Cagar Budaya Sebagai Mitra Pendidikan (3)
Candi Borobudur merupakan bangunan bercorak agama Buddha dengan ukuran massif terbuat dari batu andesit yang didirikan oleh raja Samaratungga pada abad kedelapan pada masa kerajaan Mataram Kuno dengan tinggi 42 meter tanpa chattra dengan volume batu berjumlah 55.000 meter kubik. Dalam sejarahnya, Candi Borobudur sudah ditinggalkan cukup lama dengan alasan yang hingga saat ini masih menjadi misteri, namun terdapat beberapa catatan yang mengambarkan keberadaan Candi Borobudur.
Pada masa Majapahit dalam naskah kuno Negarakrtagama ada hanya menyebutkan biara di “Budur”, sedangkan naskah Babad Tanah Jawi hanya menyebutkan “redi Borobudur” sebagai tempat ditangkapnya Mas Dana yang memberontak tahun 1709 kepada raja Mataram, Pakubuwono I. Sementara itu dalam Babad Mataram tahun 1758 hanya ada keterangan bahwa pangeran dari Yogyakarta, Monconagoro, berkunjung ke Borobudur dan menyaksikan “arca terkurung dalam sangkar”, yang dapat kita tafsirkan sebagai arca yang terdapat di Candi Borobudur. Sekalipun dilarang, pangeran yang memaksakan berkunjung ke Borobudur itu mendadak jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia (Mundarjito: 2011).
Baru setelah Raffles memerintahkan, H.C. Cornelius melaksanakan dengan memerintah masyarakat lokal untuk membersihkannya membuka gundukan tanah tersebut pada 1814, Borobudur kembali terungkap setelah berabad-abad terbengkalai dengan kondisi yang memprihatinkan. Pada tahun 1907-1911, Candi Borobudur dipugar untuk pertama kalinya oleh Belanda, diketuai Th. van Erp.
Pemugaran tersebut menyelamatkan Candi Borobudur dari keruntuhan setelah dibuka, lalu pada pemugaran kedua berlangsung selama 10 tahun dari 1973-1983 atas bantuan UNESCO yang diketuai oleh R. Soekmono dengan pengawasan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Daoed Joesoef. Candi Borobudur dipugar dengan harapan dapat bertahan 1000 tahun lagi.
Dengan mengunjungi kawasan Borobudur, kita diajak untuk menjelajahi masa lalu dimana nenek moyang kita hidup beberapa abad lalu dengan mengamati relief yang terpahat pada dinding candi, belajar nilai-nilai kearifan, belajar tentang perbuatan baik-buruk, sebab-akibat (karma) dalam pandangan masyarakat saat pada masa itu di relief Karmawibangga, mempelajari kehidupan sehari-hari, peralatan yang digunakan dan struktur sosial dari masyarakat Jawa kuno, bahkan dalam relief tersebut juga digambarkan kebudayaan maritim ditengah-tengah masyarakat agraris nusantara dengan keberadaan relief kapal.