Banyak minyak atsiri memiliki aktivitas biosida, seperti antijamur, antibakteri, dan insektisida. Aktivitas
biosida tersebut tergantung pada senyawa aktif dalam minyak dan spesies mikrobanya. Penelitian tentang penerapan minyak atsiri sebagai biosida banyak dikembangkan di berbagai bidang. Praktik kehidupan tradisional untuk pengawetan bahan menggunakan produk alami yang mengandung minyal atsiri di temukan di banyak wilayah di Indonesia. Di Jawa, larasetu (dikenal sebagai akar wangi) dimasukkan ke dalam lemari kain untuk melindungi kain dari serangga dan jamur. Ekstrak cengkeh (yang dicampur dengan tembakau) biasa digunkan sebagai larutan pembersih dan pelindung untuk rumah kayu tradisional di Jawa Tengah bagian utara. Masih banyak contoh lain dari penggunaan produk tradisional untuk memelihara peralatan sehari-hari. Tujuan dari artikel ini adalah untuk menggali potensi minyak atsiri Indonesia sebagai bahan konservan yang unggul.
Minyak atsiri dari bahan alami memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan sebagai bahan pelestarian artefak, walaupun masih dibutuhkan penelitian yang intensif. Hasil dari beberapa penelitian yang dilakukan di Laboratorium Balai Konservasi Borobudur menunjukkan prospek yang menjanjikan. Minyak daun cengkeh secara ilmiah terbukti sebagai antijamur dan antirayap pada konsevasi artefak kayu (Cahyandaru, 2010). Minyak lada dan minyak sereh juga efektif untuk konservasi artefak kayu, dimana sifat antijamur dan antirayapnya telah terbukti secara ilmiah (Haldoko, 2014). Minyak atsiri sereh (Cymbopogon nardus L) memiliki akti?tas positif untuk mematikan jamur yang tumbuh pada batu andesit (Riyanto et al., 2016). Penelitian lain masih berlangsung untuk antijamurkerak (lichene) menggunakan minyak cengkeh, minyak pala, dan minyak kunyit.
Untuk artikel lebih lengkapnya silahkan unduh disini