Diorama I Menampilkan adegan peristiwa sejarah sejak Perang Diponegoro (1825-1830) sampai dengan masa Penjajahan Jepang (1942-1945). Salah satu adegan dome kesebelas pada Diorama I adalah Diorama adegan Penggalian Selokan Mataram.
Pada masa pendudukan Jepang di Yogyakarta, karena sikap tegasnya Sri Sultan Hamengku Buwono IX dapat terus secara langsung memimpin rakyat Yogyakarta. Waktu itu hampir semua daerah menderita dan tertekan hidupnya. Para petani harus rela menyerahkan padi, ternak dan hasil bumi lainnya kepada balatentara Jepang. Orang kaya diwajibkan menyerahkan perhiasan emas, perak dan intan kepada Jepang. Pagar halaman dari besi dicabuti, demikian pula rel kereta api pada jalur sepi, semua diangkut dan dimanfaatkan oleh Jepang untuk mensuplai bahan baku untuk mendukung pembuatan persenjataan dalam mendukung Perang Pasifik.
Yang paling merisaukan adalah ketika balatentara Dai Nippon (Jepang) membutuhkan tenaga kerja yang akan dijadikan prajurit pekerja atau romusha (sebernanya tenaga kerja paksa). Kaum romusha ini direkrut dari para petani desa, melalui lurah, camat dan bupati. Mereka dikumpulkan di barak penampungan, kemudian dikirim ke tempat yang dirahasiakan. Bahkan ada yang dikirim ke Myanmar (Burma) dan tempat lain di luar negeri. Para romusha itu dipekerjakan di berbagai proyek pertahanan Jepang, seperti proyek membuat benteng, jalan kereta api, jembatan, lapangan terbang dan terowongan (Kutoyo, 1997 : 115).
Mengenai jumlah romusha, Kota Yogyakarta memiliki jumlah pemuda yang paling sedikit dibanding dengan kota-kota lain di Indonesia. Hal ini tidak lepas dari sikap bijaksana Sri Sultan Hamengku Buwono IX, dan kematangan pola pikir dalam menghadapi politik pemerintah pendudukan Jepang. Dari pandangan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, berbagai kebijakan Jepang tentunya akan bermuara pada proses menguras hasil bumi dan tenaga kerja rakyat Yogyakarta guna memenuhi kepentingan mesin perangnya dalam menghadapi Perang Pasifik. Melihat hal tersebut, Sri Sultan menyusun stretegi untuk menyelamatkan rakyat Yogyakarta. Beliau menyampaikan kepada pihak Jepang bahwa alam Yogyakarta tidak dapat mendukung politik Jepang tersebut. Data statistik dari jawatan kependudukan dan sumber daya alam sengaja dibuat lebih rendah dari yang sebenarnya. Pemerintah pendudukan Jepang dibuat yakin jika daerah Yogyakarta adalah merupakan daerah yang benar-benar minus. Hal ini akan dapat dirubah dan Yogyakarta akan menjadi daerah yang mampu mendukung politik Jepang, jika segera diadakan perbaikan. Jika diadakan pembangunan, maka tentu saja akan lebih banyak lahan pertanian yang dapat menghasilkan panen melimpah. Dengan sendirinya maka sumbangan rakyat Yogyakarta akan lebih besar kepada fihak Jepang. Akhirnya usulan itu ditanggapi positif oleh pemerintah pendudukan Jepang. Bahkan pihak Jepang juga berkenan mengeluarkan dana yang cukup besar untuk membangun sistem irigasi dan penanggulangan banjir yang diusulkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX (Kutoyo, 1997 : 116-117). Proyek ini dipimpin oleh tentara Jepang. Kadang-kadang mereka juga turut bekerja menggali tanah, namun lebih banyak mereka hanya mengawasi saja. Jika pengawas tentara Jepang sedang tidak ada maka yang menggantikannya adalah para lurah. Pengawasan dalam proyek inipun tidak begitu ketat.
Untuk pengerahan para pekerja dalam proyek ini dikerahkan dari semua daerah yang berdekatan dengan proyek yang bersangkutan. Atas perintah Jepang pengerahan tenaga melalui pangreh praja. Bupati memerintahkan wedana, wedana memerintahkan asisten wedana, asisten wedana memerintahkan lurah-lurah di wilayahnya untuk menyediakan tenaga dari warga desanya sebanyak 10 sampai 20 orang. Kemudian lurah memerintahkan perangkat desa, biasanya jagabaya, tetapi juga, kamituwa dan kadang-kadang kuco untuk mengerahkan warga desa sebanyak jatah yang telah ditentukan.
Setiap keluarga diambil satu orang dan diperintahkan untuk berkumpul di kelurahan. Setelah mereka berkumpul diberi penerangan bahwa mereka diperintahkan oleh Jepang untuk mengerjakan sesuatu di suatu tempat yang sudah ditentukan. Setelah itu mereka diantarkan perangkat desa ke tempat bekerja. Di tempat itu mereka dipresensi lalu dibagi menjadi beberapa kelompok dan setiap kelompok diberi tugas tertentu.
Mereka yang dipekerjakan di Selokan Mataram disuruh oleh peranbgkat desa seperti kalau ada gotong royong kerjabakti. Biasanya mereka lebih suka daripada dipekerjakan di tempat lain, karena mereka mengetahui bahwa mengerjakan selokan Mataram atas perintah Sultan HB IX dengan tujuan agar mereka tidak dikirim sebagai romusha keluar dari DIY.
Demikianlah, pada zaman pendudukan Jepang di Kasultanan Yogyakarta diadakan pembangunan irigasi, pembangunan pintu air lengkap dengan bangunan pengontrol, bendungan, jembatan dan tanggul di daerah Adikarto. Proyek itu dapat menghilangkan daerah genangan air dan airnya dapat disalurkan ke laut kidul. Demikian pula dibuat saluran dari Kali Progo, sehingga banyak daerah kering di Sleman dan wilayah timur lainnya dapat diairi. Karenanya makin banyak daerah sawah tadah hujan berubah menjadi sawah irigasi. Tentu saja hasil bumi dapat bertambah dan dengan sendirinya sumbangan kepada Jepang dapat dinaikkan.
Proyek pengairan di Yogyakarta itu dalam bahasa Jepang dinamakan dengan Bendungan Gunsei Hasuiro dan Gunsei Yosuiro, sedangkan rakyat Yogyakarta menamakannya Selokan Mataram. Hasil lain dari proyek ini selain menjadikan lahan pertanian manjadi lebih luas, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dapat dengan tegas menolak atau mengurangi jumlah tenaga kerja (romusha) yang diminta oleh Pemerintah Pendudukan Tentara Jepang tentu saja dengan alasan Proyek irigasi di Yogyakarta ini juga memerlukan tenaga kerja yang tidak sedikit. Dengan demikian Sri Sultan Hamengku Buwono IX dapat menolong ribuan rakyat Yogyakarta dari penderitaan menjadi romusha pada masa pendudukan Jepang (Kutoyo, 1997:117 dan Atmakusumah, 1982:60-61).
Sumber : Buku Panduan Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta