Pipisan (batu landasan) dan gandik (batu penggiling) biasanya ditemukan dalam satu konteks. Dalam naskah Jawa Kuna Sumanasantaka, terdapat cuplikan yang berbunyi: “huwus asaji pari rwang sanggar pat saha pipisan” yang dapat diartikan sebagai berikut: “selesai sudah dikerjakan padi selumbung dengan empat pipisan”.
Dahulu pada masa klasik (pengaruh Hindu – Budha), pipisan dan gandik dipakai untuk melumatkan biji-bijian, rempah-rempah atau dedaunan yang digunakan untuk obat tradisional maupun bumbu masak. Di Candi Borobudur terdapat salah satu relief yang menggambarkan orang sedang meramu jamu menggunakan pipisan dan gandik.
Di sepanjang pantai timur Pulau Sumatera, di antara tumpukan sampah dapur (kjokkenmoddinger) setinggi 7 meter yang diteliti oleh van Stein Callenfels, ditemukan batu penggiling beserta landasannya yang digunakan untuk menghaluskan cat merah. Diperkirakan cat merah (oker) tersebut digunakan untuk upacara keagamaan.