You are currently viewing Diorama Kongres Pertama Boedi Oetomo-Diorama I Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta

Diorama Kongres Pertama Boedi Oetomo-Diorama I Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta

Diorama I menampilkan adegan peristiwa sejarah sejak Perang Diponegoro (1825-1830) sampai dengan masa Penjajahan Jepang (1942-1945). Salah satu adegan pada Diorama I dome kedua adalah Diorama adegan   Sutomo (pelajar STOVIA / School Toot Opleiding van Inlansche Artsen) menyampaikan gagasannya dalam Kongres Boedi Oetomo yang berlangsung di Kweekschool Jetis tanggal 3-5 Oktober 1908. Lokasi Ruang Makan Kweekschool Yogyakarta (SMU 11, Jl. AM. Sangaji Yogyakarta), 3 – 5 Oktober 1908.

Sejarah Singkat Diorama tersebut adalah, Boedi Oetomo merupakan organisasi pergerakan nasional Indonesia modern yang pertama kali berdiri.  Organisasi tersebut lahir pada tanggal 20 Mei 1908 di Jakarta, tepatnya di ruang anatomi STOVIA (School Toot Opleiding van Inlansche Artsen) yaitu tempat pendidikan bagi para calon dokter rakyat bumi putera.

Terbentuknya Boedi Oetomo  berawal dari perjalanan dokter Wahidin Sudirohusodo yang giat mengadakan propaganda di kalangan priyayi Jawa pada sekitar tahun 1906-1907.  Program tersebut merupakan usaha untuk meningkatkan martabat rakyat dan bangsa. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut perlu dibentuk Dana Pelajar (Studiefonds) yang merupakan lembaga yang bertugas memberikan bantuan biaya terhadap para pemuda pribumi yang cerdas namun memiliki permasalahan dalam pembiayaan studinya. Pada tahun 1907akhir, dr. Wahidin Soedirohoesodo bertemu Sutomo di Jakarta. Selanjutnya dari hasil pembicaraan tersebut oleh Sutomo diceritakan kepada kawan-kawan pelajar STOVIA. Setelah ada pembicaraan denan kaawan-kawan Sutomo, maka gagasan dr. Wahidin Soedirohoesodo yang semula hanya akan mendirikian suatu dana pelajar, lebih dikembangkan lagi. Sebagai hasil akhir dari pembicaraan tersebut adalah disepakatinya dengan berdirinya sebuah organisasi yang kemudian diberinama Boedi Oetomo.

Pada hari Rabu tanggal 20 Mei 1908, kurang lebih pukul 09.00 WIB, Soetomo dan kawan-kawannya pelajar STOVIA antara  lain M. Soeradji, M. Muhammad Saleh, M. Soewarno, M. Goenawan,  Soewarno, R.M. Goembrek, R. Angka dan M. Soelaiman berkumpul di ruang anatomi Gedung STOVIA, mereka mendirikan sebuah organisasi yang kemudian diberi nama Boedi Oetomo yang berarti suatu usaha yang mulia (dalam bahasa Jawa = budi kang utami). Jadi Boedi Oetomo, menurut pendirinya, adalah perkumpulan yang akan mencapai sesuatu berdasarkan keluhuran budi, kebaikan perangai atau tabiat. Nama tersebut merupakan nama yang diusulkan oleh M. Soeradji. Semboyan yang dikumandangkan adalah Indie Vooruit (Hindia Maju) dan bukan Java Vooruit (Jawa Maju).

Tujuan Boedi Oetomo adalah memperoleh kemajuan yang harmonis bagi nusa dan bangsa Jawa dan Madura. Pada waktu itu ide persatuan seluruh Indonesia belum dikenal. Karena itu yang dikehendaki Boedi Oetomo, hanyalah perbaikan sosial yang meliputi Jawa dan Madura, juga kata kemerdekaan sama sekali belum disebut. Untuk melaksanakan tujuan tersebut ditempuh beberapa usaha: (1) Memajukan pengajaran sesuai dengan apa yang dicita citakan dr. Wahidin. Ini merupakan usaha pertama untuk mencapai kemajuan bangsa; (2) Memajukan pertanian, peternakan, perdagangan. Jadi sudah dimengerti bahwa kemajuan harus juga meliputi bidang perekenomian; (3) Memajukan teknik dan industri, yang berarti bahwa ke arah itu sudah menjadi cita-cita; (4) Menghidupkan kembali kebudayaan.

Setelah Boedi Oetomo terbentuk, maka segera disusun kepengurusan yang pertama. Adapun susunan pengurus yang berhasil mereka bentuk setelah diikrarkan berdirinya Boedi Oetomo adalah sebagai berikut :

Ketua                  :               R. Soetomo

Wakil Ketua         :               M. Soelaiman

Sekretaris I         :               Soewarno

Sekretaris II        :               M. Goenawan

Bendahara           :               R. Angka

Komisaris            :               M. Soewarno, M. Muhammad Saleh, M. Soeradji, M. Goembrek.

Sutomo dan beberapa temannya segera mengirimkan  surat untuk mencari hubungan dengan murid-murid di kota lain di luar Jakarta, seperti Bogor, Bandung, Semarang, Yogyakarta dan Magelang. Ternyata persetujuan dan dorongan datang dari berbagai pihak sehingga lebih memantapkan usaha Sutomo dan kawan-kawan. Untuk lebih memantapkan organisasi yang baru saja dibentuk tersebut kemudian segera dibicarakan mengenai kongresnya yang pertama.

Pembicaraan mengenai kongres pertama Boedi Oetomo dilaksanakan pada tanggal 8 Agustus 1908 antara Dr. Wahidin Soedirohoesodo dengan pengurus Boedi Oetomo di Gedung STOVIA. Hasil pertemuan tersebut disepakati antara lain memilih Dr. Wahidin Soedirohoesodo sebagai pimpinan Kongres dan kota Yogyakarta sebagai tempat kongres. Dipilihnya kota Yogyakarta sebagai tempat kongres dengan alasan sebagai berikut :

  1. Yogyakarta adalah kota tempat tinggal Dr. Wahidin Soedirohoesodo;
  2. Yogyakarta atau Mataram merupakan lambang kesatuan Jawa;
  3. Sebagai pernyataan hormat dan terima kasih atas bantuan yang diberikan oleh Pangeran Noto Dirodjo (Paku Alam).

Kongres di buka dengan resmi tanggal 3 Oktober 1908 jam 21.00 WIB dan berlangsung hingga tanggal 5 Oktober 1908 bertempat di gedung Kweekshool, Jetis Yogyakarta (sekarang SMU 11 Yogyakarta). Kongres dihadiri kurang lebih 400 peserta, diantaranya 20 orang wanita. Utusan kongres mewakili daerah Jakarta, Bogor, Magelang, Surabaya, Purbolinggo dan Yogyakarta. Kongres juga dihadiri oleh para pejabat Belanda, bangsawan Paku Alaman, para Bupati Temanggung, Blora dan Magelang. Hadir pula 6 opsir dari Legiun Mangkunegaran Solo. Untuk pertama kalinya bangsawan, priyayi tinggi dan menengah  serta kaum intelek Jawa bangkit dan berkumpul untuk bersatu. Mereka telah dibangkitkan dan dipersatukan oleh para pemuda pelajar.  Pembicara-pembicara utama dalam kongres tersebut antara lain :

  1. R. Soetomo (STOVIA Weltevreden)
  2. R. Saroso (Kweekschool Yogyakarta)
  3. R. Kamargo (Hoofdenschool Magelang)
  4. dr. M.B Mangoenhoesodo (Surakarta)
  5. M. Goenawan Mangoenkoesoemo (STOVIA Weltevreden)

Selain itu juga tampil para pembicara lain seperti dr. Wahidin Soedirohoesodo, Raden Ngabehi Wediodipoero (dr. Radjiman), dr. Tjipto Mangoen Koesoemo, dan Sastrodiprodjo.

Dalam penyampaian materinya, dr. Wahidin Soedirohoesodo permasalahan tentang  tradisi Jawa masa silam dan sistem pendidikan Barat bagi orang Jawa khususnya bagi kaum priyayi atau bangsawan. Pendapat ini cukum mendapat dukungan dari para siswa STOVIA dan sebagian besar peserta kongres. Namum dr. M.B. Mangoenhoesodo merasa pesimis dengan pendapat ini. Menurutnya kemampuan masyarakat Jawa masih meragukan untuk dapat berkembang melalui westernisasi. Pendapat ini berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Raden Ngabehi Wediodipoero (dr. Radjiman). Menurutnya  perlu adanya keseimbangan antara budaya barat dan timur dan bagi penduduk pribumi untui dapat berkembang di masa depan harus berbekal ilmu pengetahan barat yang cukup.

Kongres berjalan cukup hangat, ketika dr. Tjipto Mangoenkoesoemo (kakak Gunawan) menginginkan agar Boedi Oetomo tidak hanya menjadi organisasi pendidikan dan kebudayaan saja, namun dapat lebih berkembang menjadi partai politik. Mengenai pendidikan, dr. Tjipto Mangoenkoesoemo menghendaki pendidikan untuk seluruh penduduk Hindia Timur, tidak hanya terbatas bagi golongan priayi dan bangsawan sebagaimana telah disampaikan oleh dr. Wahidin Soedirohoesodo. Pemikiran untuk memberikan pendidikan bagi semua orang itu didukung pula oleh Soetomo, Goenawan, Sastrodiprodjo, dan beberapa pembicara lainnya. Namun, dr. Tjipto Mangoenkoesomo gagal mendapatkan dukungan untuk membentuk Boedi Oetomo menjadi organisasi politik. Kompromi dicapai dengan menyepakati bahwa Boedi Oetomo akan tampil sebagai sebuah organisasi sosial, tetapi apabila perlu akan menempuh cara-cara politik untuk mencapai cita-citanya. Selain itu disepakati bahwa Boedi Oetomo tidak akan mencampuri urusan adat.

Setelah melalui diskusi yang cukup ramai, selanjutnya kongres berhasil memutuskan beberapa hal antara lain :

  1. Tujuan perkumpulan ialah mengusahakan kemajuan yang selaras buat negeri dan bangsa, terutama dengan memajukan pengajaran, pertanian peternakan, perdagangan, teknik, industri dan kebudayaan.
  2. Menetapkan pengurus besar yang pertama yaitu RTA. Tirto Koesoemo (Bupati Karang Anyar) sebagai ketua,  Dr. Wahidin Soedirohoesodo (dokter Jawa) sebagai wakil ketua, Dwijosewojo  dan Sosrosugondo (keduanya guru Kweekschool Yogyakarta) sebagai sekretaris, Gondoatmojo (Opsir Legiun Pakualaman) sebagai bendahara. Dan sebagai komisaris terdiri dari  Suryodiputro (jaksa kepala Bondowoso), Gondosubroto (jaksa kepala Surakarta), dan Tjipto Mangoenkoesoemo (dokter di Demak)
  3. Menetapkan Yogyakarta sebagai pusat perkumpulan Boedi Oetomo.

Dalam perkembangannya, organisasi Boedi Oetomo cukup mendapatakan sambutan positif dari para simpatisan. Hingga sampai pada tahun 1909 telah tercatat 40 cabang Boedi Oetomo.

Pada masa awalnya Boedi Oetomo member kesempatan bagi para golongan bangsawan untuk menjadi pucuk pimpinan. Sejak tahun 1908 sampai dengan 1915 pucuk pimpinan Boedi Oetomo dipegang oleh kaum bangsawan, seperti R.T.A. Tirtokusumo (1908–1991), Pangeran Aryo Noto Dirodjo dari Istana Paku Alam (1911–1914), R.Ng. Wedyodipura atau Radjiman Wedyoningrat (1914–1915), dan R.M. Ario Surjo Suparto atau Mangkunegoro VII (1915-16), Pangeran Woerjaningrat seorang bangsawan kraton Surakarta (1916-1921), (1923-1925), dan (1933-1935).   Oleh karena pemimpin Budi Utomo umumnya berasal dari kaum bangsawan, banyaklah dana yang disumbangkan untuk kemajuan pengajaran.

Dalam perkembangan politik yang semakin terbuka melalui Kongres 1928, Budi Utomo memutuskan berprinsip nonkooperasi jika rencana undang-undang tentang Inlandsche Meerderheid dalam Volksraad ditolak Perwakilan Rakyat Belanda. Konggres 1932, tujuan BU diubah secara radikal yaitu: Mencapai Indonesia Merdeka. Konggres Juni 1933, membahas masalah Ordonansi Sekolah Liar (Wilde Scholen ordonnantie), perbaikan hidup kaum tani dan menentang pembatasan hak berserikat dan berkumpul. Januari 1934, dibentuk komisi BU-PBI (Persatuan Bangsa Indonesia), yang kemudian disetujui oleh kedua pengurus besarnya pertengahan 1934. Tanggal 24-26 Desember Kongres peresmian fusi dan juga merupakan kongres terakhir BU, dan lahirlah Partai Indonesia Raya atau disingkat PARINDRA.

Sumber : Buku Panduan Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta