Selain pantainya yang indah, kira-kira kita dapat menemukan apa saja di Anyer? Belum banyak masyarakat yang mengetahui tentang kepurbakalan di daerah Anyer. Oleh karena itu, tulisan ini akan mengajak pembaca berjalan-jalan ke Anyer untuk melihat beberapa tinggalan budaya yang ada di daerah ini.
Situs kubur Anyer Lor
Temuan kepurbakalaan pada masa awal kehidupan di Anyer tidak banyak diketahui. Namun beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa pada salah satu periode perkembangan budaya yang pernah hadir di Banten, yaitu tradisi logam yang dikenal dengan masa paleometalik, tinggalannya ditemukan di Anyer Lor. Peninggalan tradisi logam di Banten ditandai dengan adanya temuan situs kubur Anyer Lor. Pada tahun 1955, H.R Van Heekeren dan Basuki untuk pertama kalinya melakukan penelitian di situs ini. Penelitian tersebut berhasil menemukan rangka manusia dengan posisi jongkok yang ditempatkan di dalam keramik lokal tipe tempayan.
Selain sistem penguburan dalam tempayan, di Situs Anyer Lor juga ditemukan sistem penguburan di luar tempayan. Rangka–rangka yang ditemukan dari sistem penguburan ini berupa rangka orang dewasa dan anak-anak. Pada kedua sistem penguburan tersebut disertai bekal kubur. Bekal kubur yang ditemukan dalam penguburan tempayan berupa priuk kecil (dulang), pedupaan, dan kendi, sedangkan bekal kubur pada penguburan di luar tempayan berupa cawan, periuk kecil, manik-manik kalsedon atau kaca.
Sebagian tinggalan bekal kubur pada kedua sistem penguburan Anyer Lor adalah keramik lokal. Jenis-jenis keramik lokal yang digunakan sebagai bekal kubur terdiri dari bermacam-macam wadah, mangkuk (cawan), periuk, kendi dan pedupaan. Wadah-wadah tersebut dibuat baik dengan tangan maupun dengan roda putar. Selain keramik lokal, di dalam situs kubur Anyer lor ditemukan pula bekal kubur yang terbuat dari bahan logam, yang pada umumnya berbentuk gelang perunggu. Gelang perunggu tersebut dihias dengan pola hias pilin.
Masyarakat Lampung Cikoneng
Hal lain yang menarik di Anyer adalah adanya pemukiman yang dikenal dengan nama masyarakat Lampung Cikoneng. Menurut kisah yang dituturkan secara turun-temurun di pemukiman ini, cikal bakal masyarakat Cikoneng bermula pada masa pemerintahan Maulana Hasanuddin (1552-1570). Diceritakan bahwa kedatangan orang-orang Lampung ke Banten, khususnya di Desa Cikoneng, dilatarbelakangi oleh permintaan dari Maulana Hasanuddin kepada kerajaan Tulang Bawang di Lampung untuk membantu menyebarkan ajaran agama Islam. Kerajaan Tulang Bawang mengirim utusannya sebanyak 40 utusan untuk memenuhi permintaan itu. Selanjutnya keempat puluh utusan itu menetap di Desa Cikoneng.Tokoh-tokoh yang ikut memimpin masyarakat Cikoneng tersebut adalah Minak Sangaji, Tulak Saka, Buyut Kuning dan seorang Hulubalang.
Seiring dengan berjalannya waktu, Desa Cikoneng semakin berkembang. Keletakannya yang berada di tepi pantai Selat Sunda yang ramai dilalui kapal, menyebabkan wilayah Cikoneng menjadi wilayah starategis dalam jalur perdagangan dan militer. Untuk mengamankan jalur ekonomi dan militernya yang melalui jalur pelayaran vital, yaitu Selat Sunda, pemerintah kolonial membangun mercusuar yang ditempatkan di atas Tanjung Cikoneng.
Mercusuar yang dibangun pertamakali di wilayah Cikoneng kemudian hancur bersamaan dengan meletusnya Gunung Krakatau pada tahun 1883. Bangunan mercusuar yang dibangun tepat di tepi pantai Anyer Kidul yang terlihat saat ini, hanyalah bagian pondasi bangunannya saja.
Akibat dari peristiwa bencana alam tersebut seluruh kehidupan di sekitar pantai Anyer hancur dan ditinggalkan oleh penduduknya. Setelah bencana alam tersebut, pemerintahan kolonial Belanda berusaha memulihkan kehidupan di sekitar Pantai Anyer dengan melakukan beberapa pembangunan, antara lain pembangunan kembali mercusuar yang sangat penting keberadaannya bagi pengamanan jalur pelayaran Selat Sunda.
Dampak bencana letusan Gunung Krakatau tidak hanya menghancurkan mercusuar Anyer. Menurut tradisi yang berkembang di Cikoneng, dampak letusan Gunung Krakatau juga menghancurkan hampir seluruh sendi kehidupan di sepanjang pantai. Namun demikian, bencana tersebut tidak menyebabkan bangunan masjid Darul Falah menjadi hancur. Bangunan masjid ini tetap berdiri kokoh dan hanya mengalami kerusakan kecil, sehingga ketika kondisi lingkungan alam Anyer termasuk Cikoneng sudah kembali normal, masyarakat Cikoneng yang selamat, kembali menempati lahan tempat tinggal mereka dengan berpatokan pada keberadaan bangunan masjid Cikoneng yang masih berdiri.
Bagaimana? Gambaran tentang tinggalan budaya di Anyer tidak kalah menariknya bukan? Jangan sampai tinggalan budaya ini kita abaikan. Seperti kata pepatah, “Tak kenal maka tak sayang” untuk itu kita wajib mengenali agar kita dapat mencintai dan melestarikannya.