Kondisi Candi Borobudur semakin mengkhawatirkan semenjak awal dekade 1960an. Hal ini membuat kegiatan penyelamatan dan pemugaran menjadi prioritas utama pemerintah Indonesia. Setelah sempat terhenti karena peristiwa tahun 1965, pemerintah mulai serius menangani kerusakan Candi dengan masuknya Proyek Restorasi Candi Borobudur pada program Pelita mulai tahun 1969. Selain itu, pemerintah juga rajin melakukan kampanye kepada dunia internasional mengabarkan perlunya penyelamatan Borobudur.
Gaung pun bersambut, UNESCO secara resmi terlibat dalam pemugaran Borobudur. Pada tahun 1973 berganti nama menjadi Proyek Pemugaran Candi Borobudur. Dalam sambutan pada upacara pemugaran Candi Borobudur pada tanggal 10 Agustus 1973, Soeharto menyampaikan bahwa tidak perlu mempersoalkan pemugaran yang membutuhkan biaya besar. Meskipun pada saat itu Indonesia juga sedang berjuang membangun perekonomiannya. Secara tegas, beliau mengatakan bahwa “kita sadar bahwa untuk menyelamatkan suatu warisan masa lampau yang tak ternilai harganya, tidaklah pantas kita menghitung-hitung untung rugi.”
Setelah berjalan lebih dari 10 tahun, pelaksanaan pemugaran Candi Borobudur secara resmi berakhir pada tanggal 23 Februari 1983. Sebuah prestasi yang patut kita banggakan karena pemugaran Borobudur menjadi periode penting bagi perkembangan ilmu konservasi cagar budaya. Mengenalkan teori/konsep dan teknis konservasi terbaru, serta teknologi pada saat itu. Mengimplementasikan pendekatan multidisiplin yang melibatkan berbagai disiplin ilmu, seperti arkeologi, arsitektur, kimia, biologi, teknik sipil, geodesi dan geologi. Pemugaran Candi Borobudur merupakan proyek pertama yang menggunakan teknik modern untuk pelestarian monumen. Fotografi udara, survei fotogrammetri sebelum pembongkaran batu, dan penggunaan komputer dalam perencanaan operasi, merupakan langkah-langkah baru dalam pelestarian cagar budaya. Pencapaian ini kemudian terdokumentasi dengan baik dalam dalam arsip Borobudur Conservation Archives (mow.borobudurpedia.id).