, maksud utama dari pendirian bangunan tersebut tidak luput dari latar belakang pemujaan roh nenek moyang, dan pengharapan kesejahteraan bagi yang masih hidup, serta kesempurnaan bagi yang sudah meninggal.
Banyaknya temuan bangunan-bangunan megalitik di Indonesia mengundang banyak pendapat dari para ahli mengenai asal masuknya budaya megalitik ke Indonesia. Pada tahun 1913 muncullah W.H.R. River dan G. Elliot Smith (dalam Perry, 1918) yang telah melakukan penelitian tidak hanya di Eropa dan di daerah Mediterania saja, tetapi juga sampai ke kawasan Oceania. Pendapat G. Elliot Smith yang berdasarkan persebaran bangunan-bangunan megalitik, mengungkapkan bahwa kawasan Mediterania mendapat pengaruh tradisi megalitik dari Mesir. Lebih jauh dikatakannya, bahwa ada hubungan langsung antara bangunan-bangunan megalitik di Eropa dan Mediterania dengan penyembah matahari. Ia juga mengatakan bahwa bangunan-bangunan megalitik di kawasan Oceania adalah ciptaan para pendatang penyembah matahari.
Sementara pendapat lain datang dari W.H.R. River yang mengungkapkan bahwa telah terjalin hubungan budaya antara Indonesia dengan Mediterania, dan Polinesia. Dalam persebaran budaya ini, Indonesia memiliki kedudukan yang sangat penting, karena merupakan mata rantai penghubung migrasi dari barat ke kawasan Pasifik yang tidak lain adalah pendiri bangunan megalitik penyembah surya/matahari (Sutaba, 2001: 4).
Selain itu, muncullah spekulasi mengenai asal-usul tradisi megalitik yang dipengaruhi oleh paham hyper-difusionisme dari MacMillan Brown (1907) yang berpendapat, bahwa tradisi megalit ini dibawa oleh orang Kaukasia yang datang melalui Mediterania dan Asia Selatan. Peneliti lainnya W.J. Perry (1918) beranggapan, bahwa bangunan-bangunan megalitik di Indonesia berasal dai Mesir Kuno yang dibawa oleh para keturunan Dewa Matahari (Perry, 1918: 180 – 183 dalam Sutaba, 2001: 4). Ditambahkanya, bahwa para pendatang dari Mesir ini adalah pencari emas yang memperkenalkan pengerjaan batu dan pemujaan kepada matahari kepada penduduk Indonesia. Ternyata pendapat ini tidak dapat diterima oleh para ahli prasejara, karena tidak adanya bukti-bukti yang mendukung pendapat itu (Mulia, 1981 dalam Sutaba, 2001: 5).
Tersebarnya tradisi megalitik hampir di seluruh Indonesia, H.R.von Heine Geldern berpendapat, bahwa tradisi ini dibawa oleh pemakai Bahasa Austronesia yang datang ke Indonesia melalui India dan Malaka. Diduga, bahwa Indonesia yang menerima tradisi megalitik dalam dua gelombang, Yaitu sebagai beikut.
Megalitik Tua yang diwakili antara lain oleh menhir, undak batu, dan patung-patung simbolis-monumental bersama-sama dengan pendukung kebayaan beliung yang diperkirakan berusia 2500 – 1500 Sebelum Masehi dan dimasukkannya dalam masa Neolitik. Megalitik tua ini dibawa oleh para imigran melalui Tonkin menuju Malasyia Barat dan masuk ke Indonenia melalui Sumatera. Dari Sumatera sebagian berlanjut ke Jawa dan terus ke Nusa tenggara, sedangkan sebagian lagi menyebar ke Kalimantan terus ke utara.
Megalitik Muda yang diwakili antara lain oleh peti kubur batu, dolmen semu, sarkofagus, yang berkembang dalam masa yang telah mengenal perunggu dan berusia sekitar awal millenium pertama Sebelum Masehi hingga abad-abad pertama Masehi. (Soejono, ed, 1984: 223 – 224). Megalitik muda ini diperkirakan datang bersama-sama dengan kebudayaan Dongson.
Di Indonesia keberadaaan bengunan-bangunan megalitik sangatlah umum. Sampai saat ini belum dapat dihitung secara pasti jumlahnya. Namun demikian hasil penelitian telah menunjukan sebaran yang sangat luas, baik yang dimulai dari ujung barat (Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan, dan Lampung), kemudian di Jawa (Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur), Sulawesi (Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Selatan), sampai ke daerah di wilayah timur (Bali, Sumba, Sumbawa, Flores, Timor, Sabu, Maluku, dan Papua).
Teradapatnya temuan bangunan-bangunan megalitik tentunya tidak terlepas dari latar belakang kepercayaan pendukungnya. Pada hakekatnya bangunan-bangunan megalitik ini di buat karena adanya konsep kepercayaan adanya kehidupan setelah kematian. Berdasarkan konsep tersebut para pendukung tradisi megalitik melakukan pemujaan kepada nenek moyang.
Pada umumnya dalam melaksanakan pemujaan terhadap nenek moyang, pendukung tradisi megalitik menggunakan suatu media, baik yang berupa bangunan besar maupun tanpa bangunan sama sekali. Bangunan-bangunan megalitik tersebut dapat berupa punden berundak, dolmen, kursi batu, altar batu, menhir, dan arca megalitik.
Arca megalitik dalam hubungannya dengan keperluan manusia, tampaknya hanya mengacu kepada aspek religius. Eratnya arca megalitik dalam aspek religius, dalam hal ini berkaitan dengan pemujaan terhadap arwah. Maka ada beberapa tokoh yang menyebutnya sebagai arca nenek moyang, arca pemujaan, dan arca leluhur. Arca megalitik pada dasarnya dapat terdiri arca manusia dan arca binatang. Maka dari itu perlu ditinjau tentang konsep arca tersebut, karena saat ini terdapat temuan arca megalitik yang berbentuk binatang seperti harimau, kera, gajah dan lain-lain yang secara langsung berkaitan erat dengan tinggalan megalitik lainnya.
Di provinsi Lampung terdapat arca megalitik berupa arca gajah dan arca kerbau yang tepatnya berada di Jl. Air Bakoman, Dusun Batu Bedil, Desa Batu Bedil Hilir, Kecamatan Pulau Panggung, Kabupaten Tanggamus. Temuan arca gajah dan arca kerbau ini berdekatan dengan temuan-temuan batu tegak yang berada di sekitarnya.
- Pembahasan
Kabupaten Tanggamus adalah salah satu kabupaten di Propinsi Lampung, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Kota Agung Pusat. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 2.731,61 km² dan berpenduduk sebanyak 536.613 jiwa dengan kepadatan penduduk 178 jiwa/km². Nama Kabupaten Tanggamus diambil dari nama Gunung Tanggamus yang berdiri tegak tepat di jantung Kabupaten Tanggamus.
Secara geografis Wilayah Kabupaten Tanggamus terletak pada posisi 104°18’ – 105°12’ Bujur Timur dan antara 05°05’ – 05°56’ Lintang Selatan. Kabupaten Tanggamus bagian barat semakin ke utara condong mengikuti lereng Bukit Barisan. Bagian selatan meruncing dan mempunyai sebuah teluk yang besar yaitu Teluk Semangka yang memiliki panjang daerah pantai seluas ± 200 km dan sebagai tempat bermuaranya 2 (dua) sungai besar yaitu Way Sekampung dan Way Semaka. Selain itu wilayah Kabupaten Tanggamus dipengaruhi oleh udara tropikal pantai dan dataran pegunungan dengan temperatur udara yang sejuk dengan rata-rata 28°C.
Kecamatan Pulau Panggung yang merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Tanggamus terdiri dari beberapa desa. Jarak antara satu desa dengan desa lainnya relatif jauh. Secara umum dapat dikatakan merupakan daerah yang berpenduduk jarang. Pemukiman penduduk hanya berada di sepanjang tepi jalan.
Bentang alam daerah berupa pedataran bergelombang. Secara umum ketinggian berkisar antara 300 – 400 meter dari permukaan laut. Lahan selain dimanfaatkan untuk pemukiman kebanyakan berupa kebun, ladang, dan sawah. Sungai yang mengalir di daerah ini antara lain adalah Sungai Ulok Ngaherong beserta anak-anak sungainya dan Sungai Ilahan. Sungai Ulok Ngaherong menyatu dengan Sungai Ilahan. Sungai Ilahan menyatu dengan Way Sekampung.
Di Kecamatan Pulau Panggung terdapat beberapa situs antara lain berada di Desa Gunung Meraksa dan Desa Batu Bedil Hilir, di Desa Gunung Meraksa terdapat tinggalan bangunan megalitik, yaitu adanya sebuah kompleks megalitik yang memiliki sebuah menhir berukuran besar dan tinggi yang oleh masyarakat setempat dinamakan dengan “Batu Bedil”, dinamakan demikian dikarenakan dahulunya sering terdengar adanya bunyi letusan. Menhir Batu Bedil ini memiliki ukuran lebar ± 109 cm dan tinggi ± 220 cm, selain “Batu bedil” pada lokasi tersebut juga banyak ditemukan batu-batu tegak, lumpang batu, altar batu/dolmen, dan batu bergores.
Tidak jauh dari kompleks megalitik Batu Bedil ± 100 meter disebelah barat, terdapat sebuah prasasti yang dinamakan dengan Prasasti Batu Bedil. Prasasti dituliskan pada sebongkah batu berukuran tinggi ± 157 cm dan lebar 72 cm. Prasasti terdiri 10 baris dengan tinggi huruf sekitar ± 5 cm. Tulisan tersebut berada dalam satu bingkai. Pada bagian bawah bingkai terdapat goresan membentuk padma atau bunga teratai. Kondisi huruf sudah aus namun pada beberapa bagian masih bisa terbaca. Pada baris pertama terbaca Namo Bhagawate dan pada baris kesepuluh terbaca Swâhâ. Namo Bhagawate sebagai permulaan dan Swâhâ sebagai penutup memberi dugaan bahwa prasasti itu berkaitan dengan mantra. Bahasa yang digunakan adalah Sansekerta. Prasasti ini tidak berangka tahun. Berdasarkan paleografisnya menunjukkan berasal dari akhir abad ke-9 atau awal abad ke-10 (Soekmono, 1985). Selain temuan prasasti, pada Kompleks Prasasti Batu Bedil juga terdapat beberapa batu-batu tegak dan batu altar.
Sedangkan pada Desa Batu Bedil Hilir yang berjarak ± 2 Km ke arah barat dari lokasi komplek megalitik dan prasasti Batu bedil, terdapat lokasi situs yang oleh masyarakat sekitar dinamakan dengan situs Batu Gajah. Situs ini berada di tengah pemukiman penduduk yang cukup padat dan berada pada lahan datar seluas ± 750 m² dan pada situs ini terdapat dua buah arca batu yang berbentuk seperti gajah dan kerbau. Selain kedua arca tersebut, pada lahan situs ini juga terdapat 13 buah batu tegak.
Arca Batu Gajah merupakan sebuah batu monolit yang berukuran tinggi ± 94 cm, lebar ± 201 cm, dan tebal ± 164 cm, arca Batu Gajah ini berbahan tufa. Pada sisi batu yang menghadap ke selatan terdapat goresan yang membentuk kepala gajah. Kepala gajah digambarkan secara lengkap dengan belalai, gading, mata, dan kuping. Belalai digambarkan menjuntai ke bawah. Pada sisi kiri dan kanan batu tersebut terdapat goresan-goresan yang membentuk badan serta kaki. Arca Batu Gajah secara astronomis berada pada titk koordinat 05° 18’ 07,3” Lintang Selatan dan 104° 40’ 59,0” Bujur Timur.
Sedangkan arca Batu Kerbau berada di sebelah barat Batu Gajah. Batu Kerbau berukuran tinggi ± 100 cm, lebar ± 140 cm, dan tebal ± 135 cm, arca Batu Kerbau ini juga berbahan tufa. Batu Kerbau menghadap ke selatan. Muka digambarkan secara lengkap dengan mulut, hidung dan mata. Goresan pada sisi selatan membentuk kepala kerbau dengan tanduk yang melingkar. Di belakang kepala terdapat tonjolan. Pada bagian ini terdapat dua cekungan masing-masing dengan diameter sekitar ± 5 cm, kedalaman sekitar ± 5 cm. Arca Batu Kerbau secara astronomis berada pada titk koordinat 05° 18’ 07,2” Lintang Selatan dan 104° 40’ 58,8” Bujur Timur.
Selain Batu Gajah dan Batu Kerbau di lahan situs ini juga terdapat sejumlah batu tegak yang tidak menunjukkan adanya pengerjaan. Batu tegak yang terdapat di lokasi situs Batu Gajah berjumlah ± 13 batu.
Temuan arca megalitik yang berbentuk binatang dapat juga ditemukan di daerah lain misalnya di Palembang (Soekmono, 1985: 6) dan di Dataran Tinggi Pasemah (Kusumawati dan Haris Sukendar, 2003). Bentuk-bentuk arca binatang yang ditemukan ada yang hanya bentuk binatang saja dan ada juga disandingkan dengan manusia.
Munculnya pembuatan arca-arca berbentuk binatang dan juga adanya arca binatang bersama dengan manusia, kemungkinan pembuatan arca-arca ini dimaksudkan sebagai suatu simbol penguasaan manusia terhadap alam lingkungan yang ganas atau liar dan merupakan suatu kontak magic. Hal ini seperti yang dikatakan oleh E. A. Kosasih (1995), bahwa penggambaran binatang-binatang pada dinding gua-gua merupakan simbol agar binatang tersebut mudah diburu. Sesuai dengan hal tersebut, maka pembuatan arca-arca binatang dimaksudkan agar binatang tersebut saat berkeliaran di sekitar pemukiman tidak mengganggu manusia baik saat mengerjakan kegiatan sehari-hari ataupun saat melakukan perjalanan (Kusumawati dan Haris Sukendar, 2003: 58).
Pengarcaan dalam bentuk binatang-binatang yang ganas atau satwa-satwa liar mengandung dua aspek, yaitu aspek yang pertama adalah mengacu kepada suatu permohonan untuk memperoleh perlindungan. Sedangkan aspek yang kedua adalah merupakan suatu cetusan cipta, rasa, dan karsa dibidang seni yang berintikan pada aspek lingkungan. Munculnya pahatan-pahatan satwa liar dan satwa hutan lainnya secara langsung atau tidak langsung, mencerminkan suatu kehidupan alam lingkungan yang dihadapi oleh nenek moyang pada masa purba tersebut (Kusumawati dan Haris Sukendar, 2003: 59). Berdasarkan penjelasan diatas, maka dengan ditemukannya arca Gajah dan arca Kerbau di Desa Batu Bedil Hilir, Kecamatan Pulau Panggung, Kabupaten Tanggamus ini, jelas pada saat itu masyarakat Desa Batu Bedil Hilir ini telah mengenal binatang-binatang seperti gajah dan kerbau. Selain itu juga fungsi dan peranan dari pengarcaan binatang tersebut dimaksudkan agar binatang-binatang tersebut dapat dikuasai dan tidak mengganggu masyarakat sekitar.
- Penutup
Arca megalitik berbentuk binatang pada Desa Batu Bedil hilir, Kecamatan Pulau Panggung, Kabupaten Tanggamus adalah arca gajah dan arca kerbau. Selain arca gajah dan arca kerbau pada lokasi ini juga banyak ditemukan bangunan-bangunan megalitik berupa batu tegak, baik yang berada dilahan situs maupun yang berada diluar lahan situs.
Sedangkan maksud dari pengarcaan dalam bentuk binatang-binatang yang ganas atau satwa-satwa liar secara langsung atau tidak langsung, mencerminkan suatu kehidupan alam lingkungan yang dihadapi oleh nenek moyang pada masa purba. Selain itu pengarcaan gajah dan arca kerbau dibuat adalah bertujuan agar binatang tersebut dapat dikuasai dan saat binatang tersebut berkeliaran di sekitar pemukiman tidak mengganggu aktifitas manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Djafar, Hasan dan W. Anwar Falah
1995 “Prasasti Batu dari Sumberhadi Daerah Lampung Tengah (Suatu Informasi)”. Dalam Jurnal Penelitian Balai Arkeologi Bandung No. 1/ April/1995. Bandung: Balai Arkeologi Bandung. Hlm. 1 – 3.
Kusumawati, Ayu dan Haris Sukendar
2003 Megalitik Bumi Pasemah Peranan Serta Fungsinya. Jakarta: Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata, Pusat Penelitian Arkeologi.
Soejono, R. P (ed)
1984 “Jaman Prasejarah”. Sejarah Nasional Indonesia I edisi ke-4. Departeman Pendidikan dan Kebudayaa. Balai Pustaka: Jakarta.
Soekmono, R.
1985 “Kisah Perjalanan ke Sumatra Selatan dan Jambi”. Dalam Satyawati Suleiman et al. Amerta 3. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.