Eksistensi Prasasti Curug Dago saat ini terancam. Hal ini disebabkan karena lokasi prasasti yang diperkirakan berasal dari tahun 1901 ini berada di pinggir aliran sungai Cikapundung dan sekaligus dekat dengan Curug Dago yang arusnya cukup deras. Cipratan air yang berasal dari Curug Dago serta genangan air sungai Cikapundung di waktu-waktu tertentu mengakibatkan degradasi prasasti makin cepat. Hal ini diperparah dengan kondisi air sungai yang tak lagi berkualitas. Pencemaran air sungai Cikapundung memperparah kondisi fisik prasasti yang terbuat dari bahan batu ini.
Kondisi seperti ini tentu saja tidak bisa didiamkan. Harus ada langkah konkrit dan tepat untuk menyelamatkan prasasti tanda kedatangan Raja Siam ini. Sebenarnya sudah dilakukan beberapa usaha pelestarian Prasasti Curug Dago ini. Antara lain pembuatan cungkup pelindung prasasti (BPCB, 1991); perbaikan akses jalan menuju Curug dago (ITB); perbaikan kondisi tebing sungai dengan pembuatan bronjong (1995); pembangunan shelter (Pemprov Jabar, 2003); perbaikan tebing yang longsor (BPCB Banten, 2005); perbaikan cungkup yang rusak (Kerajaan Thailand, 2009); Studi Keterawatan (BPCB Banten, 2011 dan 2012); Studi Rencana Penanganan (BPCB Banten, 2015); dan perkuatan tebing di bawah prasasti (BPCB Banten, 2016).
Mengingat kondisi prasasti yang saat ini makin mengkhawatirkan dan membutuhkan tindakan penyelamatan yang cepat dan efektif maka pada hari Kamis, 14 Maret 2019 BPCB Banten menggelar Forum Group Discussion dengan mengundang pihak-pihak yang dianggap dapat memberikan masukan untuk rencana penyelamatan Prasasti Curug Dago, antara lain Ketua Umum IAAI, Kepala Taman Hutan Raya Ir. Djuanda, beberapa instansi pemerintah daerah, Balar Bandung, BPNB Jabar, Bandung Heritage, Komunitas Aleut, dan peserta lain yang terkait dengan penyelamatan Prasasti Curug Dago.**