You are currently viewing Diorama Perundingan Siasat Perlawanan Pangeran Diponegoro –Diorama I Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta

Diorama Perundingan Siasat Perlawanan Pangeran Diponegoro –Diorama I Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta

Diorama I menampilkan adegan peristiwa sejarah sejak Perang Diponegoro (1825-1830) sampai dengan masa Penjajahan Jepang (1942-1945). Salah satu adegan diorama tersebut adalah Adegan Pangeran Diponegoro, bersama dengan Pangeran Mangkubumi, Pangeran Angabei Jayakusumo, Alibasah Sentot Prawiradirja dan Kyai Maja mengatur siasat perlawanan tehadap Belanda, berlokasi di Gua Selarong di Dusun Kembang Putihan, Desa Guwosari Kecamatan Pajangan, Bantul, Juli 1825.

Sejarah singkat dari adegan tersebut, Pada tanggal 21 Juli 1825, pasukan  Belanda yang dipimpin oleh Asisten Residen, Chevallier mengepung dalem Tegalreja untuk menangkap Pangeran Diponegoro. Dalam peristiwa itu Pangeran Diponegara lolos dan mundur ke Selarong. Selarong merupakan sebuah di kaki bukit kapur, berjarak kurang lebih enam pal (± 9 km) dari Kota Yogyakarta. Ditengah desa mengalir sungai Bedog (anak Sungai Progo) yang membelah desa menjadi Selarong Barat dan Selarong Timur (Djamhari, 2004 : 44).

Setelah berita tentang Peristiwa Tegalreja itu sampai di istana banyak kaum bangsawan  meninggalkan  istana. Mereka ini adalah anak cucu Sultan Hamengkubuwana I, II dan III. Jumlah mereka  tidak kurang dari 77 orang ditambah seluruh keluarga dan pengikut-pengikutnya. Mereka pergi menggabungkan diri dengan Pangeran Diponegoro di Selarong. Mereka membentuk pasukan yang direkrut dari anggota keluarga mereka beserta semua pengikut, termasuk rakyat  di tanah jabatan mereka (Hatmosuprobo, 1978/1979 : 116).

Pada akhir bulan Juli 1825, di Selarong  telah berkumpul beberapa orang bangsawan  Yogyakarta antara lain :  Pangeran Mangkubumi, Pangeran Adinegara, Pangeran Panular, Adiwinata Suryadipura, Blitar, Kyai Maja, Pangeran Rangga, Ngabehi Mangunharjo, dan Pangeran Surenglaga (Djamhari, 2004 : 22).

Selanjutnya Pangeran Diponegoro memerintahkan Jayamenggala, Bahuyuda dan Hanggawikrama untuk memobilisasi penduduk desa di sekitar Selarong  dan bersiap melakukan perang. Ia juga membuat  perencanaan strategis dan langkah-langkah taktis untuk memastikan sasaran yang akan diserang (Djamhari, 2004 : 43-44).  Pada tanggal 31 Juli 1825 dari Selarong Pangeran Diponegoro  dan Mangkubumi menulis surat kepada masyarakat Kedu agar bersiap melakukan perang. Dalam surat tersebut dikatakan bahwa sudah saatnya wilayah Kedu kembali ke pangkuan Kasultanan Yogyakarta setelah sejak tahun 1812 dirampas oleh Belanda (Djamhari, 2004 : 61-62).

Di Selarong dibentuk beberapa batalyon yang dipimpin oleh Pangeran Angabei Jayakusuma, Pangeran Praboe Wiramenggala dan Sentot Prawiradirja. Masing-masing  pasukan memiliki pakaian seragam dan atribut  yang berbeda, sehingga dapat dikenali  kesatuannya secara jelas. Sepanjang bulan Juli 1825 hampir seluruh pinggiran kota berhasil diduduki  oleh pengikut Pangeran Diponegoro (Djamhari, 2004 : 48).

Di dalam markas besar Pangeran Diponegoro, dipimpin oleh suatu staf yang diketuai oleh Pangeran Diponegoro. Anggota staf itu ialah Pangeran Mangkubumi, Pangeran Angabei Jayakusumo, Alibasah Sentot Prawiradirja dan Kyai Maja. Pangeran Mangkubumi sebagai anggota yang tertua berkedudukan sebagai penasehat dan sebagai pengurus rumah tangga. Pangeran Angabei (putra Sultan Hamengku Buwana II), memegang peranan sebagai panglima pengatur siasat dan penasehat di medan perang. Alibasah Sentot Prawiradirja yang merupakan putra Raden Rangga Prawiradirja III (1801-1820) seorang Bupati Wedana Mancanegara, berkedudukan sebagai panglima pasukan di medan perang. Alibasah Sentot  yang sejak kecil dididik di istana Yogyakarta, ketika pecah Perang Diponegoro segera meninggalkan istana dan turut bergagung dengan Pangeran Diponegoro di Selarong.  Selanjutnya Kyai Maja, seorang kyai yang berasal dari desa Maja sebelah utara kota Surakarta, berkedudukan sebagai penasehat dan bimbingan rohani pasukan Pangeran Diponegoro (Hatmosuprobo, 1978-1979 : 119).

Kurang lebih tiga minggu setelah Dalem Tegalreja diserbu oleh pasukan Belanda, pada hari Senin 7 Agustus 1825 pasukan Pangeran Diponegoro menyerbu negara Yogyakarta dengan kekuatan 6.000 orang. Serbuan tersebut sangat mengejutkan Belanda. Residen Smisseart melaporkan keadaan ini kepada Jenderal De Kock. Pasukan Belanda yang mundur ke arah timur dihadang di Prambanan. Legiun Mangkunegara yang dipimpin oleh R.M. Suwangsa dihancurkan di Randugunting (Kalasan). Komandan Pasukannya ditawan di Selarong. Dalam peristiwa tersebut negara  Yogyakarta berhasil dikuasai oleh Pasukan Diponegoro. Meski demikian pasukan Diponegoro tidak mendudukinya namun mengisolasinya.  Dalam waktu itu Sri Sultan HB V berhasil diselamatkan dan diamankan di Benteng Vredeburg dengan pengawalan ketat. Kraton Yogyakarta berhasil dipertahankan oleh pasukan Pengawal yang dipimpin Mayor Wiranegara (Djamhari, 2004 : 49-50).

Inti pasukan Pangeran Diponegoro dibentuk dari rakyat Tegalreja. Setelah markas Pangeran Diponegoro berada di Selarong, jumlah pasukan semakin bertambah. Diantara pasukan yang ada, yang terpenting adalah pasukan yang menjadi pengawal Pangeran Diponegoro yaitu Pasukan Kyai Maja dan Pasukan yang dipimpin oleh Sentot Prawiradirja. Pasukan tersebut terbagi menjadi berbagai kesatuan yang menggunakan seragam (uniform) yang berbeda-beda, antara lain :

  1. Bulkiyo, Barjumat dan Turkio. Ketiga kesatuan ini beruniform serban putih dan berbaju hijau, semuanya menjadi satu kesatuan pasukan pelindung Pangeran Diponegoro. Khusus Bulkiyo adalah kesatuan pasukan yang dipimpin oleh Alibasah Sentot Prawiradija dan selama perang terkenal sebagai pasukan yang berani. Barjumat adalah kesatuan langsung yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro.
  2. Harkio, kesatuan beruniform serban hijau dan berbaju hijau pula.
  3. Pinilih, kesatuan yang beruniform serban putih bergaris hitam dan berbaju merah.
  4. Larban dan Naseran adalah kesatuan pasukan  yang memaki serban hitam dan berbaju hitam.
  5. Surapada, adalah kesatuan pasukan berserban dan berbaju biru bergaris putih.
  6. Suratandang dan Jayengan, berserban merah dan berbaju putih.
  7. Suragama dan Wanengprang adalah kesatuan  pasukan yang memakai uniform serban dan bju hitam bergaris putih (Hatmosuprobo, 1978-1979 : 119-120).

Laporan peristiwa yang terjadi di Yogyakarta pada tanggal 21 Juli 1825, sampai kepada Komisaris Jenderal Van Der Capellen pada tanggal 24 Juli 1825. Selanjutnya pada tanggal 31 Juli 1825 ia memanggil Raad van Indie untuk bersidang. Sidang memutuskan mengangkat Letnan Jenderal H.M. de Kock sebagai komisaris pemerintah untuk Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Kepadanya juga diberi kekuasaan penuh atas kekuatan militer dan sipil untuk menumpas pemberontakan (Djamhari, 2004 : 49-51).

Dalam usahanya memadamkan Perlawanan Diponegoro, Jenderal de Kock pernah menulis surat  kepada Pangeran Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi yang waktu itu masih berada di Selarong. Surat tersebut dibawa oleh Pangeran Ranadiningrat. Utusan tersebut diterima oleh Pangeran Suryenglaga.  Selanjutnya Pangeran Diponegoro segera merundingkan isi surat tersebut dengan Pangeran Mangkubumi dan Kyai Maja. Kemudian memerintahkan Pangeran Jayakusumo dan Pangeran Suryenglaga untuk menulis surat  balasan yang isinya secara tegas menolak berdamai. Menerima surat tersebut, Jenderal de Kock segera memerintahkan untuk menyerbu Selarong. Akan tetapi ketika pasukan Belanda sampai di Selarong ditemuinya desa tersebut telah sepi. Para pemimpin dan pasukan Pangeran Diponegoro  telah berpencar meninggalkan Selarong menuju ke pelbagai arah. Hal ini merupakan awal dari berlangsungnya Perang Jawa yang berlarut-larut. Menurut Babad, Pangeran Diponegoro meninggalkan Selarong dengan pengawalan 1000 orang pasukan Bulkiyo dan Mandung. Ia menuju Kalisoko, Mangir, lalu ke barat menyeberangi Kali Progo dan tiba di Gegulu. Dari Gegulu bergerak ke utara menuju Trucuk dan kembal ke utara menuju   Jumeneng. Untuk menghindari pengejaran, ia kembali lagi ke selatan  dan sampai di Mriyono. Selanjutnya menyeberangi Sungai Progo dan tiba di Jekso (Dekso). Sebuah desa yang letaknya di pertemuan dua Sungai, Sungai Duwet dan Sungai Progo. Karena letaknya yang strategis, desa itu kemudian dijadikan markas besar menggantikan Selarong (Djamhari, 2004 : 54-55).

Menurut Suhardjo Hatmosuprobo, markas besar Pangeran Diponegoro di Selarong digunakan sejak tanggal 21 Juli –  9 Oktober 1825. Dari Selarong pindah ke Dekso yang berlangsung selama kurang lebih 10 bulan dari tanggal 4 November 1825 sampai dengan 4 Agustus 1826. Kemudian pindah dari Dekso ke sebelah tenggara kaki Gunung Merapi. Di daerah ini markas bertahan dari tanggal 6 Agustus 1826 sampai 17 Nopember 1826. Selanjutnya sejak tahun 1827 hinggal tanggal 28 Maret 1830 markas besar Pangeran Diponegoro berkedudukan di daerah Kedu (Hatmosuprobo, 1978-1979 : 118).

Selama Pangeran Diponegoro bermarkas di Selarong, Belanda telah mengadakan penyerangan sebanyak 3 kali. Serangan yang pertama dilaksanakakan pada tanggal 25 Juli 1825 oleh pasukan yang dipimpin oleh Kapten Bouwens. Serangan ini merupakan balasan dari aksi perlawanan pasukan Diponegoro di desa Logorok dekat Pisangan (7 pal / 10 km) dari Yogyakarta, yang mengakibatkan 215 pasukan Belanda dibawah Kapten Kumsius menyerah. Serangan kedua dilaksanakan pada akhir bulan September 1825 dengan dipimpin oleh Mayor Sellewijn dan Letnan Kolonel Achenbach. Selanjutnya  serangan yang ketiga dilaksanakan pada tanggal 4 Oktober 1825. Setiap penyerangan ke Selaraong dilakukan oleh pasukan Belanda, pangeran Diponegoro menghilang di goa-goa sebelah barat perbukitan Selarong yang tidak diketahui oleh Belanda. Setelah pasukan Belanda meninggalkan Selarong, Pangeran Diponegoro muncul lagi demikianlah yang terjadi, sehingga perang frontal tidak terjadi dan penyerangan Belanda tersebut tidak berakibat apa-apa (Hatmosuprobo, 1978-1979 : 122-123).

Selanjutnya pasukan Pangeran Diponegoro melakukan perjuangan secara bergerilya dan dengan giat mengadakan penyerangan terhadap patrol Belanda. Perang berkobar sampai ke wilayah Pacitan, Purwodadi, Banyumas, Pekalongan, Semarang dan Madura. Karena pengaruhnya yang hampir meliputi seluruh Jawa maka perang tersebut dikenal dengan Perang Jawa (De Java-oorlog). Akibat perang tersebut kas negara Belanda terkuras sebanyak 20 juta gulden, kehilangan serdadu sebanyak 800 orang. Sedang pasukan Pangeran Diponegoro kehilangan 7000 orang.

Gerakan pasukan Pangeran Diponegoro dengan siasat gerilyanya sulit ditaklukkan musuh. Beberapa kali usaha penggempuran markas Pangeran Diponegoro dilakukan, tetapi selalu mengalami kegagalan. Markasnya di desa Panjer (Kedu) diserang oleh Belanda, tetapi Pangeran Diponegoro beserta pasukannya dapat meloloskan diri dan mendirikan markas lagi di desa Crema (Kedu).  Dari desa ini Pangeran Diponegoro dan pasukannya mengadakan serangan terhadap pos-pos Belanda.

Tak lama kemudian markas tersebut diketahui oleh Belanda, namun kali ini Belanda tidak menyerangnya tetapi menggunakan taktik baru yaitu menjebak Pangeran Diponegoro dengan jalan perundingan. Jenderal De Kock mengutus Letkol Cleerens untuk menjumpai Pangeran Diponegoro di Desa Crema dan diajak beruding di Magelang.

Dari pembicaraan antara keduanya didapat kesepakatan jika perundingan gagal Pangeran Diponegoro dan pengikutnya tidak akan ditangkap. Pada tanggal 18 Maret 1830 (bertepatan bulan Romadhan) Pangeran Diponegoro beserta pengikutnya tiba di Magelang dan disambut dengan upacara militer oleh Jenderal De Kock. Saat itu Pangeran Diponegoro didampingi oleh para pengikutnya antara lain Pangeran Diponegoro Muda (Dipokusumo), Raden Mas Jonet, Raden Mas Roub, Raden Basah Mertonegoro dan Kyai Badarudin.

Setelah bertemu dengan Jenderal De Kock, Pangeran Diponegoro mengusulkan agar perundingan diundur setelah Idul Fitri (27 Maret 1830) dan disetujui tanggal 28 Maret 1830. Akan tetapi pada tanggal 25 Maret 1830 Jenderal De Kock mengirim surat kepada Letnan Du Perro agar disiapkan pasukan untuk mengepung tempat perundingan. Jika perundingan gagal pasukan diperintahkan untuk menangkap Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya.

Pada tanggal 28 Maret 1830, Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya antara lain Pangeran Diponeogoro Muda (Dipokusumo), Raden Mas Jonet, Raden mas Roub, Raden Basah Mertonegoro dan Kyai Badarudin mengadakan perundingan dengan Jenderal De Kock yang didampingi oleh Residen Valck, Letnan Roest, Mayor de Stuers, dan Kapten Roefs sebagai juru bahasa.

Dalam perundingan tersebut Pangeran Diponegoro menuntut agar didirikan suatu negara yang merdeka yang bersih dari penjajahan dan bersendikan agama Islam. Tuntutan tersebut tidak disetujui oleh Jenderal De Kock dan akhirnya perundingan mengalami kegagalan. Pasukan yang telah disiapkan lebih dulu diperintahkan untuk menangkap Pangeran Diponegoro dan pengikutnya.  Kemudian Pangeran Diponegoro diasingkan ke Manado (3 Mei 1830). Tahun 1834 dipindahkan ke Ujung Pandang hingga wafat pada tanggal 8 Januari 1855.

Sumber : Buku Panduan Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta