You are currently viewing Diorama Kongres Jong Java di Yogyakarta – Diorama I Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta

Diorama Kongres Jong Java di Yogyakarta – Diorama I Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta

Diorama I Menampilkan adegan peristiwa sejarah sejak Perang Diponegoro (1825-1830) sampai dengan masa Penjajahan Jepang (1942-1945). Salah satu adegan dome ketujuh pada Diorama I adalah Diorama Adegan Pelaksanaan kongres Jong Java di Dalem Joyodipuran Yogyakarta Jl. Kintelan 139 (sekarang Jl. Brigjen Katamso 23 Yogyakarta) pada tanggal 25 s.d. 31 Desember 1928.

Sejarah Singkat  peristiwa tersebut, pada tanggal 7 Maret 1915 di Gedung STOVIA (School Toot Opleiding van Inlansche Artsen) Jakarta, didirikanlah perkumpulan pemuda Indonesia dengan nama Tri Koro Dharmo oleh para pelajar STOVIA antara lain R. Satiman Wiryosanjoyo, Kadarman dan Sunardi.  Perkumpulan tersebut beranggotakan siswa-siswa sekolah menengah asal Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat dan Madura. Sumber inspirasi dari perkumpulan ini adalah suku bangsa Jawa dan kebudayaanya. Cita-citanya untuk meningkatkan rasa cinta tanah air, memperluas persaudaraan dan mengembangkan kebudayaan Jawa.  Pada tahun 1917 organisasi membentuk “Panitia Nasionalisme Jawa” di Jakarta yang dipimpin oleh Soerjo Koesoemo, Abdul Rachman dan Satiman.

Dalam anggaran dasarnya organisasi ini bertujuan untuk membentuk masyarakat Jawa Raya yang meliputi orang Jawa (Jawa Tengah dan Jawa Timur), orang Madura, orang Sunda dan orang Bali. Akan tetapi orang Madura dan orang Sunda merasa tidak betah dalam perkumpulan ini sehingga menyatakan keluar. Sehingga pada tanggal 12 Juni 1918, ketika berkongres di Solo, nama Tri Koro Dharmo dirubah menjadi Jong Java. Hal ini karena anggotanya mulai saat itu hanya terdiri dari pemuda Jawa saja. Sejak pertengahan tahun 1919 sampai dengan tahun 1924 Jong Java mengadakan beberapa kali kongres antara lain, tahun 1919 di Yogyakarta, pertengahan tahun 1920 di Solo, pertengahan tahun 1921 di Bandung, pertengahan tahun 1922, akhir 1922 di Solo dan Akhir 1924 di Semarang.

Ideologi organisasi ini bersifat “Nasionalisme Jawa”. Tetapi pengertian Jawa yang dimaksud oleh Jong Java  relatif sempit. Jawa Tengah dengan latar belakang Hindunya lebih ditonjolkan. Hal ini menjadi penyebab adanya perpecahan seperti yang terjadi pada akhir tahun 1924.  Ketika itu muncul suatu golongan yang menginginkan agar dasar-dasar Islam dimasukkan sebagai ideologi Jong Java. Tetapi ternyata loyalitas kesukuan lebih kuat, sehingga golongan inipun akhirnya harus meninggalkan Jong Java. Mereka kemudian mendirikan Jong Islemieten.  Juga tokoh lain yang memandang bahwa nasionalisme Jong Java relatif sempit adalah Tjipto Mangoen Koesoemo dan Soewardi Soerjoningrat (Ki Hadjar Dewantara) yang kemudian masuk ke IP (Indische Partij) yang didirikan tanggal 25 Desember 1912 oleh EFE. Douwes Dekker.

Setelah Perang Dunia II, Jong Java meningkatkan kegiatannya ke arah kegiatan politik. Dalam kongresnya di Solo 27 sampai 31 Desember 1926, secara nyata disebutkan ingin menghidupkan rasa persatuan dengan seluruh bangsa Indonesia, kerjasama dengan semua organisasi pemuda guna membentuk ke-Indonesiaan.  Jong Java juga menciptakan sebuah konsensus bahwa untuk merealisasikan persatuan diperlukan perpaduan atau penggabungan dari  beberapa organisasi-organisasi kedaerahan di Indonesia.  Masalah ini menjadi bahan pembicaraan pokok dalam kongresnya di Semarang tanggal 26 s.d. 31 Desember 1927.

Tidak lama sesudah munculnya Jong Java muncul pula organisasi sejenis dari kelompok-kelompok suku lainnya di kota-kota besar di Jawa seperti Jong Sumatranend Bond, Pasundan, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batavia, Sekar Rukun, Pemuda Betawi dan lain-lain. Langkah pertama yang diambil oleh perkumpulan pemuda untuk meninggalkan batas-batas kesukuan menuju ke satu Indonesiaan adalah diselenggarakannya Kongres Pemuda I tanggal 20 April s.d. 2 Mei 1926 di Jakarta yang dipimpin oleh M. Tabrani.  Persiapan kongres tersebut dimulai sejak November 1925 dengan adanya pertemuan-pertemuan yang dilakukan oleh wakil-wakil dari Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Sekar Rukun dan lain-lain.  Dalam kongres itu muncul usul untuk diadakan fusi dari semua organisasi pemuda.

Setelah kongres itu, wakil-wakil dari Jong  Java, Jong Sumatranen Bond, Sekar Rukun, Vereeniging voor Ambonsche Studenenden, dan Jong Batak, berkumpul lagi dengan komite Kongres dan melahirkan suatu gagasan untuk mendirikan organsisasi baru yang bernama Jong Indonesia dengan tujuan menanamkan nasionalisme untuk mewujudkan Indonesia Raya.  Nama ini kemudian diambil alih oleh Algemeene Studie Club Bandung yang kemudian diterjemahkan menjadi Pemuda Indonesia.

Kongres Pemuda I di Jakarta tahun 1926 mendorong lahirnya organisasi pemuda pelajar I yang diberi nama PPPI (Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia).  PPPI inilah yang akhrinya memberanikan diri memprakarsai diselenggarakannya Kongres Pemuda II tahun 1928 di Jakarta. Dalam Kongres itu dicetuskan Sumpah Pemuda yang berisi kebulatan tekad para pemuda Indonesia untuk bersatu di bawah panji-panji Indonesia Raya.  Kongres dipimpin oleh Soegondo Djojopuspito.

Pada tanggal 25 s.d. 31 Desember 1928 Jong Java mengadakan kongres di Yogyakarta. Tepatnya di Dalem Joyodipuran Jl. Kintelan 139 (sekarang Jl. Brigjen Katamso 23).  Pelaksanaan konggres tersebut mempunyai makna yang sangat penting dimana kongres memutuskan bahwa Jong Java akan mengadakan fusi dengan organsisasi pemuda lainnya. Keputusan ini sebagai realisasi dari dicetuskannya ikrar Sumpah Pemuda dalam kongres Pemuda II di Jakarta tanggal 26 s.s. 28 Oktober 1928. Waktu itu Jong Java juga ikut aktif dalam perintisan dilaksanakan konggres tersebut. Pada tahun 1928, organisasi ini siap bergabung dengan organisasi kepemudaan lainnya dan ketuanya R. Koentjoro Poerbopranoto, menegaskan kepada anggota bahwa pembubaran Jong Java, semata-mata demi tanah air (http://id.wikipedia.org/wiki/Jong_Java#cite_note-MuseumSumpahPemuda-3).[4] Oleh karena itu, maka terhitung sejak tanggal 27 Desember, 1929, Jong Javapun bergabung dengan Indonesia Moeda (http://id.wikipedia.org/wiki/Jong_Java#cite_note-MuseumSumpahPemuda-3).[4]

Niat Jong Java untuk mengadakan fusi dengan organisasi kedaerahan yang lain tersebut akhirnya dilaksanakan.  Dalam kongresnya yang terakhir di Semarang yang berlangsung tanggal 23 s.d. 29 Desember 1929 diputuskan bahwa Jong Java menerima baik rancangan fusi dengan pendirian organisasi  kepemudaan Indonesia yang bernama Indonesia Muda. Sesudah itu secara resmi Jong Java dibubarkan.

Dengan munculnya Indonesia Muda, Jong Java resmi dibubarkan, dan seluruh bagiannya, termasuk seluruh anggotanya yang berjumlah 25.000 orang, kemudian, studiefonds dan cabang-cabangnya, diserahkan kepada Komisi Besar Indonesia Muda. Selama berdirinya hingga akhirnya bubar ketua pengurus besar Jong Java berturut-turut adalah: Satiman Wirjosandjojo (1915-1917), Suhardi Ariotedjo (1917-1918), Sukiman Wirjosandjojo (1918-1919), Sutopo (1919-1920), Mukhtar Atmo Supardjojo (1921-1922), Ma’amun (1923), Samsuridjal (1923-1924), Sumarto Djojodihardjo (1925), Sunardi Djaksodipuro (1926), Gularso Astrohadikusumo (1927), Sarwono Prawirohardjo (1928); dan Kuntjoro Purbopranoto (1929).

Sumber : Buku Panduan Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta