Claire Holt adalah seorang jurnalis, antropolog dan sejarawan kesenian dari Amerika Serikat keturunan Latvia. Dia tinggal di Indonesia antara tahun 1930 sampai dengan awal dekade 1940an. Dalam perjalanannya dia juga meneliti tentang Borobudur dan tidak lupa mendokumentasikan candi kebanggaan masyarakat Indonesia tersebut.
Terlahir dengan nama asli Claire Bagg pada tahun 1901 di Latvia, dia sempat pindah ke Rusia sebelum tiba di Amerika Serikat pada tahun 1921. Sempat bekerja sebagai jurnalis tari untuk The New York World, Holt memutuskan untuk pindah ke Indonesia pada tahun 1930 terutama untuk mempelajari kesenian tari dari berbagai daerah di Indonesia. Selama lebih dari satu dekade, dia mengunjungi pulau Jawa, Sumatra, Bali, Sulawesi, dan Nias. Dia berhasil mengumpulkan sekitar 9.000 lembar foto, 3.500 klise negatif dan beberapa rol film berukuran 16 mm. Sebagian besar koleksi tersebut saat ini dimiliki oleh NewYork Public Library dan Cornell University Library.
Ketika berada di Indonesia, dia kemudian tidak hanya tertarik dengan seni tari tetapi juga seni lain seperti seni rupa. Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh lingkungan pergaulannya dimana dia terkenal dekat dengan W.F. Stutterheim, seorang arkeolog dari Belanda yang saat itu menjabat sebagai Kepala Jawatan Purbakala Hindia Belanda, dan Walter Spies, seorang pelukis dan etnomusikolog dari Jerman. Dikarenakan meletusnya Perang Dunia II, dia memutuskan untuk kembali ke Amerika Serikat dan akhirnya bergabung menjadi asisten peneliti di Universitas Cornell, New York pada tahun 1957. Dia kemudian menulis pengamatan dan tinjauan seni di Indonesia yang diterbitkan dalam buku berjudul Art in Indonesia: Continuities and Changes pada tahun 1967.
Buku tersebut juga membahas Candi Borobudur yang dikatakannya merupakan perkembangan dari seni Greco-Buddhist yang pertama muncul di daerah Gandhara (sekarang bagian dari Afghanistan). Terpengaruh oleh pandangan dari Stutterheim, Holt juga menganggap bahwa Borobudur merupakan contoh adaptasi dan transformasi dari seni Helenistik yang berkembang melalui Buddhisme di Asia. Perkembangan seni ini kemudian menemukan bentuknya yang unik dan istimewa di Jawa, terutama melalui Borobudur yang dianggapnya lebih halus apabila dibandingkan dengan seni rupa di India.