You are currently viewing Catatan Sejarah Istana Kepresidenan RI Bogor

Catatan Sejarah Istana Kepresidenan RI Bogor

Salam lestari sobat budaya!

Cagar budaya mana yang sudah dikunjungi minggu ini? Mengenal lebih dekat dengan Istana Bogor yuk.

Istana yang dikenal dengan nama Paleis Buitenzorg pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda ini, merupakan kediaman resmi dari 38 Gubernur Jenderal Belanda dan satu Gubernur Jenderal Inggris. Awal berdirinya Paleis Buitenzorg dilatarbelakangi oleh banyaknya saudagar dan pedagang di Batavia yang mencari tempat peristirahatan yang nyaman untuk melepaskan diri dari kepenatan dan panasnya udara Batavia.

Gubernur Jenderal Gustaff Willem van Imhof telah melakukan survey lokasi hingga ke daerah Cianjur, Jawa Barat. Akhirnya van Imhof menemukan lokasi dengan topografi wilayah yang landai dan beriklim sejuk karena berada di kaki gunung Salak dan gunung Gede. Daerah tersebut bernama Kampung Baru. Kemudian pada tahun 1745, dibuatlah bangunan peristirahatan berlantai tiga lengkap dengan halaman yang luas dan terbuka. Bangunan inilah yang menjadi cikal bakal Istana Bogor.

Konsep awal Paleis Buitenzorg bukan seperti bentuknya sekarang. Gustaff Willem van Imhof merancang dengan sketsanya sendiri, mengadopsi gaya arsitektur Blenheim Palace kediaman Duke of Marlborough di Inggris. Hingga tahun 1750, van Imhof belum bisa menyelesaikan bangunan tersebut.

Istana Bogor tampak utara

Meletusnya perang Banten pada 1750 – 1752 berdampak pada Paleis Buitenzorg sehingga rusak berat. Pemberontakan pasukan Banten di Kampung Baru dipicu oleh kekecewaan rakyat Banten karena daerah Cisadane yang banyak menghasilkan hasil bumi, diserahkan kepada pemerintah Belanda oleh Ratu Syarifah, penguasa Kesultanan Banten pada waktu itu.

Pengganti van Imhof, yakni Yacob Mosell, melanjutkan proses pembangunan Paleis Buitenzorg dengan tetap mempertahankan gaya arsitektur Blenheim Palace. Sejak saat itu, Gubernur Jenderal Yacob Mosell bertempat tinggal di istana tersebut, yakni dari tahun 1750 – 1761.

Gedung induk utama Istana Bogor

Sejalan dengan pergantian beberapa gubernur jenderal, proses pengembangan dan renovasi istana terus dilakukan. Bahkan penambahan kebutuhan fasilitas publik, yakni tempat peribadatan juga dilakukan. Di antaranya adalah gereja Zebaoth yang berada dalam satu kompleks dengan Paleis Buitenzorg, serta rumah sakit yang dibangun pada tahun 1802.

Pada tahun 1808 – 1811, Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels diangkat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Pada saat itu Daendels menambahkan dua bangunan baru di sayap kiri dan kanan mengapit gedung induk, serta gedung induk diubah menjadi dua lantai.

Untuk memperindah halaman istana, pada tahun 1811 Daendels mendatangkan enam pasang rusa totol dari perbatasan India – Nepal. Hingga saat ini rusa yang telah berkembang biak tersebut menjadi ikon Istana Kepresidenan RI Bogor.

Kolam di depan Istana Bogor

Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Sir Thomas Stamford Raffles, renovasi bangunan istana terus dilakukan agar bangunan induk dan lingkungannya menyerupai istana di Inggris. Raffles yang mempunyai minat besar di bidang botani, mengembangkan halaman belakang istana menjadi kebun botani yang sangat luas. Kebun yang dikenal dengan nama “sLands Plantetuin Buitenzorg dibuat dengan meniru model Kew Garden di Inggris dengan bantuan para ahli botani, yakni Mr. James Hooper dan W. Kent yang membangun London’s Kew Garden di Inggris. Kebun raya ini diresmikan pada 18 Mei 1817 oleh C.G.C. Reinwardt, guru besar dan direktur urusan pertanian, kerajinan dan ilmu di Hindia Belanda.

Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Baron van der Capellen tahun 1817 – 1826, pengembangan fasilitas istana terus dilakukan. Penambahan tersebut berupa menara berbentuk dome yang berada di atap tengah gedung induk. Pada masa itu menara tersebut berfungsi sebagai tempat mengibarkan bendera Belanda serta untuk memantau keamanan di sekeliling istana.

Gempa bumi hebat yang melanda Jawa Barat pada 10 Oktober 1834 telah menghancurkan sebagian besar bangunan Paleis Buitenzorg. Pada tahun 1850, yakni pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Albertus Jacob Duijmayer van Twist, sisa-sisa bangunan lama dirobohkan dan dibangun kembali dengan gaya arsitektur Palladio yang popular di Eropa pada awal abad ke-19. Bangunan istana diubah menjadi bangunan berlantai satu mengingat kondisi geografis kota Bogor yang rawan gempa di masa itu.

Selama masa pemerintahan Gubernur Jenderal van Twist, Paleis Buitenzorg hanya berfungsi sebagai tempat peristirahatan. Pada masa itu, seluruh pembangunan hampir selesai yakni dengan dibuatnya dua jembatan lengkung dari kayu yang menghubungkan gedung induk utama dengan gedung induk sayap kanan dan kiri.

Pada tahun 1856 – 1861, yakni pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Charles F.P. de Montanger, akhirnya seluruh bangunan telah diselesaikan hingga ke bentuk yang seperti sekarang.

Sudut tenggara Istana Bogor

Pada tahun 1870, Paleis Buitenzorg secara resmi ditetapkan sebagai kediaman resmi para Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan seluruh aktivitas kegiatan pemerintah kolonial Hindia Belanda berada di istana ini. Selanjutnya pada tahun 1936 – 1942, Gubernur Jenderal Alidius Warmoldus Lambertus Tjarda van Starkenborg-Stachower tercatat sebagai gubernur jenderal Belanda terakhir yang menghuni Paleis Buitenzorg. Hal ini dikarenakan adanya pendudukan Jepang di Indonesia yang membuat Tjarda dengan terpaksa harus keluar dari istana dan menyerahkan Paleis Buitenzorg kepada Jenderal Imamura.

Pada masa pemerintahan Jepang, Paleis Buitenzorg hampir tidak pernah digunakan untuk acara resmi atau seremonial karena beralih fungsi menjadi markas tentara Jepang. Bahkan Jepang memanfaatkan ruang bawah tanah untuk memenjarakan orang-orang Belanda.

Pada akhir tahun 1949, Kerajaan Belanda resmi mengakui kedaulatan Indonesia secara de jure melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag. Akhirnya Paleis Buitenzorg secara resmi diserahkan kepada Pemerintah Republik Indonesia dan berubah nama menjadi Istana Kepresidenan RI Bogor.

Mulai tahun 1950, Istana Kepresidenan RI Bogor mulai digunakan sebagai kediaman, kantor, dan tempat dilakukannya berbagai acara oleh Presiden Soekarno.

 

*dari berbagai sumber