Semarakkan Pekan Pendidikan Jogja, Vredeburg Gelar Seminar Jaringan Ulama Pada Masa Revolusi Fisik

Upaya mempertahankan kemerdekaan pada masa revolusi fisik di Yogyakarta tidak hanya menjadi tanggung jawab para Tentara Nasional Indonesia, namun juga seluruh lapisan masyarakat, tak terkeculi kaum ulama dan pemuka agama Islam. Selain terlibat langsung dalam pertempuran, kaum ulama juga berperan penting dalam menggerakkan masyarakat untuk berperang melawan Belanda. Diskusi ini mengemuka dalam acara Seminar Daring bertemakan ‘Jaringan Ulama pada Masa Revolusi Fisik di Yogyakarta’, yang diselenggarakan oleh Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta (04/05). Acara ini diselenggarakan dalam rangka menyemarakkan Pekan Pendidikan Jogja Ke 4 yang jatuh pada 2-8 Mei 2021. Hadir sebagai narasumber Dr. Ahmad Athoillah dan Ghifari Yuristiadhi Masyahari Makhasi, M.A., M.M, dengan dimoderatori oleh Jauhari Chusbiantoro, MA., Pamong Budaya Ahli Muda Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta. Turut hadir memberikan sambutan, Kepala Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta, Drs. Suharja. 

Dalam sambutannya Kepala Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta mengungkapkan bahwa para generasi muda haruslah mengetahui jati dirinya dengan memahami sejarah perjuangan bangsanya. Sehingga dapat mengambil hikmah pelajaran di masa lalu, agar lebih bijak menatap masa depan. Museum dalam hal ini memiliki peran strategis dalam pembangunan manusia dan kebudayaaan untuk menciptakan SDM yang berkarakter, unggul dan berdaya saing. 

Sementara itu, Dr. Ahmad Athoillah memaparkan tentang pengaruh para ‘Ulama Koloni Jawa’ bagi Perlawanan Kolonialisme. Ulama koloni jawa ini merupakan para pelajar dari Jawa yang menunaikan ibadah haji, belajar agama, kemudian bermukim di Mekkah. Mereka inilah yang kemudian menjadi rujukan para santri dari Nusantara, baik yang berhaji maupun belajar agama pada abad ke-19 di Makkah. Para murid dari ‘Ulama Koloni Jawa’ itu kemudian pulang Nusantara, memilih jalur dakwahnya di bawah rezim kolonial Belanda dengan mengajar agama dan mempelopori berdirinya organisasi pergerakan Islam yang terus berkembang sampai saat revolusi.

“Maka jaringan ‘Ulama Koloni Jawa’ ini membawa pengaruh penting pada aktor-aktor pembuka dan penjaga gerbang kemerdekaan Indonesia”, ungkap Ahmad Athoillah.

Penulis buku ‘KH. Ali Maksum Ulama Pesantren dan NU’ ini menjelaskan bahwa Para ulama dari kalangan tradisional dan modern ini, terus mendistribusikan ‘pan-islamisme’ terutama konsep jihad kebangsaan (nasionalismenya) sampai revolusi kemerdekaan. Mereka umumnya kalangan ulama dari perkumpulan pergerakan Islam yang sejak awal abad ke-20, seperti Jamiat Kheir, al-Irsyad, Sarekat Islam, Muhammadiyah, NU, juga Masyumi, dan lainnya. Periode pendudukan Jepang di Indonesia, ketika mereka mendapatkan ruang penting dalam pendidikan paramiliter, maka kemudian lahirlah ‘barisan’ atau ‘laskar’ Islam. 

Sedangkan Ghifari Yuristiadhi Masyahari Makhasi, M.A., M.M dalam paparannya menyampaikan tentang jaringan ulama Muhammadiyah di Masa Revolusi Fisik (1945-1949). Ghifari menjelaskan bahwa Muhammadiyah sejak berdirinya memilih kooperatif dengan pemerintah yang berkuasa. Namun demikian, Hizbul Wathan (HW) yang merupakan Organisasi Otonom Muhammadiyah yang bergerak dalam Kepemanduan, merupakan padvinder Muhammadiyah yang menanamkan kedisiplinan dan bela negara secara soft. Konon nama HW terinspirasi dari Partai Wathan di Mesir yang anti-kolonialisme. 

Dalam perjalanannya, Muhammadiyah pernah menyerukan amanat Jihad yang diterbitkan oleh Surat Kabar Boelan Sabit pada 15 Juni 1946. Kemudian ketika Belanda melakukan Agresi Militer I Tahun 1947, para ulama Muhammadiyah berkumpul dan menetapkan pembentukan Askar Perang Sabil (APS) dan Markas Ulama Askar Perang Sabil (MUAPS) yang merupakan gabungan dari bekas laskar Hizbullah dan Sabilillah. Askar Perang Sabil inipun tak hanya berkiprah dalam Agresi Militer I, namun juga Agresi Militer II, dan Serangan Umum 1 Maret 1949. 

Penulis : Lilik Purwanti  (Pamong Budaya Pertama)