Diorama II Menampilkan adegan peristiwa sejarah sejak Proklamasi Kemerdekaan RI tahun 1945 sampai dengan meletusnya Agresi Militer Belanda I tahun 1947. Salah satu adegan dome pertama pada Diorama II adalah Diorama adegan Sri Sultan Hamengku Buwono IX sedang memimpin rapat yang dihadiri oleh para pemimpin berbagai kelompok pemuda di Kepatihan Yogyakarta Berlangsung di Gedung Wilis, Kepatihan, Yogyakarta pada tanggal 19 Agustus 1945.
Pada tanggal 17 Agustus 1945, jam 10.00 di kediaman Bung Karno Jl. Pegangsaan Timur 56 Jakarta, telah diproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia oleh Bung Karno dan Bung Hatta atas nama Bangsa Indonesia. Setelah naskah proklamasi dibacakan, selanjutnya dikibarkan bendera Merah Putih, oleh Latief Hendraningrat dan Suhud Martokusumo diiringi dengan lagu Indonesia Raya. Dengan demikian tercapailah cita-cita Indonesia untuk merdeka.
Berkat jasa para pemuda nasionalis antara lain Pengulu Lubis, Sjahrudin, Rachmat Nasution, Asa Bagfagih, Sugimin (markonis), dan Wua (markonis) yang bekerja sama dengan para pemuda yang bermarkas di Menteng 31, berita tentang Proklamasi tersebut dapat disiarkan ke penjuru tanah air ketika karyawan kantor berita Domei Jakarta istirahat makan siang (Tashadi, dkk. 1986-1987 : 52).
Berita Proklamasi yang disiarkan oleh Kantor Berita Domei Pusat Jakarta dapat diterima oleh Kantor Berita Domei Cabang Yogyakarta pada tanggal 17 Agustus 1945 siang hari. Semula akan segera disebarluaskan ke seluruh rakyat Yogyakarta tetapi dilarang oleh pihak Jepang. Akhirnya berita tersebut hanya disebarluaskan dari mulut ke mulut. Kebetulan hari itu adalah hari Jum’at. Sehingga masjid-masjid di Yogyakarta besar peranannya dalam penyebarluasan berita proklamasi tersebut. Melalui khotbah-khotbah Jum’at berita proklamasi dapat segera tersebar ke penjuru kota Yogyakarta. Masjid-masjid tersebut antara lain Mesjid Agung Kauman Yogyakarta (sebelah barat Alun-Alun Utara Yogyakarta) dan Masjid Paku Alaman.
Akan tetapi waktu itu sebagian besar rakyat masih bingung. Disaat proklamasi telah berkumandang namun pada kenyataannya tentara Jepang masih berkuasa. Demikian pula Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai panutan, masih tetap diam. Keragu-raguan itu akhirnya lenyap setelah Harian Sinar Matahari yang terbit pada tanggal 19 Agustus 1945 memuat tentang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Bersamaan dengan berita Proklamasi Kemerdekaan tersebut dimuat pula teks UUD 1945.
Siang itu Sri Sultan Hamengku Buwono IX segera bertindak mantap. Raja Yogyakarta tersebut segera mengirim telegram untuk mengucapkan selamat kepada Ir. Soekarno dan Drs. M. Hatta atas terpilihnya sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Sikap Sultan ini segera ditanggapi oleh Ir. Soekarno dengan membuat Piagam Penetapan Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat. Meski dikeluarkan tanggal 19 Agustus 1945, tetapi baru disampaikan pada tanggal 6 September 1945, satu hari setelah Sultan mengeluarkan amanat 5 September 1945. Piagam tersebut dibawa oleh Mr. Sartono dan Mr. AA. Maramis.
Pada tanggal 19 Agustus 1945, pukul 10.00 WIB Sultan mengundang kelompok-kelompok pemuda untuk mengadakan pertemuan dengan mereka. Pertemuan dilaksanakan di Gedung Wilis, Bangsal Kepatihan, Yogyakarta. Hadir dalam pertemuan itu wakil kelompok pemuda dari golongan agama, nasionalis, kepanduan dan keturunan Cina yang jumlahnya kurang lebih 100 orang. Pertemuan berlangsung kurang lebih setengah jam. Pidato Sultan dalam pertemuan tersebut antara lain :
“Kita telah beratus tahun dijajah bangsa lain. Maka selama itu perasan kita tertekan dan sekarang kita merdeka. Tentu perasaan yang lepas dari tekanan akan melonjak. Melonjaknya ini yang harus kita jaga. Biarlah melonjak setinggi-tingginya, sepuas-puasnya. Akan tetapi jangan sampai menyerempet-nyerempet yang tidak perlu yang bisa menimbulkan kerugian. Menurut sejarah, di mana terjadi perubahan besar dan mendadak seperti yang terjadi di tanah air kita sekarang, pemuda senantiasa memegang peranan penting. Oleh karena itu saudara-saudara saya minta menjaga keamanan masyarakat, baik di kampung-kampung, di perusahaan-perushaan, di toko-toko dan lain-lain jangan sampai terjadi kerusuhan. Kalau terjadi sesuatu laporkan kepada saya. Dan bertindak sebagai wakil saya dalam hubungannya dengan saudara-saudara adalah Pangeran Bintoro.”
Selanjutnya Sri Sultan Hamengku Buwono IX juga menyampaikan kata sambutan yang dimuat dalam Harian Sinar Matahari tanggal 20 Agustus 1945, yang berisi antara lain menghimbau agar seluruh lapisan masyarakat bersatu padu bahu-membahu untuk rela berkorban demi kepentingan bersama menjaga, memelihara, membela kemerdekaan nusa dan bangsa. Pada tanggal 20 Agustus 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dalam kapasitasnya sebagai Ketua Badan Kebaktian Rakyat Yogyakarta (Yogyakarta Koci Hokokai), kembali mengirim telegram yang ditujukan kepada Ir. Soekarno dan Drs. M. Hatta. Telegram itu menegaskan bahwa Yogyakarta sanggup berdiri di belakang kepemimpinan Ir. Soekarno dan Drs. M. Hatta. Dan Sultan akan bertanggung jawab kepada Presiden. Demikian pula Sri Paku Alam VIII.
Setelah memperhatikan keinginan rakyat dan atas persetujuan KNID maka Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII segera mengeluarkan amanat tanggal 5 September 1945 yang menyebutkan bahwa Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat dan Negeri Paku Alaman, yang keduanya bersifat kerajaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia. Dan perhubungan antara kedua daerah tersebut dengan pemerintah pusat bersifat langsung dan kedua penguasanya bertanggungjawab secara langsung terhadap Presiden.
Sumber : Buku Panduan Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta